Kendati tingkat literasi keuangan terus naik, kesiapan calon pensiunan menghadapi tahap kehidupan pascapensiun berada di level belum aman. Lantas, apa kesalahan keuangan yang bisa jadi masih dilakukan para karyawan?
Oleh
PRITA HAPSARI GHOZIE
·4 menit baca
Beberapa bulan terakhir saya dan ZAP Finance mendapatkan banyak kesempatan bertemu dengan calon pensiunan dari kantor BUMN, perusahaan swasta multinasional, dan bahkan instansi pendidikan. Kendati tingkat literasi keuangan di Indonesia dipercaya mulai meningkat, faktanya kesiapan pensiunan menghadapi tahapan kehidupan yang baru masih berada di level yang belum aman. Padahal, jumlah penghasilan saat pensiun memiliki korelasi terhadap faktor kesehatan, terutama syaraf, di masa tua.
Tahun lalu, penelitian dari Columbia University Mailman School of Public Health tentang kaitan penghasilan dan kesehatan otak mengungkap temuan yang dilaporkan di Konferensi Internasional Asosiasi Alzheimer tahun 2022. Intisari dari penelitian tersebut adalah jumlah penghasilan yang dikelola selama masa produktif akan berpengaruh terhadap percepatan hilang ingatan di masa tua.
Lantas, apa saja kesalahan keuangan yang bisa jadi masih dilakukan para karyawan di berbagai perusahaan ataupun instansi di Indonesia? Berikut saya akan rangkum beberapa temuan yang saya dapati sepanjang 14 tahun berprofesi sebagai perencana keuangan.
Pertama, tidak membuka diri untuk membuka keran penghasilan lain. Pengelolaan keuangan di masa produktif memiliki beberapa dimensi. Jumlah penghasilan tentu saja menjadi faktor penentu.
Solusinya adalah fokus pada peningkatan kapasitas diri sepanjang hidup, terutama di awal masa bekerja. Tidak bisa dimungkiri bahwa sebagian dari masyarakat memang harus mencari penghasilan untuk menghidupi keluarga besarnya. Namun, masyarakat juga beruntung karena hidup di masa peningkatan ekonomi digital yang memungkinkan seseorang membuka keran penghasilan dari berbagai hal.
Hal ini juga yang saya cermati setiap memberikan materi keuangan di pelatihan persiapan purnabakti bagi calon pensiunan. Cukup banyak karyawan terlena dengan pekerjaan utamanya dan merasa bahwa gajinya cukup-cukup saja. Sayangnya, semua karyawan pada akhirnya akan pensiun. Bila hal ini terjadi, pensiunan yang telah memiliki keahlian ataupun aset produktif lainlah yang akan lebih mampu melewati masa pensiun dengan baik.
Contoh kenaikan biaya hidup dasar adalah bukti nyata bahwa seseorang sebaiknya memiliki sumber penghasilan yang beragam atau multiple income sources. Kenaikan harga bahan pokok, kenaikan harga bensin, serta listrik adalah inflasi yang tidak dapat dikendalikan oleh individu. Hal ini dapat terus berlangsung hingga masa pensiun kelak. Maka, pertanyaannya, cukupkah aset untuk mendukung biaya hidup di masa pensiun?
Kedua, memiliki gaya hidup yang berlebihan. Godaan seseorang yang memiliki penghasilan di atas rata-rata adalah terbiasa menikmati gaya hidup yang di atas rata-rata pula. Seorang karyawan atau anggota direksi maupun komisaris bisa jadi tidak akan memiliki masalah di masa produktifnya.
Akan tetapi, sangat berbahaya saat menjelang masa pensiun. Biasanya, pekerja ini memiliki posisi jabatan yang bagus di BUMN, perusahaan asing, atau bahkan ditempatkan bekerja di luar negeri. ”Gaji dollar, keluarga di Indonesia”. Padahal, bisa jadi pengeluaran di kota tempat tinggalnya juga tinggi.
Solusinya adalah membagi alokasi penghasilan minimal untuk tiga hal, yaitu pos biaya hidup (living), pos tabungan (saving), dan pos gaya hidup (playing). Fokus utama adalah terpenuhinya pos tabungan dana darurat. Kemudian, sangat penting untuk mengalokasikan minimal 10 persen penghasilan untuk tabungan masa pensiun. Gaya hidup sah saja dilakukan sepanjang tidak melebihi alokasi 20 persen dari penghasilan yang tersedia di pos gaya hidup.
Ketiga, berinvestasi tanpa ilmu. Tidak bisa dimungkiri bahwa fenomena ingin memperoleh imbal hasil investasi tinggi dalam waktu singkat semakin marak, terutama sejak 2020. Bahkan, tidak sedikit pekerja usia produktif yang sempat terjebak dengan penawaran trading yang ternyata investasi bodong.
Solusinya adalah literasi sebelum inklusi. Ragam aset investasi yang ditawarkan oleh lembaga jasa keuangan sebaiknya dipelajari dalam hal potensi keuntungan serta potensi risiko yang menyertainya. Pastikan untuk selalu memulai dengan fondasi yang kokoh, yaitu membangun dana darurat setidaknya tiga kali pengeluaran rutin bulanan. Tujuannya, agar tidak perlu membongkar aset investasi bilamana ada pengeluaran tak terduga.
Berikutnya, memilih aset investasi yang sesuai dengan profil risiko dan tujuan investasi. Penting juga membagi alokasi aset agar modal investasi bersumber dari penghasilan yang ditujukan untuk investasi, bukan untuk pengeluaran rutin.
Terakhir, memastikan agar produk investasi dari lembaga jasa keuangan sudah memiliki izin dari regulator. Sementara pembelian aset lain yang ditujukan untuk investasi, seperti properti ataupun emas, perlu diperhatikan aspek legalitasnya.
Kesejahteraan di masa tua memiliki dimensi keuangan, kesehatan, dan mental. Penyakit di masa tua bisa jadi merupakan takdir yang harus dijalani oleh sebagian masyarakat. Namun, manusia juga diberikan kemampuan dan ilmu untuk berusaha terlebih dahulu. Dalam hal finansial, ilmunya adalah pengelolaan keuangan.