Kepercayaan pada dasarnya terpaut dengan obyek kepercayaan itu. Dalam hal spirit reformasi, misalnya, sulit mengukuhkan kepercayaan pada institusi politik jika lembaga-lembaga tersebut sukar diandalkan.
Oleh
Saras Dewi
·4 menit baca
SALOMO TOBING
Saras Dewi
Pergerakan 1998 bagaikan hari-hari yang tidak pernah berakhir. Setidaknya itu memori saya kala hari demi hari dilalui di posko berdiskusi, bekerja sama antarelemen masyarakat; pelajar, mahasiswa, buruh, guru, dan siapa pun yang percaya pada cita-cita bersama yang disebut sebagai reformasi. Dua puluh lima tahun sudah berlalu, tanpa disadari waktu melintasi sekejap mata, tetapi pertanyaan yang muncul sudahkah perubahan-perubahan yang berarti terjadi mengikuti semangat reformasi?
Refleksi ini membayangi perjalanan saya memenuhi undangan untuk menghadiri Simposium Budaya di Weimar, Jerman. Kultursymposium Weimar adalah kegiatan yang diprakarsai oleh Goethe-Institut dalam rangka mendorong percakapan antarbudaya menyikapi kondisi global yang bergulat dengan pascapandemi, kesenjangan dan krisis iklim. Simposium tersebut mengusung pembahasan tentang kepercayaan, khususnya kepercayaan masyarakat terhadap struktur politik ataupun kepercayaan antarindividu dalam mengupayakan kerja sama untuk menghadapi berbagai problem-problem; sosial, ekologi, dan ekonomi.
Saya mencermati pidato pembuka yang disampaikan oleh Benjamin-Immanuel Hoff, Menteri Kebudayaan untuk Negara Bagian Thüringen, Urusan Federal, dan Eropa. Ia mengutarakan krisis kepercayaan yang terjadi, utamanya yang terhubung dengan konflik dan peperangan yang terjadi di berbagai wilayah di dunia. Ia menyebutkan pula keistimewaan Weimar sebagai kota yang dipenuhi nilai-nilai budaya Eropa—jika dikaitkan dengan tokoh-tokoh intelektual, seperti Johann Wolfgang von Goethe dan Friedrich Schiller. Tetapi, secara kontras juga ia menambahkan, Weimar menyimpan sejarah kelam kekejian Nazi. Bangunan memorial Buchenwald mengingatkan tentang brutalitas kekuasaan Nazi dan siksaan bagi ratusan ribu orang yang ditahan di kamp konsentrasi tersebut.
Sambil berjalan kaki di kota Weimar, saya memikirkan perihal kontradiksi ini, sisi baik dan buruk dalam suatu kebudayaan. Saya terhenti ketika melihat plakat kecil di jalanan berbatu Weimar, tertulis nama-nama di sana. Ini bagian dari program memori Holocaust karya Gunter Demnig yang disebut dengan ”Stolpersteine” atau stumbling stones. Batu penanda berbentuk kubus dengan plakat kuningan di permukaan yang berisikan nama-nama korban kekerasan Nazi itu membuat pejalan kaki terhenti, terinterupsi, ditarik memasuki sejarah teror yang dialami oleh para korban. Saya mencari tahu tentang nama-nama di jalanan itu, mereka adalah orang-orang yang dipersekusi, dipenjara hingga dibunuh karena identitasnya sebagai orang Yahudi.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Pedagang asongan melintasi spanduk aksi mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Jabodetabek ketika menggelar Aksi Peringatan 25 Tahun Reformasi di kawasan Patung Kuda, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (25/5/2023).
Suasana kegelisahan ini berlanjut dalam diskusi-diskusi yang menjadi rangkaian acara Kultursymposium Weimar. Saya berkesempatan mendengarkan kesaksian dari Sara Mardini, seorang aktivis dari Suriah yang lantang bersuara mengadvokasikan hak-hak para pengungsi. Bersama dengan adiknya, Yusra Mardini, mereka mempertaruhkan nyawanya menyeberangi Laut Aegean dari Turki menuju Pulau Lesbos, Yunani. Ia mengalami berbagai kejadian traumatis; harus meninggalkan rumahnya, berpisah dengan keluarganya, melihat negaranya hancur lebur, dan sempat kehilangan kepercayaan pada kemanusiaan karena harus menahan segala hujatan dan juga ujaran kebencian yang ditargetkan kepada para pengungsi. Sungguh kesusahan yang bertingkat-tingkat.
Nada kegusaran yang sama disampaikan oleh Nathan Law, kami berbicara sembari berbagi naungan payung dari hujan musim semi. Nathan adalah seorang aktivis dan pemimpin gerakan mahasiswa di Hong Kong yang terpaksa meninggalkan negaranya dan kini menetap di Inggris. Ia mengkritik pemerintah Tiongkok yang otoriter membungkam kebebasan berekspresi para warga Hong Kong. Walau berada jauh dalam pengasingan, tak habis-habisnya ia mengkhawatirkan keadaan teman-temannya dan juga warga Hong Kong lainnya yang mengalami kriminalisasi.
Kekecewaan seperti pengalaman Sara dan Nathan, dapat membuat pribadi manapun terpukul dan menjadi pesimistis. Adakah yang dapat kita percayai, saat bertubi-tubi terbentur dengan kebencian, kecurigaan, bahkan kebohongan. Siapa yang dapat kita percayai? Apakah kepercayaan itu selalu positif? Bagaimana merawat kepercayaan dan optimisme di dunia yang amat terpuruk? Ini beberapa pertanyaan filosofis yang menempati pemikiran saya.
Kepercayaan pada dasarnya terpaut dengan obyek kepercayaan itu. Dalam hal spirit reformasi, misalnya, sulit mengukuhkan kepercayaan pada institusi politik jika lembaga-lembaga tersebut sukar diandalkan. Kepercayaan publik dalam konteks ini bukanlah keyakinan mutlak pada sistem yang ada, alih-alih kurangnya kepercayaan adalah cara bagi masyarakat untuk mengkritik kekuasaan dan kepemerintahan yang tengah berlangsung. Kepercayaan menurut saya memerlukan pemeriksaan yang teliti, kepercayaan juga melibatkan penalaran yang ketat dan mempertimbangkan aspek empatik. Ini menghindarkan kita terjebak pada kepercayaan yang berkutat hanya pada kelompok atau golongan tertentu dan menutup diri dari komunikasi yang setara, terbuka dan inklusif.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Budayawan Sindhunata bernyanyi bersama seniman Soimah saat pembukaan Pameran Kita Berteman Sudah Lama-Ekspresi 100 Seniman dan Perupa Yogyakarta Mengenang 25 Tahun Reformasi di Bentara Budaya Yogyakarta, Kotabaru, Yogyakarta, Sabtu (20/5/2023).
Kepercayaan pada reformasi adalah kebebasan dari belenggu kekuasaan tirani dan terbentuknya tatanan masyarakat yang demokratis. Jika merujuk pada pemikiran seorang filsuf politik, Seyla Benhabib, demokrasi deliberatif berarti partisipasi warga negara yang aktif dan menjurus langsung pada isu-isu publik. Dialog antarindividu menjadi bagian terpenting dalam pengambilan keputusan. Benhabib mengatakan dalam pengantar ”Politik di Waktu Kegelapan” bahwa munculnya kebaruan dalam gerakan sosial politik dimungkinkan karena ada keberanian dari warga negara. Apa yang dapat saya simpulkan dari proses reformasi ini, bahwa demokrasi selalu dalam pertaruhan. Kepercayaan interpersonal warga negara, atau kepercayaan kolektif menjadi sangat penting untuk mengawasi negara dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya.
Saras DewiPengajar Filsafat di Universitas Indonesia