Budaya pertanian yang bertautan dengan ritual Seblang berada dalam bahaya. Melihat dari pematang sawah, terlihat terdesaknya sawah terakhir di Bakungan oleh pembangunan gedung-gedung yang pesat terjadi di sekitarnya.
Oleh
Saras Dewi
·3 menit baca
SALOMO TOBING
Saras Dewi
Rerumputan dan bunga liar berkusu-kusu hening mengelilingi suatu makam. Dalam setiap lambaian tertiup angin pagi, mereka nampak seperti penjaga batu nisan itu. Tanah di sekitarnya masih lembab, tersisa dari hujan semalam. Saya berlutut dan memandang tanaman liar yang menjalar dari segala arah, Cyanthillium cinereum, atau lebih dikenal sebagai sawi langit, Desmodium gangeticum atau daun picah, dan Phyllanthus niruri atau Meniran, memenuhi tempat itu.
Pada momen semacam ini, saya terpikir tentang karya seorang penyair sekaligus ilmuwan Johann Wolfgang von Goethe yang berjudul Metamorfosis Tumbuhan (1790). Terpikir cara ia menggambarkan perubahan yang terjadi pada tumbuhan dan uniknya siklus hidup tumbuhan itu, dan cara pandangnya yang menempatkan manusia tidak terpisah dari semarak keajaiban dunia tumbuhan tersebut. Segalanya kembali ke tanah, dan tubuh sang penari yang bersemayam telah menjadi satu dengan rimbun tumbuhan itu.
Seringkali tanaman liar tumbuh tanpa orang-orang menghiraukannya, namun, ketua adat Using di desa Bakungan yang berdiri di samping saya tersenyum sambil menunjuk ke arah mereka. Ia mengatakan bahwa sebagian tanaman tersebut diyakini oleh warga berkhasiat sebagai obat tradisional, sebagian juga digunakan di dalam ritual tari Seblang.
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO
Berangkat Menuju Lokasi Pangung Seblang
Tari Seblang merupan tarian kuno yang menjadi ciri khas tarian sakral dari Banyuwangi, Jawa Timur. Tarian ini merupakan prosesi suci yang diyakini oleh warga setempat diselenggarakan demi menangkal berbagai ancaman marabahaya. Terdapat dua ragam tari Seblang di Banyuwangi; Seblang dari desa Olehsari melibatkan penari perempuan muda, sedangkan Seblang dari desa Bakungan adalah tarian yang dibawakan oleh seorang perempuan yang sudah lanjut usia.
Makam Mbah Witri yang dihiasi lentik pucuk-pucuk tanaman liar, adalah situs penting dalam sejarah tari Seblang Bakungan. Di tempat inilah masyarakat desa berziarah untuk menghormati leluhur penari Seblang yang terdahulu. Mbah Witri diperkirakan menjadi penari Seblang dari tahun 1757 hingga 1832, ia pun dikagumi oleh warga sebab dianggap sebagai penari Seblang yang amat sakti. Penghormatan kepada leluhur adalah bagian fundamental dalam ritual Seblang. Para penerus penari Seblang beserta warga desa akan mendatangi makam sebelum malam hari diselenggarakannya ritual.
Melekat di benak saya puisi Goethe tentang alam, saat cahaya menyentuh semua tanah, tunas kehidupan pun merekah. Metamorfosis dalam konteks ini, saya maknai sebagai perubahan yang terjadi melalui keterhubungan satu dengan yang lainnya. Perubahan itu tidak terjadi pada diri sendiri saja, tetapi memercik mendorong pertumbuhan ke seluruh jejaring kehidupan.
Saat roh halus atau dhanyang merasuk ke dalam tubuh penari, warga meyakini tarian itu menjadi episentrum yang merangkai manusia bersama alam dan Tuhan. Dari cerita nenek moyang di desa Bakungan, asal muasal dari ritual Seblang terkait dengan upaya manusia untuk berdialog dengan alam. Konon, pada masa terdahulu, desa itu adalah hutan lebat yang dipenuhi dengan bunga bakung. Prahara muncul ketika perambahan hutan terjadi, sehingga dapat dimengerti bahwa ritual Seblang adalah cara manusia berkomunikasi dengan segala suara-suara yang ada di alam.
Perjalanan saya ke Banyuwangi berbekal pula lembar-lembar arsip tentang Tari Seblang, salah satunya ditulis oleh seorang peneliti tari Sal Murgiyanto. Ia meneliti tentang tari Seblang dan tulisannya telah dipublikasi pada tahun 1980. Kala itu, penari Seblang bernama Mbah Anjani, yang menari dari tahun 1965 hingga 1986.
Sal Murgiyanto menggambarkan dengan detil khususnya tentang Omprok, atau mahkota yang menghiasi kepala sang penari Seblang. Saya mencermati gambar tua yang mulai pudar kekuning-kuningan, gambar itu menampilkan Mbah Anjani yang sedang kerasukan dengan kedua mata yang tertutup. Ia mengangkat dua keris, masing-masing di tangan kanan dan kirinya. Keris yang memperlambangkan dienyahkannya bala. Seolah-olah badan penari menjadi tanda: perisai dari berbagai malapetaka, pengharapan agar sawah ladang terbebas dari petaka hama, dan perekat yang menjadikan masyarakat desa hidup dalam keharmonisan.
Saya membayangkan Omprok yang digunakan Mbah Anjani, yang terbuat dari potongan-potongan kain kafan, mengayun menyerupai gerai rambut berwarna putih, mengikuti gerakan kepalanya. Ia berdiri dikelilingi juntaian janur dan bunga kamboja.
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO
Mengunjungi Situs Makam Mbah Ketut Leluhur Desa Olehsari. Tradisi seblang merupakan ritual tradisional yang dilakukan secara turun-temurun sejak tahun 1930.
Sambil berkeliling di desa Bakungan, ketua adat, Heri Purwoko menyampaikan kesedihannya karena masyarakat tengah kehilangan penari Seblangnya yang bernama Mbah Supani, ia meninggal dunia pada bulan Agustus tahun lalu di usia 72 tahun. Layaknya tradisi yang telah berlangsung selama ratusan tahun, pemilihan penari Seblang yang selanjutnya akan ditentukan melalui rembuk adat antar warga desa Bakungan.
Sembari terus berjalan, saya mendengarkan cerita ketua adat, hingga kami tiba di sumber air Watu Ula. Suara aliran air yang deras mengiringi percakapan kami, air ini dianggap suci dan menjadi bagian dari ritual tari Seblang. Air adalah elemen mendasar dalam ritual yang erat hubungannya dengan tradisi masyarakat pertanian.
Saya terhenyak ketika menyadari budaya pertanian yang bertautan dengan ritual Seblang berada dalam bahaya. Melihat dari pematang sawah, saya amati terdesaknya sawah terakhir di Bakungan oleh pembangunan gedung-gedung yang pesat terjadi di sekitarnya. Riset yang dilakukan oleh peneliti ilmu budaya, Novi Anoegrajekti (2020) menggarisbawahi poin bahwa sebagian lahan sawah di Bakungan telah beralih fungsi, juga problem menurunnya minat para pemuda pemudi untuk bertani.
Saya merenungkan makna objek-objek budaya pertanian dalam ritual Seblang seperti alat bajak, lalu tanaman yang digunakan seperti padi dan umbi-umbian. Demikian pula dalam gendingan yang menuturkan berbagai kembang; bunga Menur, bunga Gadung. Kentalnya pemaknaan berkebun dan bertani, sekaligus perayaan hidup di tengah-tengah alam. Oleh karena itu, untuk melestarikan ritual tari Seblang, jika ditelisik secara kritis berarti dipertahankannya pula budaya luhur pertanian beserta alam tempat bermukim dhanyang.
Saras DewiPengajar Ilmu Filsafat di Universitas Indonesia