Teknologi digital dalam konteks ini seolah-olah dapat membuat individu bekerja secara maksimal. Inilah paradoks dari kultur layar, memang tampak di layar tetapi tidak ada kehadiran diri.
Oleh
Saras Dewi
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Saras Dewi
Dengan terengah-engah kita menjalani hidup dalam kondisi pandemi. Napas masih memburu, sementara itu rintangan muncul silih berganti. Kelelahan menggantung di kerutan kening setiap insan yang memikirkan masa depan yang masih kabur. Tanpa jeda menimbang kesanggupan, kita dipaksa sigap untuk berubah menyesuaikan diri dengan keadaan yang membingungkan ini.
Saya merenungkan kemurungan dan kelelahan yang sedang bersarang di dalam masyarakat. Kelelahan itu terjadi secara sunyi, tersembunyi dalam upaya orang-orang untuk bangkit kembali. Kita ingin segera berdaya lagi, menguasai keadaan seperti dulu kala. Namun, keadaan tidak akan pernah sama seperti dahulu. Virus ini merombak masyarakat hingga ke sendi-sendi kulturalnya.
Kita memang terlempar memasuki budaya baru. Digitalisasi yang mulanya adalah disrupsi, kini menjadi fondasi bermasyarakat. Kehidupan kita tidak cukup dimaknai sebagai fakta biologis, melebihi itu, diri kita ditandai pula dengan keberadaan di ruang digital dalam multiplisitas platform. Pandemi ini tidak dapat disangkal mempercepat kefasihan kita menghidupi dunia digital. Orang-orang begitu tangkas membawakan dirinya menelusup ke dalam berbagai gawai melalui aplikasi-aplikasi.
Pertemuan virtual mulanya adalah salah satu pilihan, cara bernegosiasi kita untuk mensiasati waktu atau jarak. Akan tetapi, semasa pandemi pertemuan melalui layar menjadi keharusan, cara kita mempertahankan interaksi sosial dan keterhubungan satu dengan yang lainnya. Aktivitas digital yang tinggi ini, terlepas dari manfaat penerapannya, tentu memiliki dampak-dampak psikologis. Adakah kaitan dengan rasa lelah yang merambak di masyarakat kini?
Filsuf kelahiran Korea Selatan, Byung-Chul Han mengatakan bahwa pandemi ini menyebabkan kelelahan yang fundamental. Ia mengontemplasikan bagaimana masyarakat Korea Selatan menghadapi pandemi, yang memunculkan suatu kondisi disebut dengan corona blues. Orang-orang mengalami bercampur perasaan sekaligus, sedih, marah, gelisah, cemas, hingga mendadak menangis. Byung-Chul Han mengkhawatirkan, meski dengan upaya vaksinasi yang dilakukan untuk memperkuat ketahanan tubuh, kejiwaan sosial masih terpuruk dalam kefrustasian yang ia sebut dengan ’depresi pandemi’. Ia menyinggung fakta menyedihkan tingginya kasus bunuh diri di Korea Selatan. Sepanjang pandemi ini bermacam problem dihadapi oleh masyarakat, tekanan ekonomi, terbelit utang piutang, menghadapi kematian orang-orang yang dicintai, hingga rasa kesepian, ini semua menyebabkan keputusasaan.
Dalam bukunya, The Burnout Society, yang dipublikasi pertama kali pada tahun 2010, ia membicarakan tentang gelombang optimisme yang masa itu melanda Korea Selatan. Slogan, ”Yes we can!” menjadi pegangan bagi masyarakat Korea Selatan untuk membayangkan transformasi sosial yang dicita-citakan. Dorongan ini menjadikan orang-orang terobsesi untuk menjadi produktif, mendahulukan optimalisasi kerja dan pencapaian yang maksimal. Kelelahan bekerja dianggap wajar sebab akan otomatis menghasilkan kebahagiaan. Ia menggugat ilusi ini, deifikasi terhadap kerja yang berlebih hingga mengeksploitasi diri. Tentu kerja dapat menjadi proses yang bermakna, mendasar dalam mensejahterakan diri.
Kerja pun dapat menjadi kegiatan yang kreatif dan membanggakan. Namun, kerja mati-matian, atau budaya gila kerja sangat mengancam kesehatan fisik maupun mental seseorang. Doktrin kerja sampai mati, atau fenomena hustle culture, dilanggengkan oleh sistem sosial dengan glorifikasi: hidup demi bekerja yang melazimkan pengorbanan terhadap kesehatan dan waktu beristirahat.
Selain itu, melalui contoh seperti yang terjadi di Tiongkok dengan sistem waktu kerja 996, yang berarti waktu bekerja dari pukul 9:00 hingga 21:00, 6 hari per minggu, sarat sekali dengan eksploitasi dan dehumanisasi yang dinormalisasi oleh industri.
Kultur layar yang sedang digeluti oleh masyarakat memang dapat menimbulkan keletihan. Seseorang dapat hadir pada dua atau tiga layar gawai-gawainya, ikut serta ke dalam tiga pertemuan yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Teknologi digital dalam konteks ini seolah-olah dapat membuat individu bekerja secara maksimal, hadir dalam pertemuan secara paralel. Namun, betapa penatnya diri jika harus selalu membelah konsentrasi.
Menurut saya, inilah paradoks dari kultur layar, memang tampak di layar tetapi tidak ada kehadiran diri, atau komitmen pada peristiwa tertentu. Pertemuan di platform Zoom serasa sedemikian hampa, apalagi jika segenap peserta mematikan videonya. Byung-Chul Han menyebutkan komunikasi digital sebagai pertemuan yang kering, tanpa tatapan mata, tanpa kehadiran tubuh. Ini yang menyebabkan kelelahan, komunikasi tanpa resonansi, tanpa getaran, tanpa kebahagiaan. Pandangan kita kosong melihat layar, seperti zombi zoom, tulisnya.
Kristi Poerwandari seorang guru besar di Fakultas Psikologi, UI, menyampaikan bahwa psikologi sebagai keilmuan penting untuk memperhatikan perilaku manusia beserta berbagai tantangan penyesuaian psikologis, isu kesehatan mental dan masalah eksistensial dalam kerangka penggunaan teknologi digital.
Sebagian orang ingin meredam kesepiannya dengan menggunakan internet, mereka menampilkan citra diri ke media sosial untuk memperoleh afiliasi dan penerimaan. Alih-alih merasa terpenuhi, mengonsumsi derasnya informasi yang seolah-olah selalu baru, justru semakin menyebabkan rasa kesepian. Seseorang dapat lebih merasakan keresahan karena tekanan citra-citra yang diparadekan, yang membuat diri merasa selalu kekurangan.
Byung-Chul Han menyatakan bahwa pandemi ini dapat menjadi titik balik untuk memperbaiki pemaknaan kita tentang hidup. Kelelahan kolektif ini mengungkapkan harapan untuk memperbaiki ketersalingan antarmanusia, sebab, kita sejatinya bersama dalam kelelahan dan kesepian ini.
Kerinduan terhadap keintiman sosial menjadi realisasi awal bahwa kita perlu mencurahkan energi tidak pada individualisme dan narsisisme kompetitif, namun cinta kepada manusia yang lain. Cinta yang meyakini pemulihan kolektif itu dilalui dengan memberikan diri untuk mendengarkan, bahwa kita sama-sama rapuh, terjerembab dan menderita dalam dunia yang patah.
(Saras Dewi, Pengajar Filsafat di Universitas Indonesia)