Reformasi Paradigma Politik, Memberantas Korupsi
Mengandalkan lembaga antirasuah dengan ”ritual tangkap-menangkap” saja tidak cukup untuk memberantas korupsi jika tanpa disertai ”reformasi paradigma politik”. Paradigma politik ini yang menjadi ujung dan pangkalnya.
Dalam laporan Transparency International Indonesia yang rilis pada Januari 2023, skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2022 menurun dari angka 38 pada 2021 menjadi 34 pada 2022.
Penurunan skor IPK Indonesia pada 2022 itu kiranya penting menjadi perhatian bersama. Meski IPK sekadar angka, bisa dikatakan angka itu adalah representasi dari tubuh kekuasaan kita. Semakin rendah IPK kita, maka dapat dipastikan semakin korup pula tubuh kekuasaan kita. Karena itu, laporan TII itu jangan hanya dibaca sebagai laporan, tetapi juga sebagai alarm bagi masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Lantas, apa yang harus kita lakukan? Reformasi paradigma politik. Selama ini, pemberantasan korupsi di Indonesia hanya berfokus pada ”gunung es” yang tampak di permukaan saja, yakni korupsi itu sendiri. Sementara akar masalah dari korupsi, yakni paradigma politik, tidak pernah disinggung. Dengan demikian, kerja-kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan tak ayal hanya berkutat pada ritual tangkap-menangkap. Padahal, kejahatan korupsi yang terjadi di Indonesia berkait kelindan dengan paradigma politik kita.
Baca juga: Skor IPK Anjlok Kirim Sinyal Negatif
Paradigma politik merupakan cara kita melihat memandang politik kekuasaan yang ada di tangan kita. Pada tahap selanjutnya, paradigma inilah yang membentuk perilaku kita dalam memperlakukan atau mengoperasikan politik kekuasaan yang berada dalam genggaman.
Apabila paradigma politik yang digunakan untuk memahami politik dan kemudian mengoperasikannya benar, maka akan baik (bajik/bijak) pula kita dalam mengoperasikan politik kekuasaan. Namun, sebaliknya, apabila kita salah dalam memilih paradigma untuk memahami politik, maka akan salah pula kita dalam menjalankan kekuasaan yang diamanahkan kepada kita.
Mengutip Max Weber (1864-1920), secara umum ada dua bentuk paradigma politik. Pertama, paradigma politik yang melihat politik sebagai panggilan hidup (vocation). Kedua, paradigma politik yang memahami politik sebagai bukan panggilan hidup (avocation), melainkan sebagai profesi atau pekerjaan untuk mencari keuntungan.
Kedua paradigma itu memiliki makna dan implikasi yang berbeda terhadap tatanan politik kita. Paradigma pertama, secara simultan akan membentuk para pengelola negara (politisi/pejabat) yang berintegritas, jujur, dan bertanggung jawab tinggi. Sementara paradigma kedua berimplikasi pada terbentuknya pejabat publik yang tidak jujur, egois, dan tidak bertanggung jawab.
Di antara dua paradigma itu, pemahaman politisi kita perihal paradigma politik hampir bisa dipastikan lebih condong kepada bentuk paradigma kedua. Buruknya transparansi pengelolaan kekuasaan publik dan menurunnya IPK Indonesia sepanjang 2022 itu memberi tahu kita perihal bagaimana para politisi kita memandang, melihat, dan memperlakukan kekuasaan politik yang diamanatkan kepada mereka. Politik tidak dipahami sebagai jalan pengabdian kepada bangsa dan kehidupan. Sebaliknya, politik dipahami sebagai jalan/profesi untuk mencari keuntungan materi guna menambah pundi-pundi pribadi.
Dalam pandangan politisi kita, politik adalah bisnis. Untuk mendapatkan keuntungan jumbo, maka harus melakukan investasi jumbo pula.
Di setiap kali momentum politik elektoral, dana besar-besaran melebihi batas kewajaran dikucurkan. Meski secara kalkulasi matematik gaji pokok berikut tunjangan yang didapatkan dari jabatan yang diperebutkan terhitung tidak cukup untuk menutupi biaya politik yang dikeluarkan (itu pun jika menang), penggelontoran dana besar-besaran itu tetap dilakukan. Sebab, dalam pandangan politisi kita, politik adalah bisnis. Untuk mendapatkan keuntungan jumbo, maka harus melakukan investasi jumbo pula. Tentu dengan cara memanipulasi kekuasaan politik yang didapatkan serta memonopoli sumber daya negara yang berada dalam teritori dan jangkauan kekuasaan yang dimilikinya.
Sebab, hanya dengan cara itulah modal besar yang dikeluarkan sebagai biaya politik dapat ditutupi dan keuntungan jumbo bisa diperoleh. Bahkan, hal semacam ini juga berlaku dalam jabatan-jabatan tertentu yang tidak diperebutkan melalui jalur pemilihan umum. Sebab, meski tidak melalui jalur pemilu, jabatan sebagai hakim, misalnya, biasanya juga tidak didapatkan secara cuma-cuma, tetapi melalui sebuah transaksi materiil (sogok-menyogok/jual-beli jabatan) atau imateriil yang masih berkaitan dengan keuntungan politik dalam jangka panjang. Akhirnya, terjadilah korupsi berantai atau berjemaah.
Reformasi paradigma politik
Oleh karena itu, maka dapat dipastikan bahwa untuk mencegah dan mengakhiri penyalahgunaan kekuasaan berupa korupsi, mengandalkan lembaga antirasuah dengan ”ritual tangkap-menangkap” saja tidak cukup tanpa disertai dengan ”reformasi paradigma politik”. Sebab, pokok persoalan yang sesungguhnya ada pada cara kita melihat dan memperlakukan kekuasaan politik itu sendiri.
Salah satu cita-cita Reformasi 1998 adalah mengakhiri rezim KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Karena itu, pada 2002, sebagai ketidakpuasan kepada Kapolri, dibentuklah KPK. Namun, alih-alih berakhir, praktik KKN semakin menyebar luas ke seluruh lapisan kekuasaan negara seiring dengan diberlakukannya desentralisasi.
Terlebih, KPK dan beserta lembaga antirasuah lainnya juga penuh dengan masalah integritas. Karena itu, tanpa melakukan reformasi paradigma politik dan hanya terus berharap tanpa akhir kepada lembaga-lembaga antirasuah itu bukanlah pilihan ideal. Pun, misalnya, KPK dan lembaga-lembaga terkait tidak terjerembap dalam persoalan integritas, bukankah korupsi tidak akan berakhir hanya dengan pemidanaan pelaku. Pemidanaan bukan tidak penting. Pemidanaan tetap penting untuk menghukum pelaku kejahatan kekuasaan. Setidaknya, hal itu untuk menimbulkan efek jera bagi si pelaku.
Tanpa melakukan reformasi paradigma politik dan hanya terus berharap tanpa akhir kepada lembaga-lembaga antirasuah itu bukanlah pilihan ideal.
Namun, mengharap pemidanaan akan menimbulkan rasa takut bagi pemangku kekuasaan yang lain agar tidak melakukan kejahatan serupa tampaknya terlalu ilusif meski tidak mustahil. Sebab, mengacu pada sejumlah kasus yang telah terjadi, penangkapan dan pemidanaan yang belakangan ini terus dilakukan oleh lembaga penegak hukum terhadap pelaku kejahatan korupsi nyaris seperti tak ada ”rasa takut” yang ditimbulkan. Korupsi tetap merajalela menggerogoti sendi-sendi kekuasaan negara dengan penuh kerakusan.
Seolah-olah, mereka yang tertangkap dan lalu mendekam di jeruji besi hanyalah bagian dari orang-orang yang tak beruntung dalam menjalani dan menekuni bisnis kekuasaan. Dengan demikian, jangankan menertibkan dan menimbulkan rasa takut, penangkapan dan pemidanaan koruptor itu malah dijadikan ”pelajaran” oleh pelaku pelaku-pelaku kejahatan kekuasaan lainnya untuk menyusun taktik dan modus baru agar kejahatan yang dilakukannya tidak terendus oleh penegak hukum. Karena itu, jika kita melihat prospek penangkapan dan pemidanaan koruptor, sebenarnya hal itu tidak akan berdampak jauh ke depan.
Sebab, penangkapan dan pemidanaan koruptor hanya akan menghentikan kejahatan pelaku yang terungkap. Sementara yang tidak terungkap dan tertangkap tetap berselancar bebas menguras harta dan kekayaan negara. Namun, sekali lagi, tidak lantas penangkapan dan pemidanaan koruptor itu tidak lagi penting.
Baca juga: Tak Cukup Pemberantasan Korupsi
Sebagai langkah memerangi korupsi, penegakan hukum (penangkapan dan pemidanaan) tetaplah penting. Namun, hal itu tidak akan berdampak jangka panjang jika kita hanya fokus pada dua hal itu tanpa melakukan reformasi paradigma politik yang menjadi persoalan utama terjadinya korupsi politik di Indonesia.
Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang kini tengah memasuki fase penggodokan di DPR memang memberi harapan besar bagi masa depan pemberantasan korupsi. Namun, secanggih apa pun RUU Perampasan Aset jika nanti berhasil disahkan, boleh jadi korupsi akan berkurang, tetapi belum tentu berakhir. Sebab, terkadang, di negara yang kejahatan korupsinya sudah sangat akut, secanggih apa pun hukum yang diciptakan secanggih itu pula kejahatan korupsi beroperasi. Karena itu, bagaimanapun, reformasi paradigma politik tetap mutlak penting dilakukan. Sebab, paradigma politik inilah yang menjadi ujung dan pangkal persoalannya.
Reformasi paradigma politik yang penulis maksud di sini tak lain adalah bagaimana kita mengubah cara pandang, pola pikir, dan mindset politisi/pejabat publik kita dalam melihat dan memosisikan diri dalam dunia politik kekuasaan. Yang tidak hanya menjadikan dunia politik kekuasaan sebagai jalan/profesi untuk menumpuk kekayaan, tetapi sebagai panggilan luhur kehidupan untuk berjuang dan mengabdi kepada kehidupan nusa dan bangsa.
Ahmad Farisi, Pengamat Politik dan Peneliti di Akademi Hukum dan Politik