Jokowisme
Jokowisme adalah metafora pemimpin yang bekerja keras memajukan rakyat. Kepemimpinan berani dan berkarakter yang membuat Indonesia menjadi Tanah Air yang membanggakan, negara yang makin dianggap penting di mata dunia.

”Tugas pemimpin adalah membantu masyarakat dari tempat mereka berada menuju tempat yang terkadang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.” (Henry Kissinger, Leadership, 2022).
Salah satu tantangan terberat pemimpin saat ini, kata Kissinger mengutip pandangan Max Weber mengenai kepemimpinan, adalah hilangnya sense of proportion. Dalam konteks hari ini, informasi yang berlimpah membuat pemimpin berpotensi kehilangan proporsionalitas dalam menganalisis, merumuskan strategi untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Dan sebaliknya, informasi negatif bahkan hoaks akan membuat publik cenderung pesimistis dan tidak puas terhadap para pemimpin politik.
Ini adalah era yang tidak mudah untuk memimpin. Menginspirasi dan mendorong masyarakat untuk bergerak menuju visi yang diinginkan seorang pemimpin di era media sosial seperti sekarang adalah sebuah tantangan besar. Tulisan ini mencoba menilai dan memahami karakteristik kepemimpinan ala Jokowi di era yang disebut orang sebagai abad yang berlari.
Baca juga: Legasi Politik Jokowi
Jokowi dalam perspektif Kissinger
Dalam Leadership, Kissinger menyebut bahwa salah satu kualitas terpenting dalam kepemimpinan adalah keberanian dan karakter. Keberanian untuk memilih arah di antara pilihan-pilihan yang rumit dan kompleks, yang memerlukan tekad untuk melampaui yang rutin, dan kekuatan karakter untuk mempertahankan suatu tindakan yang dianggap perlu diambil.
Awalnya tidak ada orang yang percaya bahwa kita bisa membangun sistem kereta bawah tanah karena Ibu Kota rentan banjir. Jokowi yang kala itu menjabat Gubernur DKI memperlihatkan karakter dan keberanian dengan merealisasikan pembangunan transportasi massal cepat (mass rapid transportation/MRT) yang kini menjadi kebanggaan Ibu Kota.

Foto yang diambil dari atap Menara Doa Gereja Bethel Indonesia Fatmawati, Jakarta Selatan, Selasa (14/8/2018), memperlihatkan MRT Jakarta melintas dari Stasiun Lebak Bulus menuju Stasiun Cipete, Jakarta Selatan.
Pesimisme juga muncul ketika Jokowi memulai proses pembangunan infrastruktur. Banyak kalangan mempertanyakan baik manfaat maupun kesiapan kita membangun infrastruktur dalam skala besar-besaran. Namun, Jokowi tetap berkeras.
Kini, lebih dari 2.100 kilometer jalan tol yang dibangun di era kepemimpinan Jokowi telah menghubungkan kota-kota, menggerakkan ekonomi, mempermudah pertukaran barang dan jasa. Pembangunan jalan tol di era kepemimpinan Jokowi lebih dari dua kali lipat dibandingkan pembangunan jalan tol sejak 1978.
Lebih dari 200.000 kilometer jalan desa yang dibangun telah menghubungkan satu desa dengan desa lain, membuka isolasi. Sebanyak 18 pelabuhan yang dibangun menjadi titik hubung sekitar 17.000 pulau dari Sabang hingga Merauke. Sebanyak 21 bandar udara baru telah memperlancar lalu lintas bisnis dan perdagangan antardaerah. Sementara 30 bendungan dan waduk yang dibangun mengaliri sawah-sawah, memperkuat ketahanan pangan kita menghadapi perubahan iklim.
Sebuah kebijakan yang didasarkan atas visi yang jelas bahwa infrastruktur pada akhirnya tidak hanya akan menggerakkan ekonomi.
Inilah kebijakan yang lahir dari kepemimpinan yang memahami persoalan rakyat, kepemimpinan yang mampu menganalisis dan merumuskan strategi yang tepat untuk membangun fondasi yang kokoh untuk menyejahterakan rakyat.
Sebuah kebijakan yang didasarkan atas visi yang jelas bahwa infrastruktur pada akhirnya tidak hanya akan menggerakkan ekonomi. Karena kelak, jalan-jalan, pelabuhan, dan bandar udara adalah titik-titik yang akan memudahkan rakyat Indonesia bertemu dan bekerja sama satu sama lain. Menggerakkan ekonomi dan memperkuat persatuan.
Kualitas yang sama kembali diperlihatkan ketika Jokowi berkeras menjalankan kebijakan hilirisasi nikel, melawan Uni Eropa yang menggugat kebijakan itu di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Sebuah langkah berani dalam membela kepentingan nasional. Dahulu, pada 2013-2014 ketika Indonesia hanya mengekspor bijih mentah, nilai ekspor nikel hanya Rp 20 triliun. Setelah hilirisasi berjalan dan bijih nikel diolah industri dalam negeri, pendapatan negara naik hampir 17 kali lipat menjadi Rp 325 triliun.
Baca juga: Hilirisasi Nikel dan Kisah SDA Kita
Hilirisasi membuka peluang bagi kita untuk kembali membangun basis industri nasional memanfaatkan kekayaan sumberdaya alam yang membuat dunia menjuluki Indonesia sebagai ”The Next Green Superpower”. Hal ini mengingat kita memiliki seperempat cadangan nikel dunia yang merupakan elemen terpenting dalam pembuatan baterai kendaraan listrik. Sebuah kebijakan yang berhasil menggerakkan ekonomi, membuka lapangan kerja bagi anak muda, memberi nilai tambah ekonomi bagi negara, dan menempatkan Indonesia sebagai pemain penting di dunia dalam proses transisi menuju kendaraan berbasis listrik.

Ekspor bijih nikel dan produk turunannya sebelum dan setelah hilirisasi nikel.
Keberpihakan
Pada 2014, di India muncul perdebatan klasik dua ekonom raksasa, Amartya Sen peraih Nobel Ekonomi dan Profesor Jagdish Bhagvati dari Colombia University, mengenai cara-cara untuk mencapai kemajuan.
Amartya Sen mewakili mazhab yang berpandangan bahwa negara harus berinvestasi lebih dalam bidang infrastruktur sosial untuk meningkatkan produktivitas rakyat dan dengan demikian menciptakan pertumbuhan. Sen percaya kemampuan manusia akan berkembang maksimal jika negara turun tangan membantu mereka melalui program sosial, pendidikan, dan kesehatan yang pada akhirnya akan menjadi sumber pertumbuhan berkesinambungan.
Pada kutub lainnya, Jagdish Bhagvati menyarankan agar India lebih fokus pada pertumbuhan. Bhagvati berpendapat bahwa kesejahteraan sosial, kesehatan, dan pendidikan yang berkualitas hanya akan dapat dihasilkan melalui pertumbuhan yang cepat.
Pembangunan infrastruktur secara masif di Indonesia bagian timur adalah cara untuk mengatasi kesenjangan.
Dalam konteks Indonesia, Presiden Jokowi mengambil jalan Amartya Sen. Jokowi memperluas program subsidi sosial, pendidikan, dan kesehatan. Dan itu menjadi modal penting dalam menjawab isu keadilan dan ketimpangan sosial. Kebijakan yang lahir dari intuisi Jokowi yang peka dalam memahami kesulitan rakyat kecil. Intuisi untuk selalu berdiri membela kepentingan orang banyak.
Kepekaan dan pembelaan Jokowi terhadap yang lemah juga terlihat dalam visinya untuk mengatasi kesenjangan antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Pembangunan infrastruktur secara masif di Indonesia bagian timur adalah cara untuk mengatasi kesenjangan.
Ditopang oleh kebijakan hilirisasi, Indonesia bagian timur yang kaya mineral akan tumbuh menjadi pusat pertumbuhan baru Indonesia yang pada gilirannya akan mengurangi kesenjangan dengan wilayah Indonesia bagian barat. Lewat dua kebijakan tersebut, Jokowi memperlihatkan visinya yang kuat tentang cara-cara mengatasi kesenjangan dan menjawab masalah keadilan sosial.

Foto aerial Pos Lintas Batas Negara Sota di Merauke, Papua, Kamis (12/3/2020). Pembangunan pos lintas batas negara yang berada sekitar 90 kilometer dari Merauke itu dimulai pada Januari 2019. Kehadiran Pos Lintas Batas Negara Sota diharapkan dapat mengembangkan kawasan perbatasan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar.
Lulus ujian
Jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia pada April lalu memperlihatkan bahwa dukungan publik terhadap Presiden Jokowi mencapai 82 persen. Angka kepuasan tertinggi sepanjang sejarah. Salah satu sumber kepuasan publik adalah kinerja ekonomi. Pada saat perekonomian dunia memasuki resesi, Indonesia justru tumbuh 5,03 persen, melampaui perkiraan banyak kalangan.
Angka-angka kemajuan ekonomi tak berhenti menjadi sekadar statistik belaka, angka-angka itu termanifes dalam bentuk kepuasan dan dukungan publik terhadap kepemimpinan Jokowi. Fenomena langka mengingat dalam politik dikenal istilah ”kutukan periode kedua”, di mana pemimpin politik di periode akhir masa jabatannya cenderung semakin tidak populer.
Majalah The Economist dalam liputan khusus mengenai Indonesia (Asia’s Overlooked Giant edisi 14/11/22) mengutip lelucon yang menggambarkan bahwa sebelum era Jokowi, Indonesia was the planet’s biggest invisible object. Sebuah negara besar, tetapi tidak pernah dianggap penting di mata dunia.
Di bawah kepemimpinan Jokowi, Indonesia tumbuh cepat menjadi negara yang semakin diperhitungkan. Jokowi membawa rakyat Indonesia mencapai tempat yang tidak pernah terbayang akan dicapai sebelumnya.
Baca juga: Kepemimpinan ”Problem Solving”
Jokowisme
Perjalanan kepemimpinan Jokowi adalah cerita tentang pemimpin yang tumbuh bersama kekuasaan. Pada masa awal terpilih di 2014, orang banyak meragukan kapasitasnya sebagai pemimpin. Namun, Jokowi berhasil mengecewakan para pesimistis. Jokowi kini tidak lagi sekadar presiden, tetapi menjelma menjadi sebuah gagasan, ide besar tentang Indonesia yang hebat, Indonesia yang maju, Tanah Air yang membanggakan.
Sebagai presiden ia berhasil menciptakan benchmark atau mistar ukur baru kepemimpinan dalam wujud Jokowisme. Sebuah ciri kepemimpinan yang dekat dengan rakyat, membela kepentingan rakyat lewat etos kerja keras dalam melayani rakyat. Jokowisme adalah metafora dari pemimpin yang bekerja keras memajukan rakyat. Kepemimpinan berani dan berkarakter yang membuat Indonesia menjadi Tanah Air yang membanggakan, negara yang semakin dianggap penting di mata dunia.
Pada 14 Februari 2024, Jokowisme akan menjadi tolok ukur bagi rakyat dalam memilih calon pemimpin berikutnya. Standar baru telah terbentuk dan rakyat menanti-nanti siapa kandidat yang paling Jokowisme.
Andy Budiman, Wakil Ketua Umum DPP PSI