Versi Presiden Jokowi mengenai Indonesia ke depan sebagian diilhami Bung Karno. Maka, orientasi kekuasan Jokowi bagaimana dapat meninggalkan legasi politik dan membangun fondasi kuat menuju 100 tahun Indonesia merdeka.
Oleh
IKRAR NUSA BHAKTI
·5 menit baca
Meski Joko Widodo bukan sarjana ilmu politik, melainkan sarjana kehutanan, tidak berarti ia tidak mengetahui belantara politik Indonesia. Meski secara akademik tidak belajar disiplin ilmu pertahanan dan keamanan, ia pun mafhum bagaimana menerapkan taktik dan strategi bergerilya dalam menghadapi kekuatan yang lebih besar.
Dengan kata lain, Joko Widodo (Jokowi) yang senyatanya seorang ”wong cilik”, yang melalui strategi gerilya (baca: blusukan), bisa mengalahkan orang yang jauh lebih kuat/besar, ibarat David menghancurkan kekuatan Goliath.
Ini bisa dilihat bagaimana pada Pilkada Jakarta 2012 sebagai Wali Kota Surakarta, Jokowi yang berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dapat mengalahkan Fauzi Bowo, petahana Gubernur DKI Jakarta yang berpasangan dengan Nahrowi Ramli, seorang mayor jenderal TNI AD yang ahli di bidang intelijen dan pernah menjadi Kepala Lembaga Sandi Negara.
Ini juga bisa dilihat bagaimana Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla dapat mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di Pilpres 2014.
Yang juga perlu dikemukakan di sini, meskipun Jokowi bukan pula ahli sejarah Indonesia, ia tentunya tahu persis bagaimana sejarah Indonesia modern, baik prakemerdekaan maupun pascakemerdekaan, terlebih lagi sejarah masa akhir kekuasaan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno oleh kalangan militer diusulkan diangkat menjadi presiden seumur hidup, padahal itu merupakan taktik agar tidak akan ada pemilihan umum yang, jika dilakukan, diduga keras PKI akan memenangi pemilu saat itu, sesuatu hal yang tidak diinginkan kalangan militer.
Sejarah kemudian mencatat, hubungan segitiga asimetris antara Presiden Soekarno, TNI Angkatan Darat, dan PKI meninggalkan militer sebagai penguasa negara dan hancurnya kekuasaan Presiden Soekarno dan kekuatan PKI di belantara politik Indonesia 1960-an.
Era Jokowi adalah era yang memang penuh pertarungan kepentingan dan juga pertaruhan politik.
Sebagai bagian dari generasi baby boomers, Jokowi tentunya juga tahu bagaimana Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Soeharto selama 32 tahun. Dalam suatu percakapan dengan penulis dan beberapa pengamat politik Indonesia pasca-Pilpres 2014, Presiden Jokowi mengemukakan pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban, ”bagaimana bisa, ya, kekayaan alam Indonesia yang begitu banyak dikeruk asing, dikorup penguasa, tanpa menyisakan apa pun kepada penduduk Indonesia, khususnya yang tinggal di sekitar daerah pertambangan”.
Itulah sebabnya, Jokowi berupaya keras mengambil alih semua pertambangan yang dikuasai asing agar bisa berada di tangan bangsa Indonesia dan digunakan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan rakyat, khususnya yang berada di sekitar pertambangan.
Legasi politik
Orientasi kekuasaan Presiden Jokowi ialah bagaimana ia dapat meninggalkan suatu legasi politik yang amat berkesan bagi rakyat Indonesia dan membangun fondasi yang kuat bagi bangsa Indonesia menuju 100 tahun Indonesia merdeka dan sesudahnya.
Versi Presiden Jokowi mengenai Indonesia ke depan sebagian diilhami oleh Bung Karno, bapak ideologis Jokowi.
Antara lain, adalah, bagaimana di banyak daerah dibangun bendungan/dam yang dapat mengairi sawah dan kebun rakyat, bagaimana dari Sabang sampai Merauke bisa dilalui melalui tol darat dan tol laut, sehingga hasil pertanian, pertambangan, dan kelautan dapat dibawa ke pasar di dalam dan di luar negeri. Jokowi juga ingin mengubah kebiasaan pada masa lalu, yakni ekonomi hanya berkutat pada pasar domestik dan kurang berupaya memperluas ekspor, bukan saja pada tujuan ekspor tradisional, melainkan juga ke wilayah/negara lain.
Era Jokowi adalah era yang memang penuh pertarungan kepentingan dan juga pertaruhan politik. Mereka yang dekat dengan Jokowi ada yang ingin mengambil keuntungan ekonomi dan politik dari posisinya sebagai ketua partai, menteri, atau ketua-ketua lembaga perwakilan rakyat. Tidak jarang mereka juga berupaya membungkam suara-suara yang mengkritik pemerintah, khususnya yang menohok kepentingan ekonomi sang pejabat negara.
Ada juga pembantu-pembantu Presiden Jokowi yang demi meraih kepentingan politik dan ekonominya mengusulkan agar dimungkinkan penambahan masa jabatan Presiden Jokowi, baik melalui amendemen konstitusi maupun perubahan undang-undang terkait dengan penundaan pemilu ataupun isu tiga kali jabatan presiden.
Meskipun bukan ahli hukum tata negara, Presiden Jokowi tahu persis bagaimana lika-liku politik setelah Presiden Soeharto lengser, dan bagaimana UUD 1945 diamendemen empat kali, dan mengapa masa jabatan presiden hanya dipatok dua kali masa jabatan.
Bagi Jokowi, dua kali masa jabatan sebagai wali kota Solo, sekali masa jabatan gubernur DKI Jakarta, dan dua kali jabatan presiden sudah cukup.
Jokowi juga bukanlah orang yang haus kekuasaan sehingga harus menggalang kekuatan agar masa jabatan presidennya ditambah, seperti yang dituduhkan William (Bill) Liddle. Bagi Jokowi, dua kali masa jabatan sebagai wali kota Solo, sekali masa jabatan gubernur DKI Jakarta, dan dua kali jabatan presiden sudah cukup.
Ia tidak ingin menjadi ”petugas partai” yang ditugasi Megawati Soekarnoputri untuk menjadi calon presiden pada 2014 yang melangkahi UUD Negara Republik Indonesia 1945. Jokowi tahu persis apa akibat perpanjangan masa jabatan presiden bagi kelanjutan demokratisasi di Indonesia.
Indonesia adalah salah satu contoh terbaik negara yang berhasil melangkah maju dan mengubah diri dari rezim otoriter, masuk ke transisi demokrasi, lanjut ke penguatan demokrasi, dan selanjutnya menjadi negara yang benar-benar mapan demokrasinya.
Dalam kaitan ini, Jokowi tidak mau menjadi korban dari mereka yang ingin tetap mencirikan Indonesia dalam situasi ”Demokrasi Kaum Penjahat”, yang bahasan mengenai hal itu secara historis dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dengan Bill Liddle dan saya menjadi koordinator acara tersebut lebih dari 20 tahun lalu.
Kalau kita kaitkan dengan partainya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Jokowi tentunya ingin agar masa jabatannya juga berhasil sukses, membawa nama harum bukan saja bagi dirinya, partainya, dan klan Jokowi, melainkan juga nama negara bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Jika ia haus kekuasaan dan menerima perpanjangan masa jabatan, taruhan politiknya amat besar, segalanya akan berawal dari titik nol lagi, sesuatu yang tentunya tidak ia inginkan.
Akankah Jokowi menerima gerilya politik untuk menambah masa jabatannya sebagai presiden? Saya pikir tidak, karena saya teringat kalimat dia, ”Saya ingin meninggalkan Istana dengan terhormat!” Kehormatan diri, keluarga, partai, dan bangsanya jauh lebih penting dari sekadar fatamorgana kekuasaan.
Ikrar Nusa Bhakti,Peneliti Politik LIPI (Maret 1984- April 2017), Duta Besar RI untuk Tunisia (April 2017-September 2021)