Agenda reformasi harus terus diperjuangkan. Ancaman matinya demokrasi perlu diantisipasi. Dengan menjadi-jadinya korupsi, harus diambil langkah untuk mengatasinya.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Tiga hari pemberitaan Kompas pada 20-22 Mei 1998 menunjukkan perubahan politik yang begitu dramatis terjadi di negara ini.
Pada 20 Mei 1998, Kompas menulis ”Pak Harto: Saya Ini Kapok Jadi Presiden”. Pernyataan Presiden Soeharto itu disampaikan saat bertemu dengan tokoh masyarakat di Istana Merdeka. Kemudian, 21 Mei 1998, Kompas menulis ”Selamat Datang Pemerintahan Baru”. Judul itu dipetik dari pernyataan pers Ketua Umum PP Muhammadiyah Amien Rais dan cendekiawan Nurcholish Madjid di rumah Malik Fadjar menjelang subuh, 21 Mei 1998.
Dan, benar, 21 Mei 1998 pukul 10.00, Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden, digantikan Wakil Presiden BJ Habibie. Kompas, 22 Mei 1998, menulis berita berjudul ”BJ Habibie Minta Dukungan Rakyat”. Dari sudut pandang formal dan tekstual, Soeharto tak pernah menyatakan mundur sebagai presiden. Ia menyatakan berhenti sebagai presiden dan sesuai konstitusi, Wapres BJ Habibie menggantikannya. Meski demikian, dalam realitas empiris, Soeharto mundur.
Gerakan reformasi 1998 menjadi sejarah hitam bangsa ini. Kerusuhan terjadi di sejumlah tempat, khususnya di Jakarta. Banyak orang tewas dalam kerusuhan. Gerakan reformasi diawali dengan penculikan aktivis. Ada aktivis yang sudah kembali dan masih hidup. Namun, ada pula aktivis yang masih hilang sampai sekarang. Kekerasan politik masih terjadi. Setelah penembakan mahasiswa Trisakti, 13 Mei 1998, masih berlanjut dengan Tragedi Semanggi I dan II.
Kini, reformasi sudah 25 tahun. Agenda reformasi, seperti perubahan UUD 1945, otonomi daerah, dan pencabutan dwifungsi ABRI, sudah dilaksanakan. Namun, tuntutan reformasi pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme boleh jadi masih terseok-seok. Korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap merajalela. Pemerintahan pascareformasi belum bisa mengatasi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penegakan hukum terjebak pada industrialisasi hukum.
Momentum 25 tahun reformasi diperingati di sejumlah tempat. Peringatan reformasi kita pandang baik untuk mengingatkan kembali memori publik bangsa ini yang sangat pendek. Sebagian besar generasi Tiktok tak memahami apa yang terjadi pada kurun waktu Mei 1998 ketika Jakarta terbakar karena ada persaingan politik elite yang mengorbankan rakyat kecil. Media sosial mencitrakan sosok elite seakan tanpa dosa dan menikmati impunitas.
Agenda reformasi harus terus diperjuangkan. Ancaman matinya demokrasi perlu diantisipasi. Dengan menjadi-jadinya korupsi, harus diambil langkah untuk mengatasinya. Dwifungsi ABRI yang sudah diperjuangkan perlu dirawat agar tak berubah menjadi ”dwifungsi” dalam formal lain: penguasa dan pengusaha yang kemudian disebut oligarki. Reformasi kedua harus dirumuskan oleh masyarakat sipil yang masih memiliki mimpi dan mempunyai gagasan untuk menghadirkan keadilan lintas generasi, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.