Bukan saya tidak bersyukur reformasi terjadi atau menafikan banyak hal positif yang telah dilahirkannya. Tapi, saya bertanya-tanya apakah ”segini” saja perubahan yang dibawa dalam 25 tahun?
Oleh
Lynda Ibrahim
·5 menit baca
GRAPHIC VICTIMS
Reformasi Graphic Victims
Kalau tidak diingatkan media massa, saya tidak tersadar bahwa Reformasi 1998 berulang tahun ke-25 minggu ini.
Bukan karena saya tak terimbas atau minimal peduli pada apa yang terjadi 25 tahun lalu. Rumah kami berada di kompleks yang didominasi Tionghoa—hampir semua rumah yang menghadap jalan utama, termasuk rumah orangtua saya, mengalami kerusakan. Kami sudah meletakkan sajadah di pagar bertuliskan ”Rumah milik haji orang Aceh”, tapi tetap dilempari batu, dan saya nyaris kena pecahan kaca jendela. Kami beruntung bahwa perusuh hanya melempar batu dan tidak menerjang masuk. Tengah malam, tetangga sebelah mengetok pintu untuk pamit karena mereka mau meninggalkan Jakarta. Sampai hari ini, mereka tidak pernah kembali dari Australia. Rumah mereka sempat kosong beberapa tahun, akhirnya ditempati kerabatnya.
Trauma saya tidak seberapa dibandingkan dengan trauma yang dirasakan etnis Tionghoa di Indonesia, terlebih karena mereka sudah jadi korban pada sekian pergolakan politik sejak zaman Belanda. Perampasan harta, pembunuhan, pemerkosaan—sebagian besar dinafikan, adalah trauma bergenerasi tersendiri.
Jadi, saya terimbas dan peduli atas kerusuhan 1998. Tapi, yang mungkin membuat saya merasa semu terhadap reformasi adalah karena saya tidak merasa ada perubahan tingkat seismik selama ini.
Mulai dari sistem demokrasi. Benar sekarang ada pemilu dan pilkada secara berkala, dan presiden tidak boleh menjabat lebih dari dua kali. Tapi, walau dengan sekian banyak partai politik, pertempuran tetap tidak terjadi pada tataran ideologi, tapi lebih pada sosok populis. Elite politik masih berputar di lingkungan yang kurang lebih sama dengan sebelum reformasi, melompat dari satu kubu ke kubu lainnya sesuai arah angin. Tidak heran politik identitas lekas meluas—saat seseorang gagal menggagas dengan bernas, apa lagi yang dijual selain identitas? Alih-alih menjadi bangsa yang tulus mengamalkan kebinekaannya, kita makin tergiring oleh tirani mayoritas.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Pengamat Politik & Ekonomi Faisal Basri, dan Audrey Chandra (moderator, kiri ke kanan) menjadi narasumber dalam sarasehan bertajuk ”Reformasi Memanggil; 25 Tahun Reformasi bersama Aldera” di Jakarta, Jumat (19/8/2023).
Kedua, desentralisasi. Saya termasuk yang dulu amat antusias dengan buah reformasi ini, karena bayangan lugu saya pemerataan ekonomi dan sosial akan mudah terwujud. Walau benar beberapa daerah menikmati kemajuan karena bisa memutuskan nasibnya sendiri, bukan tanpa disertai dengan suburnya raja-raja kecil di berbagai penjuru lain. Di dunia konsultasi bisnis, saya sering harus menahan malu saat investor asing setengah bergurau (dan setengah putus-asa) berujar bahwa dulu semua urusan bisnis Indonesia bisa sekaligus diselesaikan di meja besar di awal, tetapi sekarang dicicil di sederet meja kecil sepanjang jalan dengan berbagai persyaratan (resmi atau tidak) yang berbeda.
Ketiga, arus informasi. Tak bisa dimungkiri salah satu akselerator Reformasi 1998 adalah internet yang saat itu sedang menyebar aksesnya di perkotaan dan generasi muda Indonesia. Telepon seluler, walau mahal bila dibandingkan dengan akses internet sekarang, saat itu mulai mampu dimiliki kelas menengah perkotaan. Lagi-lagi, dalam bayangan lugu saya, keterbukaan akses informasi akan menjadikan Indonesia sebagai negara terbuka dan bangsanya melek kebenaran, siap lari maju mengejar ketertinggalan. Kenyataannya sekarang, perangkat seperti UU ITE membungkam proses penyampaian pendapat dan pengungkapan kebenaran. Di sisi masyarakatnya sendiri, akses murah internet ternyata bukan dipakai optimal untuk mencari informasi baru dari sumber yang sahih dan mumpuni, tetapi malah jadi pintu untuk entah mengurung diri dengan yang sepemikiran (echo chamber) atau terjeblos jebakan teori konspirasi. Bagi generasi Z yang tidak tahu kehidupan sebelum adanya internet, kadang termakan paradigma bahwa sesuatu yang tidak bisa mereka temui di dunia maya artinya tidak ada—tidak sadar bahwa alur masuk informasi (feed) di media sosial disetir oleh algoritma pemilik aplikasi.
Banyak hal lain lagi, terutama yang berhubungan dengan kepedulian terhadap isu-isu yang lebih besar, misalnya alam dan lingkungan. Saat sedunia sudah di taraf mencoba menyetop pemanasan global dan mengganti sumber energi, Indonesia masih bercokol di masalah mendasar tentang membuang sampah ke tempatnya dan menciptakan transportasi publik yang memadai.
Sekali lagi, bukan saya tidak bersyukur reformasi terjadi atau menafikan banyak hal positif yang telah dilahirkannya. Tapi, saat saya melihat sekeliling, saya bertanya-tanya apakah segini saja perubahan yang dibawa dalam 25 tahun terakhir. Kalau kita pindahkan rentang seperempat abad ke dekade 1950, artinya saat ini kita ada di tahun 1975. Antara 1950-1975 banyak sekali lompatan teknologi, sosial dan politik yang terjadi dan mengubah arah hidup manusia. Contoh kecil, perempuan pada tahun 1950 umumnya terbatas mendapatkan pekerjaan sebagai guru, perawat atau tenaga administrasi, pada 1975 sudah mulai mendobrak dunia ”maskulin” seperti teknik, kedokteran, dan sains lainnya. Banyak contoh lompatan lainnya bila Anda sering membaca buku sejarah atau menonton dokumenter berkualitas, dan lompatan besar ini yang tak kunjung saya rasakan setelah reformasi.
Dengan ironis, saya jadi teringat frase favorit Orde Baru, yaitu ”Indonesia siap tinggal-landas menuju…”. Ini yang terjadi terus sampai sekarang, bahwa kita sebatas siap-siap tinggal landas. Menderu-deru terus di landasan terbang, kadang mandek atau mundur, lalu sesaat semangat lagi untuk berpacu, tetapi tak kunjung mengudara apalagi sampai tujuan. Beda sekali dengan Korea Selatan, yang padahal berpuing karena Perang Korea selama delapan tahun setelah Indonesia merdeka. Namun, sekarang sudah menjadi negara maju dengan PDB per kapita jauh di atas Indonesia dan kekuatan budaya populer yang dikenal dunia.
Banyak teman saya yang menyekolahkan anak ke luar negeri kaget bahwa anak mereka tak mau kembali ke Indonesia. Walaupun di perantauan mereka warga kelas biasa, terlepas dari kemudahan memiliki ART dan sopir seperti di Indonesia, dan mungkin hanya akan mampu membeli properti vertikal kecil setelah bekerja, ternyata mereka merasa lebih nyaman karena negara rantau punya sistem yang kokoh berjalan tanpa tergantung siapa yang berkuasa dan apakah kita dekat ke pusaran kuasa. Sepenuhnya saya bisa paham cara berpikir anak-anak ini, walau artinya bagi Indonesia potensi brain drain. Mirip beberapa negara Asia, Afrika dan Amerika Latin yang anak muda terbaiknya berlomba meninggalkan keluarganya, kadang dengan risiko bekerja ”di bawah” nilai ijazahnya di perantauan, mungkin akan membanyak diaspora Indonesia dengan rute yang senada.
Ya habis, sudah seperempat abad reformasi, negara ini ya masih begini ini. Jadi? So what gitu, loh?
LYNDA IBRAHIMkonsultan bisnis & penulis
Editor:
MOHAMMAD HILMI FAIQ
Bagikan
Kantor Redaksi
Gedung Kompas Gramedia, Jalan Palmerah Selatan 26-28, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.