Ketakjuban kurang lebih serupa saya alami dua pekan lalu tatkala mengunjungi Sarinah. Saya tercengang melihat bagaimana Mira Lesmana dan timnya mengajak para perupa mengekspresikan sajak-sajak Chairil dalam seni video.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
Di Sarinah, pusat perbelanjaan ikonik di Jalan MH Thamrin, Jakarta, sajak Chairil Anwar ”Derai-derai Cemara” terasa chaotic bagi saya. Diungkapkan dalam bahasa visual video art, ia tak lagi liris seperti ketika saya menikmatinya sebagai bacaan: ”Cemara menderai sampai jauh/Terasa hari akan jadi malam…” dan seterusnya.
Jangan keburu mengira saya sedang menilai apalagi menghakimi mana lebih super di antara dua medium berbeda tersebut. Di sini, dalam pameran di lantai 6 gedung Sarinah, yang tengah merevitalisasi diri untuk tetap jadi ikon Ibu Kota seperti dulu dicita-citakan Bung Karno, saya merasakan perubahan zaman.
Lumayan lega bahwa di mal yang pada awal berkembangnya cultural studies sering dijuluki sebagai ”katedral modernisme” ada cultural zone seperti lantai 6 Sarinah itu. Dengan lantai-lantai di bawahnya kian atraktif sebagai pusat perbelanjaan—enak untuk jalan-jalan dan ngopi—khusus lantai 6 sejak dua tahun belakangan ditangani oleh Heri Pemad.
Bagi yang kurang akrab dengan dunia seni rupa, baiklah saya kenalkan, Heri Pemad adalah penggagas dan pelaksana ArtJog, event tahunan seni rupa yang menarik perhatian internasional dan ikut andil makin menjadikan Yogya sebagai cultural hub. Disusul kemudian ArtBali di Bali.
Sejak lama Jakarta di mata saya kurang memiliki apa yang mustinya dimiliki sebuah kota besar, yaitu etalase kebudayaan. Tidak perlu membandingkan dengan New York atau London yang dijuluki ”Mekkah-nya kesenian”. Ibu kota-ibu kota negara Asia umumnya juga memiliki happening kesenian, taruhlah seperti tatkala terakhir mengunjungi Ho Chi Minh City, Vietnam, saya sempat nonton teater bambu di gedung klasik Opera House.
Luar biasa perkembangan Ho Chi Minh City (d/h Saigon). Dengan bangunan-bangunan kuno Eropa yang mereka pertahankan sebagai pusat urbanisme, berada di jantung Ho Chi Minh City serasa berada di Place de la Concorde, Paris. Andai tidak nonton teater bambu yang digelar untuk turis setiap malam—tiket cukup mahal dan belum tentu kita kebagian—niscaya Ho Chi Minh City bakal saya kenang sebagai kota yang semata-mata silau terhadap gejala kebendaan belaka.
Sebaliknya dengan atraksi kontemporer yang berakar pada seni teater bambu tradisional tadi, saya menemukan roh Ho Chi Minh City sekaligus jati diri Vietnam: dimensi humanisme negeri sosialis-komunis. Selain memikat, pertunjukan ini sengaja mengungkapkan ironi-ironi modernisme.
Ternyata komunisme tidak sesangar digambarkan pihak yang gemar mendiskreditkannya. Mereka sanggup menertawakan diri sendiri. Penonton beberapa kali terpingkal-pingkal. Saya angkat bir: Paman Ho, untuk negerimu dan Miss Saigon.
Ketakjuban kurang lebih serupa saya alami dua pekan lalu tatkala mengunjungi Sarinah. Saya tercengang melihat bagaimana Mira Lesmana dan timnya mengajak para perupa mengekspresikan sajak-sajak Chairil dalam seni video. Beberapa cukup saya kenal seperti Angki Purbandono, Tromarama, dan Ria Papermoon. Dari karya-karya mereka, saya merasakan embusan Derai-derai Cemara sebagai napas kebudayaan dalam cita rasa kontemporer.
Di luar itu masih ada karya-karya maestro, seperti A.D. Pirous berupa lukisan white on white yang luar biasa; Ahmad Sadali yang spiritual; Arahmaiani yang kian cheerful; Samuel Indratma yang playful; dan lain-lain. Kurator pameran, Agung Hujatnika dan Bob Edrian, memberi tema pameran ini ”Matrajiva”, artinya dimensi jiwa.
Semasa hidupnya, Chairil Anwar (1922-1949) dekat dengan Sutan Sjahrir. Para bapak bangsa kita waktu itu melek dan peduli kesenian. Bung Karno punya cita rasa estetik spesial selain juga patron bagi sejumlah pelukis. Koleksi lukisan Bung Karno sulit tertandingi oleh para kolektor sampai hari ini.
Beginilah perubahan zaman. Perubahan termasuk kegiatan pameran di Sarinah yang sempat ditutup karena soal keuangan. Beberapa kalangan kaget, sebelum kemudian syukurlah kegiatan dibuka kembali.
Di mana-mana di negeri ini lembaga-lembaga kebudayaan meredup karena kita kian ingin mengkuantifikasi segala hal dalam perhitungan untung-rugi jangka pendek. Segala hal ditakar dengan uang. Mana bisa roh dan jati diri diperlakukan demikian.
Tanpa kebudayaan, hilang kegairahan hidup berbangsa, bernegara. Negara tak lebih menjadi seperti perseroan terbatas alias PT, statesmanship jadi tradership, zona kebudayaan jadi toko kelontong.
Meminjam gaya retorika Bung Karno: apakah kita ingin menjadi bangsa yang demikian, Saudara-saudara?***