Dulu orang menunggu berabad-abad untuk kedatangan Ratu Adil. Kini, dengan memanfaatkan para influencer dalam seketika seorang penguasa bisa menjadi ”ratu tampak adil”.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
Keluarga para pejabat, pasangan hidup, anak, ataupun pejabat itu sendiri yang berlimpah kemewahan, mereka bukanlah bagian organik masyarakat industrial. Mereka tak lebih dari parasit kemajuan.
Terdengar jadul, memakai istilah masyarakat industrial bukannya post-industrial, saya memang menyomot kritik Thorstein Veblen terhadap masyarakat Amerika di awal abad ke-20 melalui bukunya yang terkenal, The Theory of the Leisure Class (1953). Siapa saja yang tertarik akan studi gaya hidup kalangan atas niscaya pernah membaca buku klasik ini.
Dalam pandangan Veblen, mereka itu—kurang lebih seperti para pejabat kita beserta keluarga dan anteknya yang bikin rakyat geram—sama sekali tidak punya fungsi dalam sejarah. Yang harus dihargai dalam gerbong sejarah menuju era kemajuan adalah para inovator atau siapa saja yang mampu memanfaatkan teknologi secara produktif. Kalangan yang dikecamnya tadi melulu konsumtif.
Sejak semula, pandangan Veblen di atas telah menuai kritik dari para pemikir Marxist. Menurut mereka pihak yang menguasai teknologi industri tak kalah membahayakan. Dengan penguasaan atas modal dan teknologi kalangan tersebut tak lebih juga parasit peradaban.
Meski bersimpati pada pemikiran strukturalisme kalangan Marxist, kritik etik dan moral seperti dalam pandangan Veblen terhadap orang-orang kaya di Amerika pada zamannya bagi saya tetaplah penting. Selain penting juga relevan. Disuburkan teknologi digital kini, saya tetap memandang kurang etis pamer piknik ke negeri yang jauh, bergaya di business class pesawat, makan enak sambil nyengenges, sementara jutaan orang makan sehari-hari pun susah.
Problemnya, pamer segala rupa dari kamar hotel sampai makan enak dan lain-lain itu pada zaman ini juga bisa berarti kegiatan produktif. Sebutannya: jadi influencer. Atau sebutan yang kurang bermartabat: jadi buzzer.
Tak perlu sekolah tinggi-tinggi, para influencer—sesuai kasta masing-masing—dibayar untuk memamerkan produk dari yang tingkat kaleng-kaleng sampai high end brand. Untuk kasta tinggi bayarannya bisa sangat mahal, termasuk fasilitas pesawat dan akomodasi di hotel-hotel berbintang.
Dalam prosesi zaman, setelah teknologi melakukan breakthrough diikuti manfaat ekonomi yang dinikmati sejumlah orang, politisi dan penguasa ikut-ikutan. Berada di urutan paling belakang perubahan, mereka memanfaatkan para influencer untuk merias penampilan agar citranya tidak terlampau buruk di mata rakyat.
Dulu orang menunggu berabad-abad untuk kedatangan Ratu Adil, sehingga gejalanya pun disebut milenarisme untuk menggambarkan penantian yang berabad-abad itu. Kini, dengan memanfaatkan para influencer dalam seketika seorang penguasa bisa menjadi “ratu tampak adil”.
Sinisme yang beredar di medsos: apa pun masalahnya, influencer obatnya. Di tangan para influencer ini apa yang penting dianggap remeh, apa yang remeh dianggap penting.
Ketika organ dari berbagai instansi banyak yang membusuk, pembenahan pertama-tama bukan pada organ tersebut melainkan bagaimana menata penampilan agar semua tampak baik-baik saja. Orang dibuat kehilangan pegangan mana benar mana salah, mana nyata mana bukan. Dalam bahasa Salman Rushdie pada Languages of Truth: patahnya perjanjian tentang realitas.
Mau ngomong apa pun, apa artinya kalau kesepakatan akan realitas telah patah? Yang nyata bagimu bukan nyata bagiku; yang nyata bagiku bukan nyata bagimu.
A low trust society: bangsa yang begini tidak akan bisa maju.
Kepercayaan dibangun segobang demi segobang. Tidak bisa dilakukan secara borongan oleh influencer yang satu orang konon bisa menguasai ribuan gawai. Kepercayaan bukan seperti sesuatu di brankas, ketika dibutuhkan tinggal ambil.
Teknologi tidak pernah netral seperti dipercayai banyak orang: tergantung bagaimana kita memanfaatkannya. Pada era digital ketika dunia citra telah menenggelamkan dunia nyata, tanpa sadar siapa saja bisa menjadi parasit peradaban. Ikut merayakan dan berpartisipasi memoles citra sang ratu. Reputasi ratu yang wah sejatinya cuma mitos.
Percaya padanya? Hal-hal yang bersangkutan dengan komitmen seperti moral, etik, integritas, kejujuran, adanya di hati. Yang di hati sering tak terucap, tapi bisa dirasakan.
Kalau terlalu diobral, diucapkan, dijanjikan, apalagi diamplifikasi melalui para agen bernama influencer, sebaiknya kita hati-hati. Biasanya cuma omdo alias omong doang. Sebagai investasi moral, itu adalah investasi bodong.***