Bagi saya, yang perlu ada dan selalu aktual adalah nilai. Nilai, seperti halnya kebudayan sebagai roh, tidak bisa dikuantifikasi, dipoles atau ditutupi dengan penampilan ataupun kata-kata dengan argumen pekok.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
Pulang ke kota kelahiran pada hari yang fitri lalu saya mendapati baliho besar di gerbang kota bertuliskan kata-kata: suatu hari aku pulang ke kampung halaman, dan aku temukan di situ kombinasi realitas dan nostalgia yang merupakan bahan mentah karyaku.
Tentu saja saya mengada-ada, termasuk di novel Blues Merbabu pun saya tidak menulis demikian. Tidak ada baliho tersebut. Kata-kata itu saya comot dari laporan wartawan The New Yorker ketika mengunjungi Aratacata, kota kecil tempat kelahiran novelis Gabriel Garcia Marquez di Kolombia. Di kota-kota kita yang mudah dilihat sebagai pemandangan menyebalkan adalah jajaran baliho berupa foto diri para politisi, masing-masing merasa dirinya paling ganteng dan paling cantik sedunia.
Tahun ini, sebagaimana tahun-tahun yang lain di mana banyak orang bermigrasi ke tempat asal, saya di rumah tidak ke mana-mana. Meski tidak ke mana-mana, saya merasa sanggup menggambarkan kota asal saya, melebih-lebihkan yang tidak saya ketahui, mengada-adakan yang tidak ada, tapi saya anggap perlu ada.
Bagi saya, yang perlu ada dan selalu aktual adalah nilai. Nilai, seperti halnya kebudayan sebagai roh, tidak bisa dikuantifikasi, dipoles atau ditutupi dengan penampilan atau pun kata-kata dengan argumen pekok. Keberadaannya hanya bisa dirasakan.
Bagi manusia lawas, nilai-nilai terbentuk antara lain melalui dongeng. Sebelum buku adalah dongeng. Empirisme bagi saya adalah paduan antara dongeng, perpustakaan, dan pengalaman. Saya kurang percaya survei—dibayar atau tidak dibayar.
Pengalaman kota lama saya hayati secara intens. Urutan nama murid dalam buku absensi yang dibaca guru semasa sekolah dasar saya bisa mengingatnya. Nama Darwono di bawah nama Darwati.
Tak kalah membekas adalah kekerasan politik kala itu yang membentuk diri saya menjadi cenderung skeptis terhadap kekuasaan. Kekuasaan adalah sesuatu yang impersonal, tidak bisa dipercaya. Korup, arogan, semena-mena. Sampai sekarang saya tak bisa terkesan dengan para pejabat, mereka mengenakan barang-barang branded sekalipun.
Mungkin benar, yang kita jalani sebagian merupakan pilihan sendiri, sebagian lagi pilihan nasib. Seusai kuliah, saya bekerja di koran dengan nilai yang saya merasa cocok, ditanamkan oleh pimpinan agar wartawan senantiasa mengambil jarak terhadap kekuasaan. Perkenankan mengulang pesan luhur: menggugat yang mapan dan berkuasa, menghibur yang lemah.
Itulah zaman ketika otak masih otentik seotentik nama bukit di kota lama, yakni Bukit Cinta, beserta intuisi yang belum dimarginalkan oleh artificial intelligence alias kecerdasan buatan. Modal kerja hanyalah notes, etika, dan telinga yang digunakan para wartawan masa itu untuk mendengar apa yang diucapkan orang. Tentu saja kesadaran karena wawancara merupakan konfrontasi kesadaran.
Begitu cara kami mempertahankan diri kala itu. Suatu keadaan yang agak bohemian, lebih sederhana dibandingkan kini, wartawan belum terperangkap dalam labirin teknologi informasi. Sahabat manis yang sampai sekarang masih aktif sebagai wartawan menuturkan bagaimana ia mau tak mau lebih sibuk mengatasi teknologi daripada hati pembaca.
”Tidak bisa lagi memikirkan tulisan, Mas,” katanya.
Ia harus menyiapkan konten—begitu istilahnya—untuk berbagai platform.
Apa hendak dikata, dunia semu digital telah menjadikan dunia yang kita jalani kehilangan hubungan dengan masyarakat kemanusiaan, human society. Melalui citra yang kita konsumsi sehari-hari lewat layar digital, bahasa sebagai sumber kognisi yang meluaskan cakrawala manusia perlahan-lahan tersingkir. Cakrawala makin rendah sebatas komisaris.
Ia harus menyiapkan konten—begitu istilahnya—untuk berbagai platform.
Sebagian besar orang tak peduli lagi pada gagasan. Ideologi masuk kotak. Orang cukup bahagia dicekoki gambar para petinggi makan-makan, memeluk rakyat yang nangis-nangis, full drama, termasuk dalam tontonan sehari-hari ini tragedi konstitusi dilanggar tanpa ada orang secara serius mempersoalkan. Seperti nonton wayang lakon Petruk ataupun Pangeran Tiktok Dadi Ratu?
Menjelang Lebaran, keponakan saya pamit hendak ziarah ke Salatiga. Ia tanya saya mau titip apa. Tidak ada yang saya titipkan, kecuali pesan, jangan lupa bawa buku di tas. Belajar lebih memercayai gagasan, bukan manusia. Layar digital adalah agen produksi dan reproduksi manusia palsu.
Lagi pula manusia memang tempatnya kekurangan. Percayalah, mengagung-agungkan manusia, entah siapa dia, bakal berujung pada kekecewaan. Apalagi kalau dia politikus.***