Tiga Krisis Planet dan Penguatan Tata Kelola Keanekaragaman Hayati
Dokumen IBSAP yang tengah dirumuskan pemerintah perlu dijadikan bentuk hukum yang mengikat. Ini merupakan langkah penting untuk melindungi keanekaragaman hayati di tengah tiga krisis planet saat ini.
Ilustrasi
Pertemuan dunia yang membahas konservasi keanekaragaman hayati atau COP 15 United Nations Convention on Biological Diversity (CBD) telah dilakukan pada 7-19 Desember 2022 di Montreal, Kanada.
Pertemuan tersebut menghasilkan Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KMGBF) atau GBF Post 2020 dengan tujuan utama melindungi 30 persen wilayah daratan, lautan, pesisir, dan perairan dalam yang harus dicapai pada 2030 pada tingkat global. Termasuk di dalamnya area penting bagi keanekaragaman hayati serta fungsi jasa lingkungan yang juga harus dilindungi.
Perumusan dokumen Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) Pasca-COP 15 CBD yang dibahas saat ini menjadi agenda utama dalam menyinergikan KMGBF dengan strategi konservasi nasional.
Isu mengenai keanekaragaman hayati (kehati) sudah tidak lagi berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan isu-isu lingkungan yang lain, terutama dengan tiga krisis planet (triple planetary crisis), yaitu perubahan iklim, kehilangan kehati, serta polusi dan kerusakan lingkungan. Dalam pertemuan Stockholm+50 di Swedia pada 2022, disebutkan bumi sedang mengalami mode emergensi dan perlu tindakan sesegera mungkin untuk menyelesaikan permasalahan tiga krisis planet.
Baca juga: Krisis Iklim dan Perubahan Sistem
Ketiga krisis tersebut memiliki hubungan timbal balik yang akan saling berkaitan. Serupa, pada IPCC AR 6 Synthesis Report, disebutkan bahwa penyebaran gas rumah kaca harus segera dihentikan dengan menyetop penggunaan energi fosil agar kenaikan suhu tidak mencapai 1,5 derajat celsius. Pengurangan emisi sebagai penyebab naiknya laju perubahan iklim juga disebutkan dalam GBF Post 2020.
Upaya konservasi keanekaragaman hayati juga sejalan dengan target Indonesia mengurangi emisi pada 2030 sebesar 32 persen dengan usaha sendiri, sesuai Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC). Pendekatan perubahan transformatif (transformative change), tidak business as usual (BaU), dan berlandaskan evidence/scientific based policy menjadi landasan pemerintah dalam mencapai target tersebut. Perubahan transformatif yang dilakukan, yaitu dengan menyambungkan kehati, ekonomi hijau, dan perubahan iklim melalui pemodelan System Dynamics dengan pendekatan secara menyeluruh dan terintegrasi dalam kebijakan.
Dampak perubahan iklim di Indonesia. Sumber: Laporan Bappenas, 2021
Tantangan Indonesia
Dalam satu dekade terakhir, Indonesia masih memiliki tantangan besar dalam laju deforestasi yang merupakan salah satu dari tiga krisis planet. Laju deforestasi hutan primer (Global Forest Watch) pada 2020 seluas 270.000 hektar atau turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 323.600 hektar. Meskipun deforestasi menurun, Indonesia masih masuk empat besar negara dengan laju deforestasi tertinggi.
Hampir seluruh provinsi di Kalimantan kecuali Kalimantan Utara masuk ke dalam 10 provinsi dengan laju deforestasi terbesar di Indonesia. Apabila diakumulasi, total luasan deforestasi Kalimantan selama 20 tahun terakhir mencapai 11.325 juta hektar atau setiap tahun kehilangan sekitar 566.000 hektar.
Laju deforestasi yang terus terjadi dapat mengakibatkan penurunan jasa lingkungan, perubahan iklim, serta penurunan kualitas genetik maupun jumlah spesies sebagaimana dalam penelitian Deforestation projections imply range-wide population decline for critically endangered Bornean orangutan (2022) yang menyatakan potensi penurunan spesies dapat mencapai 15.400 individu dalam rentang waktu 15 tahun.
Hampir seluruh provinsi di Kalimantan, kecuali Kalimantan Utara, masuk 10 provinsi dengan laju deforestasi terbesar di Indonesia.
Berdasarkan data ESDM Geoportal saat ini, 73,47 persen area pertambangan batubara berada di Pulau Kalimantan seluas 3,02 juta hektar. Kajian Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) terkait dengan ancaman tambang batubara terhadap keanekaragaman hayati di Kalimantan menyatakan bahwa 23 perusahaan tambang batubara memiliki kategori ancaman tinggi, 10 perusahaan ancaman sedang, dan 2 perusahaan ancaman rendah. Ancaman tersebut berupa ancaman terhadap satwa liar langka, ekosistem mangrove, dan degradasi habitat.
Selain itu, menurut data keybiodiversityareas.org pada 2023, Indonesia memiliki 494 area atau setara 3.3672.800 hektar yang kaya dengan kehati, tetapi lebih dari 50 persen area berada di luar kawasan konservasi. Kondisi ini menyebabkan potensi kehilangan kehati di area tidak terlindungi menjadi semakin tinggi.
Kawasan konservasi saat ini di Indonesia seluas 26,89 juta hektar (KSDA 2022) atau 47,1 persen dari total target GBF Post 2020. Pembatasan dan penciutan wilayah tambang batubara menjadi penting sebagai strategi untuk mencapai target area yang dilindungi berdasarkan kesepakatan GBF Post 2020.
Baca juga: Menanggapi Inpres Keanekaragaman Hayati
Pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pengarusutamaan Pelestarian Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Berkelanjutan pada 16 Januari 2023. Inpres menekankan agar dalam pembangunan berkelanjutan pada setiap sektor memiliki aturan turunan untuk pelestarian keanekaragaman hayati serta menerapkan pembangunan rendah karbon termasuk dalam sektor energi (tentu tak bisa dilepaskan dengan pertambangan batubara). Inpres tersebut dapat menjadi pintu masuk menyinergikan GBF Post 2020 dan ENDC untuk mengatasi tiga krisis planet
Penting dalam hal ini, pemerintah dapat menerapkan pembatasan atau penghentian pembukaan lahan pertambangan batubara sebagai upaya mengurangi ancaman dan langkah untuk mencapai target GBF Post 2020 dan ENDC. Laju pengurangan hutan yang semakin hari semakin meningkat, fragmentasi habitat pada satwa liar, kepunahan satwa liar, perubahan iklim menguatkan bahwa konsep pembatasan pembukaan lahan menjadi relevan dengan tujuan Indonesia dalam menangani krisis saat ini.
Perlu IBSAP lebih kuat
Berdasarkan hasil evaluasi dokumen BAPI (Biodiversity Action Plan for Indonesia) 1993, IBSAP 2003-2020, dan IBSAP 2015-2020 terdapat kesamaan yang berulang, yaitu ketiadaan dasar hukum yang mengikat. IBSAP Pasca COP 15 CBD diharapkan memiliki kekuatan hukum, bersifat terbuka juga dinamis, didukung teknologi dan pendanaan berkelanjutan, memiliki Good Biodiversity Governance, serta mekanisme pemantauan dan evaluasi yang terintegrasi. Untuk itu, penguatan kebijakan melalui kelembagaan menjadi hal yang penting diterapkan dalam IBSAP pasca COP 15 CBD.
Pengayaan riset dan keterlibatan masyarakat sipil menjadi fokus utama untuk dilakukan pemerintah dalam mendukung upaya penguatan kebijakan. Adanya riset dapat digunakan sebagai alat ukur dalam penilaian keberhasilan pengelolaan kehati (scientific based). Selain itu, keterlibatan masyarakat sipil juga menjadi sangat penting dan mendesak untuk dilakukan sebab mereka adalah aktor utama yang bersentuhan langsung dengan kehati di lapangan.
Perumusan IBSAP Pasca-COP 15 CBD menjadi salah satu kunci dan strategi kebijakan yang diharapkan mampu mempertahankan kekayaan kehati yang ada di Indonesia. Berbeda dengan dokumen Paris Agreement yang bersifat legally binding atau mengikat secara hukum, dokumen GBF Post 2020 merupakan kesepakatan internasional yang bersifat non-legally binding. Kekuatan legally binding dari Paris Agreement menghasilkan komitmen dan aksi yang lebih kuat dari negara-negara yang menyetujuinya untuk menekan emisi.
Baca juga: Politik Keanekaragaman Hayati
Meski saat ini GBF Post 2020 tidak mengikat secara hukum, pemerintah diharapkan mampu melihat IBSAP Pasca-COP 15 CBD memiliki urgensi yang tinggi untuk ditingkatkan sebagai dasar hukum mengikat. Desakan ini perlu dilakukan agar perlindungan kehati dari ancaman degradasi dapat terpenuhi. Langkah pemerintah berikutnya menjadi indikator keseriusan dalam melihat IBSAP sebagai kebijakan yang berprinsip melindungi kehati dan diimplementasikan dengan ambisius melalui penerapan aturan hukum yang jelas bagi pelanggarnya.
IBSAP Pasca-COP 15 CBD juga harus digunakan sebagai pedoman utama seluruh pihak baik pemerintahan pusat, pemerintah daerah, swasta, hingga masyarakat dalam mengelola kehati yang dimiliki. Untuk itu, penting mendorong IBSAP menjadi peraturan hukum mengikat di tataran yang lebih tinggi seperti peraturan pemerintah. Sebab, jika IBSAP masih hanya berupa dokumen rekomendasi seperti 20 tahun lalu, capaian dari implementasinya akan sulit untuk dipantau dan ditingkatkan. Saat ini, dorongan dari masyarakat sipil serta pemerhati lingkungan menjadi amunisi penting agar pemerintah melalui presiden dapat melihat urgensi IBSAP menjadi aturan hukum mengikat.
Angga Saputra, Juru Kampanye kebijakan Biodiversitas Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER)
Angga Saputra
