Krisis Iklim dan Perubahan Sistem
Kapitalisme sebagai biang keladi krisis ekologi dan kini bencana iklim memukul balik kapitalisme. Karena itu, perlu perubahan sistem dari kapitalis ke arah eko-sosialisme demokratis.
Dampak perubahan iklim makin menyengsarakan umat manusia. Pada 2050, sekitar 34 persen orang Indonesia diprediksi bakal hidup dengan kelangkaan air dibandingkan dengan 14 persen kondisi saat ini. Pada sektor pertanian, akan ada penurunan 6 persen produksi beras. Karena suhu makin panas, ikan-ikan akan berpindah dari wilayah tropis, dan mengurangi pendapatan Indonesia dari penangkapan ikan sebesar 24 persen.
Di Asia Tenggara, 99 persen terumbu karang akan mengalami pemutihan dan mati pada 2030 dan 2050. Di seluruh dunia, bakal ada kelangkaan air berkepanjangan bagi 3 miliar penduduk (sekitar 42 persen populasi global saat ini) di kawasan subtropis dan kehilangan 50 persen spesies flora dan fauna, dan lainnya. Gambaran buram ini terdapat dalam laporan terbaru Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), badan yang dibentuk PBB untuk mengkaji secara ilmiah perubahan iklim, yang dirilis pada 28 Februari 2022.
Sejak dibentuk tahun 1988, IPCC puluhan kali mengeluarkan hasil kajiannya. Mereka menyimpulkan bahwa peningkatan suhu rata-rata global disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca (GRK). Gas-gas tersebut berasal dari penggunaan bahan bakar fosil, kegiatan alih guna lahan dan aktivitas manusia lainnya. Aneka kajian itu telah disampaikan kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang setiap akhir tahun bersidang. UNFCCC dibentuk pada 1992 dan beranggotakan semua anggota PBB.
Baca juga: Darurat Iklim dan Alarm bagi Kemanusiaan
Sayangnya, peringatan para ahli kurang terwujud dalam keputusan UNFCCC yang mengikat dan tegas. Padahal, dampak dan bencana iklim terus melanda masyarakat di seluruh dunia. Ternyata, solusi yang ditawarkan, yaitu dengan mendorong penggunaan energi terbarukan, perdagangan karbon, dan aksi-aksi mitigasi lainnya, tidak mampu mengerem naiknya emisi GRK. Apa yang salah? Mengapa negara-negara maju (Utara) disebut sebagai negara munafik iklim? Mengapa sejumlah aktivis menuntut perubahan sistem terhadap krisis iklim?
Munafik iklim
Laporan CNN (2021) memaparkan upaya pemerintah Norwegia, Inggris, dan Kanada mencitrakan diri sebagai negara juara iklim melalui sejumlah kebijakan dan aksinya. Inggris dan Kanada berjanji mengurangi emisi mereka menjadi nol bersih pada 2050. Norwegia ingin menjadi netral karbon pada 2030. Negara ini juga membiayai program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) plus di Brasil dan Indonesia.
Namun, tulis CNN, sebagian besar inovasi lingkungan Norwegia dibiayai oleh uang dari ekspor minyak buminya. Pada 2017, emisi domestik tahunan Norwegia mencapai sekitar 53 juta ton. UN Emission Gap Report mencatat, pada saat yang sama, emisi dari minyak dan gas Norwegia yang dijual keluar negeri sekitar 470 juta ton. Inggris menjadi sorotan karena berencana membuka tambang batubara baru. Sementara Kanada akan menginvestasi ke proyek pipa minyak. CNN menyebut ketiganya sebagai negara munafik iklim.
Tuduhan serupa disampaikan Vijay Prashad (sejarawan Marxis) terhadap Amerika Serikat. Negara Abang Sam yang penduduknya sekitar 5 persen populasi dunia ini ternyata menggunakan 25 persen sumber daya global. ”Anda (Amerika Serikat) senang mengajari kami karena Anda memiliki mentalitas kolonial,” kata Prashad pada salah acara diskusi di Konferensi UNFCC di Glasglow pada November 2021.
Negara Abang Sam yang penduduknya sekitar 5 persen populasi dunia ini ternyata menggunakan 25 persen sumber daya global.
Prashad menuduh IMF merupakan bagian dari struktur kolonial yang memberi utang kepada negara-negara berkembang, padahal dana tersebut berasal dari kekayaan sumber alam negara-negara Selatan. Menurut dia, mentalitas kolonial dari negara-negara Utara menghambat pengambilan keputusan di UNFCC. Dia menyoal tuduhan Amerika Serikat kepada China sebagai negara pencemar karbon. Padahal, kata Prashad, Amerika Serikat mengalihdayakan semua produksi pabriknya ke China.
Sejumlah negara Barat juga melobi untuk mengedit isi laporan penilaian iklim IPCC dalam hal penghapusan bahan bakar fosil, penyimpanan karbon, produksi daging, serta pendanaan iklim. BBC dalam laporannya, Oktober 2021, menyebut Australia yang tidak setuju untuk menutup pembangkit listrik tenaga batubara.
Perusahaan raksasa yang memproduksi migas melakukan lobi terhadap kebijakan iklim di Amerika. Mereka membayar sejumlah ilmuwan untuk membuat kajian dan mempengaruhi opini publik. Benjamin Franta dalam tulisannya di Environmental Politics (2021) mengungkap bagaimana konsultan ekonomi, salah satunya Charles River Associates, membuat kajian dengan tujuan agar kebijakan iklim pemerintah lebih longgar terhadap industri berbahan bakar fosil. Pemerintahan Presiden Ronald Reagan kemudian mempromosikan penggunaan batubara setelah menerima kajian yang dibuat beberapa konsultan ekonom yang dibayar perusahaan.
Baca juga: Memaknai Dampak Perubahan Iklim
Di Indonesia, perusahaan batubara juga melakukan lobi dalam perubahan undang-undang pertambangan, mempertahankan keberlanjutan pembangkit listrik tenaga uap dan rencana jangka panjang penurunan emisi. Banyak perusahaan tersebut dimiliki politisi yang merangkap menjadi anggota parlemen dan pejabat eksekutif. Bersama-sama dengan pengusaha di sektor lahan dan perkebunan, mereka bagian dari oligarki yang mengeruk sumber daya alam dan sekaligus menyandera kebijakan iklim di Tanah Air.
Solusi yang ditawarkan negara-negara Utara dan UNFCC adalah ”ekonomi dan lingkungan, jika dikelola dengan baik, akan saling memperkuat dan mendukung, serta didukung oleh inovasi teknologi”. Resep ini mengemuka dalam Konferensi Internasional Ekonomi dan Lingkungan pada Juni 1984. Formula itu terus bermetamorfosis dan belakangan ini menjadi agenda global dengan jargon-jargon yang keren, seperti ekonomi hijau, pembangunan berkelanjutan atau build back better.
Dalam khazanah ilmu sosial, solusi ini masuk ke dalam pendekatan modernisasi ekologi yang memiliki dua unsur. Pertama, adanya perubahan kebijakan negara dalam hal lingkungan. Unsur kedua, yang harus dilakukan adalah pengalihan tanggung jawab, insentif, dan tugas dari negara ke pasar. Pendekatan ini berjalan dalam kerangka neoliberalisme. Fase terkini dari kapitalisme ini makin mencengkram ekonomi politik global sejak dekade 1980-an (era Presiden Amerika Ronald Reagan dan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher).
Perubahan sistem
Jason W Moore, ahli geografi, menyebut perubahan iklim disebabkan oleh Capitaloscene (Zaman Kapital) bukan Anthropocene. Dia menarik titik awal bukan pada Revolusi Industri, tetapi pada 1492 ketika Christopher Columbus menjejakkan kaki di benua Amerika. Langkah yang dilakukan Columbus itu diikuti bangsa Eropa lainnya dengan berlayar ke Afrika dan Asia.
Mereka mencari rempah-rempah, emas, dan hasil bumi lainnya. Moore menyebut sebagai Cheap Nature (sumber alam yang lebih murah). Praktik-praktik perampasan alam dan kolonialisme ini dilakukan dengan kekerasan dan perbudakan oleh bangsa-bangsa Eropa terhadap penduduk pribumi di Amerika, Asia, dan Afrika.
Tesis Capitaloscene mengatakan bahwa untuk memahami krisis planet saat ini, kita perlu melihat kapitalisme sebagai ekologi dunia tentang kekuasaan, produksi, dan reproduksi. Revolusi Industri dengan penemuan teknologi modern membuat perampasan sumber daya alam tersebut makin efektif dan efesien. Jadi, pada masa lalu, praktik perampasan itu dilakukan melalui kolonialisme, dan dalam 40 tahun terakhir berlangsung di bawah rubrik neoliberalisme. Sejak itulah umat manusia menuai bencana iklim yang pelan-pelan menghancurkan peradaban negara miskin, orang miskin, masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya.
Tesis Capitaloscene mengatakan bahwa untuk memahami krisis planet saat ini, kita perlu melihat kapitalisme sebagai ekologi dunia tentang kekuasaan, produksi, dan reproduksi.
Malangnya, bencana itu menjadi peluang atau bisnis baru. Naomi Klein, dalam bukunya The Shock Doctrine (2007), menyebut sebagai kapitalisme bencana yang diperoleh dari adanya peperangan, teror, dan bencana. Naomi Klein, jurnalis asal Kanada, melakukan reportase setelah badai Katrina melanda New Orleans, Amerika Serikat, pada 24–31 Agustus 2005. Ternyata warga yang tercerai-berai karena topan dahsyat tersebut mengalami kenyataan bahwa perumahan publik, rumah sakit, dan sekolah mereka tidak akan pernah dibuka kembali. Bagi Klein, kapitalisme neoliberal tumbuh subur di atas bencana.
Apa yang disampaikan Moore dan Klein masuk dalam pendekatan ekologi radikal. Pendekatan ini membongkar habis pendekatan modernisasi ekologi dan menuding kapitalisme sebagai biang keladi krisis ekologi. Kapitalisme, kata mereka, adalah sebuah sistem sosial ekonomi yang menempatkan pengejaran keuntungan setinggi-tingginya tanpa batas. Resep yang ditawarkan adalah mengubah sistem kapitalisme beserta cara dan gaya hidup kita. Selain itu, juga mengganti geopolitik yang tidak adil dari negara-negara Barat terhadap Selatan.
Baca juga: Darurat Ekologis
Bencana iklim ini memukul balik kapitalisme. Ada yang menyebutnya sebagai ekosida kapitalis atau pembinasaan kondisi-kondisi yang diperlukan untuk keberlanjutan kehidupan manusia dan makhluk lainnya. Vishwas Satgar (2021) dari Universitas Witwatersrand, Afrika Selatan, mengusulkan perubahan sistem dari kapitalis ke arah eko-sosialisme demokratis. Saat ini, katanya, berlangsung disrupsi keadilan iklim yang mengekspresikan harapan hidup banyak orang. Mulai dari aksi Greta Thurnberg dengan #FridaysForFuture; boikot korporasi global yang memiliki saham dalam pertanian tebang-bakar (slash-and-burn) di Amazon; dan Green New Deals yang digagas Bernie Sanders dan Climate Justice Charter di Afrika Selatan.
Vishwas Satgar menegaskan bahwa kekuatan-kekuatan tersebut menjamin agar negara-negara Selatan dapat membuat pilihan keadilan iklimnya sendiri, termasuk perubahan sistemis mendalam yang memajukan eko-sosialisme demokratis. Bentuknya telah dimulai oleh La Via Campesina di Amerika Latin yang melakukan ”re-agrariasasi” melalui kedaulatan pangan dan agro-ekologi. Selain itu, sistem-sistem pangan yang mono-industri, karbon-centris, dan terglobalisasi yang terlibat dalam kepunahan umat manusia harus segera diakhiri.
Untung Widyanto Jurnalis Lingkungan Lepas (Freelance), Anggota The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ)