Menanggapi Inpres Keanekaragaman Hayati
Sebagian masyarakat dan para ahli melihat dan merasakan situasi eksploitasi SDA saat ini semakin mengganggu keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Perlu pengembangan indeks biodiversitas untuk memantaunya.
Presiden Joko Widodo secara resmi mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2023 yang berlaku sejak 16 Januari 2023 mengenai pengarusutamaan keanekaragaman hayati dalam pembangunan berkelanjutan.
Inpres ini bertujuan sebagai upaya mencapai keseimbangan dan keterpaduan dalam pembangunan berkelanjutan melalui koordinasi dan integrasi antar-kementerian/ lembaga (K/L) dan pemerintah daerah dengan pengarusutamaan keanekaragaman hayati.
Instruksi mengenai pengarusutamaan keanekaragaman hayati menitikberatkan pada beberapa hal, yaitu keseimbangan penggunaan ruang untuk pembangunan ekonomi dan konservasi, eksplorasi secara lestari dalam upaya bioprospeksi, penerapan pembangunan rendah karbon dan ramah lingkungan, serta fungsi pengawasan dan penegakan hukum dalam rangka konservasi keanekaragaman hayati.
Keanekaragaman hayati di Indonesia sangat melimpah dengan wilayah yang sangat luas yang membentang 282.583 kilometer persegi dan beriklim tropis yang konstan di garis khatulistiwa. Kondisi geografis dan iklim tersebut sangat mendukung bagi berbagai jenis spesies untuk berkembang biak.
Baca juga : Jangan Abaikan Pembangunan Berkelanjutan
Upaya pengarusutamaan keanekaragaman hayati perlu didukung dengan upaya pendataan dan pengarsipannya sehingga tujuan Inpres No 1/2023 mengenai keseimbangan pembangunan dengan konservasi hayati dapat dicapai.
Tanpa indikator yang komprehensif, proyek pembangunan nasional dan daerah Indonesia tidak dapat mengukur pengaruhnya terhadap lingkungan dan tidak mengetahui jumlah pasti keanekaragaman hayati yang dimiliki sehingga keseimbangan pembangunan dan konservasi hayati sulit untuk dilakukan secara optimal.
Indeks biodiversitas
Sejak 2019, Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI) bekerja sama dengan Forum Komunikasi Konservasi Indonesia (FKKI) telah memulai upaya membuat jaringan yang efisien dan bekerja antara para ahli biologi di seluruh negeri untuk mengarsipkan spesies lokal.
Salah satu tujuan KOBI adalah membuat Indeks Keanekaragaman Hayati Indonesia (IBI), sebuah arsip data besar yang komprehensif tentang organisme hidup Indonesia.
IBI dapat digunakan untuk mendukung pemerintah, perusahaan swasta, universitas dan lembaga penelitian, serta LSM dalam kepentingannya yang dapat memengaruhi status keanekaragaman hayati.
Pemerintah harus menyadari urgensi indeks keanekaragaman hayati Indonesia sendiri dan memberi dukungan yang tepat untuk memastikan proyek IBI berjalan efektif dan tidak akan berakhir hanya sebagai proyek seremonial setengah matang.
KOBI telah mengajukan RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati ke Komisi IV DPR yang membidangi pertanian, kehutanan, perikanan, dan produksi pangan pada 30 Juni 2021 sebagai sarana pemutakhiran undang-undang lama.
Namun, hingga saat ini belum ada tindak lanjut dan menyatakan bahwa masalah keanekaragaman hayati tidak dianggap mendesak oleh DPR. Pemerintah sudah semestinya dapat mendukung dengan memberikan kebijakan berbasis konservasi yang ditegakkan dengan baik, serta dukungan keuangan dan infrastruktur sehingga upaya pengarusutamaan keanekaragaman hayati dapat terlaksana dengan baik.
Status, kerusakan, dan ancaman biodiversitas
Keadaan keanekaragaman hayati global dan nasional mengalami kerusakan yang ditimbulkan oleh degradasi, deforestasi, dan fragmentasi habitat oleh invasif masif spesies asing dan perubahan iklim.
Sebaliknya, diungkapkan bagaimana etika dan agama bisa mengembangkan konservasi penting dalam konservasi spesies, serta etika kawasan lindung dan kawasan konservasi.
Semua bermuara pada: (1) kebutuhan untuk mengalihkan pola pembangunan yang gandrung berat sebelah pada eksploitasi ekonomi sumber daya alam (SDA), ekosistem dan keanekaragaman hayati ke arah konservasi, dan (2) pola pembangunan berkelanjutan yang tertumpu pada pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan secara kiprah simultan.
Biodiversitas sebagai penopang utama keseimbangan alam telah lama berperan dalam memberikan jasa pada kehidupan manusia.
SDA di Indonesia semakin mengalami kerusakan, khususnya sumber daya hayati. Padahal, itu anugerah yang disediakan untuk kemaslahatan umat manusia dan dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan.
Seiring berjalannya waktu, sebagian kecil masyarakat dan para ahli melihat dan merasakan situasi eksploitasi SDA saat ini semakin mengganggu keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati.
Gencarnya pembukaan dan pengembangan perkebunan kelapa sawit di Sumatera, Kalimantan, dan Papua, menyebabkan, antara lain; (1) teralihkan dan musnahnya hutan hujan tropis Indonesia, (2) musnahnya berbagai spesies endemik di daerah, serta (3) penurunan kualitas dan kuantitas air akibat pencemaran limbah kebun kelapa sawit.
Layanan ekosistem
Biodiversitas sebagai penopang utama keseimbangan alam telah lama berperan dalam memberikan jasa pada kehidupan manusia. Sejak awal peradabannya, manusia telah memanfaatkan SDA, mulai dari pemanfaatan tanaman sebagai penyedia pangan, obat-obatan, bahan konstruksi, dan peralatan bagi kebutuhan dasar bagi kehidupan.
Secara umum terdapat enam fungsi dan nilai utama biodiversitas untuk manusia, antara lain: 1) nilai konsumsi, 2) nilai produksi, 3) nilai jasa lingkungan, 4) nilai pilihan, 5) nilai eksistensi dan 6) nilai psikospiritual. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyebabkan semakin meningkatnya peluang pemanfaatan SDA bagi kehidupan manusia.
Dalam dokumen IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan), biodiversitas Indonesia berkontribusi senilai Rp 3.134.016,7 miliar pada 2012. Interaksi manusia, tumbuhan, dan hewan tak hanya berperan penting pada kebutuhan nutrisi, tetapi juga berbagai bidang, termasuk membentuk landasan kegiatan komersial dan tingkah laku manusia.
Solusi dan rekomendasi
Banyaknya pemikiran yang diturunkan dalam bentuk tata laksana pengelolaan, belum sepenuhnya berpengaruh terhadap pencegahan penurunan kualitas lingkungan dan kelangkaan SDA. Beberapa kasus yang tampak mulai memberikan dampak pada permintaan pasar adalah diterapkannya eco-labelling pada komoditas tertentu.
Namun, salah satu negara konsumsi besar masih belum sepenuhnya menerapkan hal ini, bahkan cenderung berekspansi ke negara berkembang di mana kepentingan ekonomi dalam pembangunan lebih dominan di bandingkan kepentingan ekologis. Bahkan, hal tersebut dibenarkan oleh pengambil kebijakan di kedua belah pihak.
Pendekatan menarik adalah pembahasan tentang keterpaduan antara kepentingan konservasi dan kebijakan yang diturunkan. Namun, ini membutuhkan ahli yang dapat menerjemahkan kebutuhan para pengambil kebijakan dan pertimbangan ahli konservasi.
Keahlian itu dinamakan Translational Scientist. Kepiawaian ini memerlukan latar belakang pengetahuan yang luas terkait ranah sosial, politik, dan ekonomi yang sedang berjalan.
Dikemukakan bahwa penyebab kegagalan implementasi adalah ketidaksamaan persepsi pengambil kebijakan terhadap dasar pertimbangan yang dikemukakan oleh para ahli. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh kuat dari kepentingan sesaat para pengambil kebijakan yang dipengaruhi oleh kepentingan para pendukungnya.
Ketidakpastian terhadap dinamika sistem ekologis, politik, sosial, dan ekonomi akan semakin menjadi bahan pemikiran para ahli konservasi.
Ketidakpastian terhadap dinamika sistem ekologis, politik, sosial, dan ekonomi akan semakin menjadi bahan pemikiran para ahli konservasi. Di sisi lain, timbul pertanyaan apakah sudah tersedia konsep kepentingan pembangunan sosial, ekonomi, dan politik, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang, yang memasukkan unsur konservasi sebagai pertimbangan utama pada tataran implementasi di lapangan.
Hadirnya konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang sering digunakan dalam berbagai program kerja kementerian dan pelaku usaha, sering kali hanya merupakan jargon ilmiah untuk tetap dapat melegalkan aksi penggalian SDA.
Pada kenyataannya, sering ditemui hal yang berlawanan dengan pertimbangan ilmiah peneliti. Pandangan secara apriori menyebutkan bahwa sustainable development merupakan angan-angan yang sulit diproyeksikan dalam tataran implementasinya. Hal ini terlihat dalam indikator kemajuan tujuan dan sasaran Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) 2010, baik pada kawasan terestrial, perairan, maupun pemulihan habitat dan keanekaragaman hayati, yang masih belum memberikan hasil yang menggembirakan.
Publikasi terbuka oleh organisasi konservasi dunia di negara-negara yang berkecimpung dalam kesehatan lingkungan yang digambarkan dengan Environmental Sustainability Index dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan suatu negara dalam menjalankan kebijakan ramah lingkungan.
Pada berbagai kesempatan indeks ini sering diungkap di hadapan publik agar proses penyadaran terhadap perbaikan lingkungan dapat langsung diketahui secara luas dan diharapkan bisa jadi landasan kebijakan pada tataran kenegaraan.
Meski demikian, suatu fenomena paradoks sering digunakan sebagai argumen populis oleh pengambil kebijakan, di mana kepentingan ekonomi, kesejahteraan, dan kesempatan kerja lebih sering menjadi pertimbangan utama dalam jangka pendek. Ini berakibat pada penurunan kesehatan lingkungan dalam jangka panjang.
Pengembangan suatu indeks biodiversitas seperti IBI diperlukan untuk memantau kondisi biodiversitas dari waktu ke waktu. Juga pembentukan sebuah lembaga non-struktural yang berfokus pada pengarusutamaan biodiversitas dalam penerjemahan kebijakan berbasis pembangunan berkelanjutan serta memperhitungkan jasa lingkungan sebagai indeks prestasi di Indonesia, baik level daerah maupun nasional.
Hal ini sangat strategis guna meningkatkan penghargaan kita pada lingkungan yang menjadi fondasi kehidupan kita.
Budi Setiadi Daryono Guru Besar dan Dekan Fakultas Biologi UGM serta Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI)