Politik Keanekaragaman Hayati
Kondisi lingkungan tidak seimbang yang mengancam keanekaragaman hayati akan membawa kerugian bagi manusia secara ekologis. Hal ini seharusnya memicu keprihatinan dan sekaligus menggugah kesadaran politik lingkungan.
Setiap tanggal 22 Mei, komunitas dunia memperingati Hari Keanekaragaman Hayati (biological diversity). Peringatan yang digagas oleh lembaga internasional ini menjadi momen penting untuk melestarikan kekayaan sumber daya hayati.
Seperti dinyatakan dalam Convention on Biological Diversity PBB, 1992, sumber daya biologis meliputi sumber daya genetik, organisme, atau bagian-bagian dari padanya populasi atau komponen ekosistem biotik lain memanfaatkan baik secara aktual maupun potensial atau bernilai untuk kemanusiaan (humanity).
Kekayaan dan bahkan keberlimpahan ini membuka peluang untuk pemanfaatan eksploitatif dan sekaligus konservasi. Krisis/ancaman keanekaragaman hayati mulai mencemaskan dunia. Sebagian besar negara di Asia, termasuk Indonesia, kehilangan 8,43 persen hutan mereka sejak 1973. Kemudian, kehilangan lebih dari 917.000 hektar (ha) hutan per tahun antara 2009 dan 2013 (Hughes, AC; 2017). Semakin tinggi harga minyak sawit, karet, bubur kayu memproyeksikan kerugian 98 persen hutan di sebagian besar Indonesia pada tahun 2022 (UNEP, 2007).
Baca juga : Keanekaragaman Hayati di Indonesia: Sejarah Penelitian, Potret, dan Regulasi
The Nature Conservancy menyatakan bahwa ancaman langsung terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia berupa perburuan liar, perambahan pertanian, pemanenan berlebihan hasil hutan bukan kayu, pembalakan liar, spesies introduksi, perkebunan, dan budidaya laut intensif.
Sementara itu, akar penyebab krisis ini ditemukan pada pertumbuhan penduduk, penegakan hukum yang lemah, kemiskinan dan tidak adanya mata pencarian alternatif, kurangnya sumber daya yang sesuai rencana tata guna lahan, keterbatasan kapasitas, dan isu etika konservasi (Asian Development Bank, 2005).
Di sini sejatinya dituntut langkah-langkah penyelamatan sumber daya hayati sebagai penghormatan atas hak asasi tumbuhan dan binatang seperti dinyatakan etika lingkungan. Sony Keraf menyatakan, manusia dan alam bernilai pada dirinya sendiri dan pantas diberlakukan secara bermoral (Keraf, 2002).
Sayangnya, etika tidak akan mengejawantah tanpa didorong oleh intervensi kebijakan. Kebijakan merupakan produk dialektika politik, maka penting kita mendiskusikan ”politik” keanekaragaman hayati itu.
Persoalan biodiversitas
Otak penjajah selalu berkepentingan pada eksploitasi sumber daya hayati karena butuh mengakumulasi kapital. Namun, sebagai ”pemain” politik, penjajah tidak hanya menampakkan wajah ”bengis” penaklukan, tetap saja ia membutuhkan pencitraan, maka kebijakan konservasi dijadikan sebagai alat untuk itu. Pemerintahan kolonial Hindia Belanda menetapkan monumen alam (natuurmonumenten)—yang kini dikenal sebagai taman nasional—pada tahun 1919 (Widiaryanto, 2021).
Sementara itu, masa Orde Lama dan Orde Baru merupakan era konsolidasi dan pembangunan yang membutuhkan modal besar, salah satunya dari sumber daya hayati itu. Pengesahan konvensi keanekaragaman hayati (convention on biodiversity) yang kemudian diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 menjadi tonggak penting penyelamatan sumber daya ini, tetapi model pembangunan eksploitatif masih menjadi sisi gelap Orde Baru. Tidak heran, terjadi kerusakan pada 29 persen forest cover di Sumatera dan 22 persen di Kalimantan (Hidayat, 2005).
Politik kebijakan di orde Reformasi sering digoda pembukaan kawasan alamiah yang berpotensi merusak sumber daya hayati ini.
Sementara itu, politik kebijakan di orde Reformasi sering digoda pembukaan kawasan alamiah yang berpotensi merusak sumber daya hayati ini. Terlebih, politik ”padat modal” hari ini membuka peluang menjadikan kekayaan hayati sebagai ”jarahan” para petualang politik. Misalnya, ekspor ilegal sumber daya hayati kelautan hanya menguntungkan aktor-aktor politik tertentu dan abai dari kesejahteraan rakyat.
Kondisi ekosistem yang semakin seragam berakibat pada ”ketidakseimbangan lingkungan” yang membawa kerugian bagi manusia secara ekologis. Keseimbangan ekosistem, rekreasi ekologis, dan sarana ilmu pengetahuan kian tertutup. Kondisi ini seharusnya memicu keprihatinan dan sekaligus menggugah kesadaran politik lingkungan.
Politik lingkungan baru
Bicara konservasi seharusnya tidak sekadar bicara inventarisasi sumber daya hayati, seperti penghitungan tingkat kepunahan sumber daya hayati dan mendesain program konservasi berkelanjutan saja. Sekalipun langkah itu penting, jauh lebih penting dari itu, politik lingkungan.
Bryant RL (1998) menyatakan bahwa politik harus ”diutamakan” sebagai upaya memahami cara interaksi manusia dengan lingkungan yang dikaitkan dengan penyebaran degradasi lingkungan.
Konservasi sumber daya alam sangat ditentukan oleh politik pemegang kekuasaan karena setiap penguasa menjadikan sumber daya hayati sebagai obyek eksploitasi untuk kepentingan penundukan dan penguasaan. Ada rezim yang memandang sumber daya alam sebagai komoditas ekonomi, politik, atau membiarkan sebagai bentang kekayaan alam.
Di sini sesungguhnya terdapat relevansi mendefinisikan politik keanekaragaman hayati. Politik tidak sekadar direduksi siapa, mendapat apa, dan bagaimana atau pengurusan kepartaian atau golongan, politik lingkungan merupakan keberpihakan negara pada isu-isu lingkungan.
Negara yang berkehendak menyelamatkan sumber daya hayati memasukannya dalam agenda setting sebagai persoalan publik. Keputusan ini tidak mudah sebab, dalam aras politik, lingkungan adalah kontestasi atau ajang perebutan banyak pihak dengan kepentingan yang sering bertabrakan.
Kini kita perlu menguatkan isu konservasi pada kebijakan lingkungan. Maka, rekomendasi berikut bisa dilakukan.
Baca juga : Urgensi Indeks Biodiversitas Indonesia
Pertama, kembali pada tugas negara. Sekalipun dalam setiap kebijakan sudah memuat prosedur, regulasi, ketentuan, dan kelembagaan secara lengkap, sejatinya kebijakan konservasi sumber daya alam bertujuan melindungi kehidupan yang terdapat di dalamnya. Salah satunya isi kebijakan menetapkan area perlindungan dan memanfaatkan sumber daya hayati secara bijaksana.
Penyelamatan biodiversitas merupakan pekerjaan kompleks, tugas ini tidak harus diselesaikan negara sendiri, tetapi mengundang keterlibatan semua lembaga dari level lokal sampai internasional. Kita membutuhkan tata kelola (governance) yang memaksimalkan semua pihak untuk konservasi.
Kedua, hak-hak masyarakat. Pada prinsipnya tujuan pengelolaan sumber daya alam diperuntukkan demi hak, akses, dan kesejahteraan, terutama masyarakat yang tinggal di wilayah terlindungi. Namun, orientasi kebijakan bukan hanya manusia, terlebih tidak ada jaminan semua komunitas prolingkungan, maka kebijakan mengontrol keseimbangan kepentingan lingkungan dan sosial.
Ketiga, partisipasi komunitas. Bukan hanya hak masyarakat yang diperhatikan, melainkan juga keterlibatan komunitas pada konservasi. Definisi komunitas hari ini cair, maka komunitas yang dilibatkan meliputi: masyarakat lokal yang tinggal dekat sumber daya alam, komunitas peduli lingkungan, perguruan tinggi, dan komunitas yang dibentuk oleh korporasi. Kini tinggal komitmen dan model pengelolaan berkelanjutan yang harus dirawat.
Rachmad K Dwi Susilo, Dosen Politik Lingkungan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Alumnus Public Policy and Social Governance Hosei University, Tokyo, Jepang; Pendamping Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA), Kota Batu