Tak dapat dimungkiri bahwa kosakata yang banyak mencirikan bahwa bahasa Indonesia sangat kaya. Dari kata ”cuci” saja, misalnya, dapat dibuat ungkapan dengan makna harfiah dan makna kiasan.
Oleh
Saharul Hariyono
·2 menit baca
Kata cuci memiliki kekayaan dan mendapat ruang yang istimewa di dalam bahasa Indonesia. Kata ini tidak sekadar berarti ’membersihkan suatu benda dengan air dan sebagainya’.
Keistimewaan itu tampak pada keproduktifan cuci yang bisa menjadi beberapa bentuk lain. Dengan penambahan imbuhan, kata cuci bisa menjadi, misalnya, cucian, ketercucian, mencuci, mencucikan, pencuci, pencucian, dan tercuci.
Cuci juga dapat diturunkan melalui proses konstruksi dengan meminjam kata lain yang bisa maknanya sama atau maknanya tidak sama dengan sepintas membaca katanya. Makna yang sama akan menciptakan proses majemuk, seperti cuci muka, yang bertalian dengan aktivitas membasuh muka atau perawatan wajah dengan kosmetik untuk membersihkan berbagai kotoran.
Cuci kampung adalah hukum adat di Jambi yang berlaku bagi pasangan muda-mudi yang telah berbuat zina dan dikenai denda berupa uang.
Ada pula cuci mobil otomatis, yang bermakna mencuci mobil menggunakan mesin. Dalam lingkungan ini dikenal juga cuci air panas dan cuci salju, yang bermakna mencuci kendaraan baik menggunakan air panas maupun busa yang menyerupai salju.
Mengenai makna yang tidak sama, alhasil menciptakan bentuk idiomatis dan mendapatkan label kelas kata baru. Bentuk pencucian uang, misalnya, yang terlabeli kata hukum, memberi impresi menyembunyikan asal-usul uang seolah-olah dana tersebut berasal dari sumber yang sah. Dahulu kata ini dikenal dengan istilah pemutihan uang.
Bagaimana dengan pencuci perut? Sebagian masyarakat memiliki persepsi kata ini sama saja dengan pencuci mulut, yang bermakna hidangan penutup yang dimakan setelah menu utama, dan terlabeli sebagai kata tata boga.
Namun, pencuci perut sebetulnya termasuk label bidang ilmu kesehatan, yang terkait dengan membersihkan perut dengan memakan pencahar. Serumpun dengan bidang kesehatan dikenal istilah cuci darah, yang mengacu pada pembersihan darah dengan teknik tertentu.
Kiasan
Cuci bisa pula bersanding dengan mata, jadilah cuci mata, yakni kiasan yang bermakna bersenang-senang dengan melihat sesuatu yang indah. Oxford Leaner’s Dictionaries menyebut cuci mata sebagai window shopping, kegiatan melihat-lihat barang di etalase toko, biasanya tanpa bermaksud membeli apa pun.
Kiasan lain yang menggunakan cuci ialah cuci otak, yang dipahami sebagai menanggalkan ide, gagasan dalam otak, dengan mencoba menggantinya dengan yang baru. Cuci otak termasuk juga label kata psikologi, bermakna pemaksaan memanipulasi psikologi seseorang.
Cuci yang disandingkan dengan bagian tubuh manusia bisa pula ditemukan pada bentuk idiomatis cuci tangan. Secara harfiah, kata ini merujuk pada usaha untuk membasuh tangan dengan air. Makna lainnya berupa makna kiasan, yaitu ’tidak turut campur dalam suatu masalah walaupun mengetahuinya’ dan ’tidak mau terlibat dalam kesalahan yang dibuat orang lain’.
Pernah mendengar ungkapancuci kampung? Bisa jadi hanya segelintir orang yang tahu ungkapan ini. Cuci kampung adalah hukum adat di Jambi yang berlaku bagi pasangan muda-mudi yang telah berbuat zina dan dikenai denda berupa uang.
Makna lainnya ialah penggantian para pejabat di Jambi yang tidak berkualitas dengan pejabat yang berkualitas secara massal. Dalam KBBI ungkapan ini diberi label (Jb), yang merujuk pada penggunaan bahasa dialek Melayu Jambi.
Kata cuci bisa pula ditemukan dalam bentuk metafora, seperti dalam lirik lagu bahkan tulisan sastra. Dalam karyanya, Richard D’Gilis, umpamanya, menulis ”melirik bule-bule terbaring di tepi pantai. Ku hanya cuci mata”. Dapat dipahami di sini bahwa cuci mata tidak terbatas pada bersenang-senang melirik etalase toko yang telah dijelaskan sebelumnya, tetapi pula tentang menikmati panorama alam beserta isinya.
Masih banyak ungkapan yang diciptakan dengan kata cuci. Sebut saja cuci asam, cuci gudang, cuci lantai, cuci paru-paru, dan seterusnya, yang maknanya bisa harfiah, bisa juga kiasan. Tampak dari penjabaran ihwal seputar cuci di atas tergambarkan kekayaan secara kebahasaan.
Saharul Hariyono, Pengarya Tulisan Fiksi dan Nonfiksi