Tepatkah ungkapan ”mabuk agama” jika disematkan kepada orang yang tindakannya merusak tatanan sosial?
Oleh
Ahmadul Faqih Mahfudz
·2 menit baca
”Dari hari ke hari makin banyak orang mabuk agama,” kata Kang Tarjo, suatu malam, di pos ronda kampung kami. Tetangga saya ini kemudian mencontohkan beberapa kasus yang, bagi dia, terjadi karena para pelakunya mabuk agama.
Kata mabuk dan agama secara makna bertentangan. Mabuk mengarah pada aktivitas tidak baik, setidaknya, dalam norma masyarakat kita. Sebaliknya, agama justru muasal berbagai ajaran kebaikan.
Mabuk adalah satu keadaan yang menyebabkan seseorang hilang kesadaran karena pengaruh zat tertentu yang masuk ke dalam tubuh. Mabuk minuman beralkohol, misalnya, bisa membuat seseorang bertindak ngawur, seperti menceracau, mengamuk, atau reaksi lain yang merugikan dirinya sendiri atau membahayakan orang lain.
Menyebut seseorang mabuk agama berarti menganggap agama sebagai elemen yang membuat seseorang lupa diri hingga bertindak brutal bahkan kriminal. Oleh pengucapnya, mabuk agama disematkan kepada orang yang tindakannya merusak tatanan sosial. Perusakan itu, dalam pandangan mereka, terjadi karena si pelaku kelebihan dosis dalam beragama. Benarkah demikian?
Jangan sampai kita ceroboh dalam berpikir sehingga jika ada keributan apa pun dan di mana pun, kita langsung memberi stereotipe mabuk agama kepada pelakunya.
Tak ada satu agama pun di dunia, juga di Indonesia, yang mengajarkan keburukan kepada manusia, apalagi mengesahkan perusakan terhadap apa dan siapa pun. Agama, bahkan, menyediakan hukuman bagi penganutnya yang menyakiti dirinya sendiri dan orang lain.
Agama mengajarkan kehalusan budi, keindahan perilaku, demi terciptanya harmoni dalam kehidupan. Agama tak hanya mengatur manusia agar bersikap luhur kepada Tuhan, tapi juga kepada sesama manusia, dan pada sesama ciptaan.
Jika kita membuka kitab suci, niscaya akan kita temukan pesan-pesan kasih dan sayang. Kalaupun dalam kitab-kitab tersebut ada sebagian narasi yang mengarah pada kekerasan, seperti perang dan semacamnya, ada konteks tertentu yang melatarbelakanginya dan tak boleh serta-merta disimpulkan, apalagi diamalkan, tanpa pengetahuan terhadap konteks tersebut.
Ayat-ayat semacam itu perlu dibaca tidak hanya dengan perangkat linguistik yang lengkap, tetapi juga harus ditelaah dengan pendekatan filosofis, juga antropologis dan sosiologis.
Melabeli seseorang dengan lakab mabuk agama saya kira kurang tepat, bahkan keseleo dalam bernalar. Ungkapan mabuk agama lahir dari ketergesa-gesaan kita dalam menilai, dan semoga tidak terbit dari kesinisan kita pada agama atau kepada kaum beragama.
Andaipun ada satu-dua penganut agama yang bertindak kriminal, itu bukan karena agama, walau mereka membawa simbol-simbol agama. Kriminalitas itu terjadi karena mereka keliru dalam membaca dan menghayati ajaran agama.
Menyebut seseorang kelebihan dosis dalam beragama, dan karena itu dia mabuk agama, juga kurang bijaksana. Makin dalam seseorang mempelajari agama, justru makin utuh pemahamannya terhadap pesan-pesan cinta yang menjadi inti ajaran agama. Ketika pemahaman seseorang terhadap agama makin utuh, dia akan mencintai apa dan siapa pun dengan penuh seluruh. Sampai di sini, tiba-tiba saya teringat Kiai Haji Abdurrahman Wahid, presiden keempat kita.
”Jadi, begitu, Kang. Jangan sampai kita ceroboh dalam berpikir sehingga jika ada keributan apa pun dan di mana pun, kita langsung memberi stereotipe mabuk agama kepada pelakunya.”
Saya menoleh. Ternyata, Kang Tarjo sudah mendengkur. Mendengar saya bicara, semoga kawan ronda saya ini hanya ngantuk, bukan mabuk.