Apa Bedanya ”Banjir Mengepung” dengan ”Banjir Merendam”?
Frasa ”banjir mengepung” dapat ditemukan di banyak media massa. Ungkapan ini kerap disamakan dengan ”banjir merendam”. Benarkah demikian?
Oleh
Apolonius Lase
·3 menit baca
Mudah-mudahan pembaca masih ingat isi artikel di Kompas.id yang berjudul ”Meregang Nyawa Tidak Sama dengan Meninggal” (Sabtu, 17/9/2022). Dalam artikel itu saya membahas pentingnya memahami betul makna dari sebuah kata atau frasa. Dengan membaca tulisan tersebut, pengguna bahasa diharapkan tidak lagi memaknai frasa meregang nyawa sebagai ’meninggal’ atau ’mati’.
Masih senada dengan topik itu, dalam artikel ini saya membahas makna frasa banjir mengepung. Adakah yang salah dengan frasa ini? Bagaimana sebaiknya penggunaannya dalam kalimat sehingga tidak menimbulkan ketaksaan pada pembaca?
Frasa ini acap kali muncul pada berita banjir yang melanda DKI Jakarta atau kota lain di Indonesia.
Perhatikan beberapa contoh kalimat pada judul berita yang penulis cuplik lewat pencarian di mesin pencari di internet.
1. Banjir Mengepung Kota Cilacap Sejak Kamis Malam, Rumah Sakit Pun Ikut Terendam
2. Bencana Banjir Mengepung Kota Bandung
3. Hujan Deras dan Banjir Mengepung Ruas Jalan di Jeddah, Dua Tewas
Dari tiga contoh judul tersebut, penulis mencoba mencari tahu fakta sebenarnya dari peristiwa yang terjadi di Cilacap (1), Kota Bandung (2), dan Ruas Jalan Jeddah (3) itu. Sebab, jika disebut mengepung, mengapa rumah sakit bisa ikut terendam? Jika hanya mengepung, mengapa sampai dua orang tewas? Logikanya, jika banjir mengepung, artinya banjir masih belum masuk rumah, kota, atau jalan.
Analogi sederhananya begini. Jika maling mengepung rumah, berarti para maling masih berada di luar rumah. Mereka masih belum melakukan aktivitas mencuri isi rumah yang dikepung.
Agar lebih jelas, mari kita lihat makna mengepung di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata mengepung yang berkelas kata kerja itu diberi makna ’mengelilingi sesuatu sehingga yang dikelilingi atau yang ada di dalamnya tidak dapat meloloskan diri’. KBBI memberi contoh: penduduk kampung ~ pencuri itu; pasukan pemberontak telah ~ kota.
Dari makna leksikal mengepung itu, jadi terang benderang bagi kita bahwa kalimat banjir mengepung Kota Bandung memiliki arti ’banjir mengelilingi Kota Bandung’. Artinya, Kota Bandung masih aman dari banjir, bukan?
Tidak sesuai kenyataan
Untuk memastikan kebenaran penggunaan kata mengepung dalam ketiga contoh judul tersebut, mau tidak mau kita harus membaca sampai tuntas isi beritanya.
Isi berita pada judul berita nomor (1), ”Banjir Mengepung Kota Cilacap Sejak Kamis Malam, Rumah Sakit Pun Ikut Terendam”, ternyata tidak sesuai dengan yang digambarkan pada judulnya. Dengan kata lain, judul yang di dalamnya menggunakan kata mengepung itu tidak menggambarkan kondisi Kota Cilacap yang dikepung banjir.
Kata mengepung yang berkelas kata kerja itu diberi makna ’mengelilingi sesuatu sehingga yang dikelilingi atau yang ada di dalamnya tidak dapat meloloskan diri’.
Di bawah judul berita itu hanya disebutkan, ”Hujan lebat selama 5 jam lebih menyebabkan banjir di Cilacap Kota, Kamis (27/4/2023) malam hingga Jumat dini hari”.
Keterangan tersebut menjelaskan kepada pembaca bahwa Cilacap sudah kebanjiran mulai malam hingga dini hari.
Begitu juga pada contoh ”Bencana Banjir Mengepung Kota Bandung” (2), dalam tubuh beritanya dijelaskan, ”Setidaknya sejak Senin-Rabu, 3-5 Oktober lalu, banjir melanda Cibaduyut, Pagarsih, Pasirkoja, Gedebage, meruntuhkan kirmir Sungai Citepus di permakaman Sirnaraga; bahkan bagian dari kompleks Gedung Sate tak luput dari sergapan banjir pada Selasa (4/10/2022) lalu”.
Dari keterangan tersebut, jelaslah bahwa banjir tidak hanya mengepung, tetapi telah merendam Kota Bandung.
Hal yang sama juga terdapat pada contoh (3), ”Hujan Deras dan Banjir Mengepung Ruas Jalan di Jeddah, Dua Tewas”. Dalam berita itu dijelaskan, ”Di Jeddah, gambar yang diposting ke media sosial menunjukkan lalu lintas yang tersendat dan sebagian kendaraan terendam air”.
Jadi, banjir tidak sekadar mengepung jalan di Jeddah, tetapi sudah merendam jalan berikut kendaraan.
Apa adanya
Setiap penulis biasanya berimprovisasi menggunakan kata-kata yang bervariasi agar tulisan yang dihasilkan tidak terasa monoton. Namun, saat variasi kata dipilih dan digunakan, penulis mesti jeli, sudah tepatkah variasi kata itu dalam struktur kalimat. Sebab, jika keliru memilih kata, maksud hati agar tulisan tidak monoton, yang terjadi malah sebaliknya. Tulisan menimbulkan ketaksaan atau kesalahan tafsir (multitafsir) dan bisa berujung kefatalan.
Bayangkan jika banjir disebut mengepung rumah si A. Ketika diberi tahu, A yang paham arti kata mengepung akan santai-santai saja karena merasa rumahnya masih aman. Padahal, kenyataan sebenarnya, rumah si A sudah terendam banjir hingga atap.
Oleh sebab itu, perlu kehati-hatian dan kejelian dalam memilih kata. Jika masih mengepung, ya, katakan banjir mengepung. Katakan apa adanya. Namun, manakala banjir sudah merendam, wajiblah juga ditulis banjir merendam. Begitulah hakikatnya media massa, memberitakan sesuai fakta. Apa adanya.