Campursari, Biar Ambyar Tetap Berkibar
Selama ini campursari sudah terbukti secara luwes mewadahi beragam warna musik. Selain tembang Jawa, campursari juga meramu pengaruh musik ala gandrung Banyuwangi atau Tarling Cirebon.
Lagu ”Joko Tingkir Ngombe Dawet”, ”Mendung Tanpa Udan”, dan ”Nyidam Sari” terdengar dari radio di tengah kemacetan Jakarta. Simak punya simak, ternyata lagu-lagu itu diputar oleh radio khusus campursari yang mulai mengudara sejak Oktober 2022. Campursari dengan lagu berbahasa Jawa yang cengkoknya mirip-mirip tembang Jawa itu, mengembara dan menyelusup kehidupan metropolitan.
Di udara Jakarta, lagu-lagu campursari seperti ”Lemah Teles” dari Happy Asmara atau ”Stasiun Balapan” dari Didi Kempot bertarung dengan lagunya Niki, ”High School in Jakarta”, atau ”Shut Down”-nya Blackpink yang kerap diputar di radio. Dalam pergaulan musik, pertemuan beragam jenis musik merupakan suatu keniscayaan.
Sejak dulu beragam musik berseliweran di udara negeri ini. Ada lagu-lagu India, rock, jazz, Mandarin, musik Minang, keroncong, gambang kromong, langgam Jawa, hingga Melayu Deli. Pertemuan seperti itu akan membuka kemungkinan persinggungan pengaruh, yang berpotensi memunculkan warna baru dalam musik.
Campursari seperti yang dimainkan Manthous dan Didi Kempot itu kemungkinan juga lahir dari persinggungan beragam pengaruh semacam itu.
Sejarah mencatat, ketika samba Brasil dipertemukan dengan jazz lalu muncul bossa nova yang artinya gaya baru. Begitu pula, ketika jazz berfusi dengan rock dan R&B, kemudian lahir fusion. Dari jejak pertemuan semacam itu, saya membayangkan langgam Jawa lahir dari pertemuan keroncong dengan karawitan Jawa.
Keroncong hidup di wilayah kultural Jawa yang mempunyai budaya lisan berupa tembang. Masyarakat Jawa pada masa itu sudah mempunyai tradisi gamelan, lengkap dengan pesinden. Seniman keroncong yang tumbuh dalam tradisi tembang dan karawitan meramu keroncong dengan karawitan Jawa. Kira-kira begitulah menurut saya langgam Jawa muncul. Pada langgam Jawa terdengar pengaruh bunyi instrumen gamelan. Cengkok dan syair lagu dalam langgam Jawa juga dipengaruhi tradisi dalam tembang.
Campursari seperti yang dimainkan Manthous dan Didi Kempot itu kemungkinan juga lahir dari persinggungan beragam pengaruh semacam itu. Tradisi tembang dan langgam Jawa berhadapan dengan beragam musik yang sedang tumbuh dan digemari banyak orang. Ada dangdut, rock, dan musik pop. Setidaknya seperti itulah yang saya dengar dari lagu campursari. Ada nuansa rasa tembang, langgam Jawa, unsur dangdut, pop, dan elemen jenis musik lain.
Sebenarnya, nama campursari sudah dikenal jauh sebelum publik mengenal nama Manthous dengan lagu ”Nyidam Sari”. Pada era 1960-an, setidaknya Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta pernah memperdengarkan musik yang disebut sebagai campursari.
RRI memutar komposisi instrumental dari gamelan Jawa yang dipadu dengan orkestra, lengkap dengan seksi gesek (string) dan tiup logam (brass). Pada era 1990-an, nama campursari populer kembali ketika Manthous menyanyikan lagu ”Nyidam Sari” dan kemudian Didi Kempot populer dengan ”Stasiun Balapan”.
Nartosabdo
Seberapa dekat hubungan tembang, langgam Jawa, dan campursari? Kita tengok masa 25 tahun silam ketika lagu-lagu campursari dari Manthous mulai populer. Kaset campursari Manthous pada awalnya memuat lagu ”Ojo Lamis”, ”Yen Ing Tawang Ono Lintang”, ”Panjer Rino”, ”Ngalamuning Ati”, dan ”Loro Bronto”. Pada kaset lain dimuat lagu ”Wuyung”. Kita simak riwayat lagu-lagu tersebut:
”Ojo Lamis” adalah tembang karya Ki Nartosabdo yang mulai populer pada akhir 1960-an dalam garapan karawitan Condongraos. Tembang tersebut kemudian dipopulerkan Waljinah dalam versi langgam Jawa pada 1970-an. Ketika campursari marak pada 1990-an, Manthous menyanyikan ”Ojo Lamis”.
Begitu pula Didi Kempot dengan musik campursari juga menyanyikan ”Ojo Lamis”, yang artinya jangan hanya manis bibir. Dari tembang ”Ojo Lamis” ini tampak kedekatan hubungan antara langgam Jawa dan Campursari dengan tradisi menembang.
Tembang karya Nartosabdo lain yang kemudian dinyanyikan dalam versi campursari adalah ”Praon” yang lebih populer sebagai ”Prau Layar”. Tembang ini pernah sangat populer dalam versi campursari dan dinyanyikan oleh banyak penyanyi campursari sampai hari ini. Ada pula ”Ojo Dipleroki” yang ditulis Nartosabdo pada awal 1970-an. Gending ini tampak digarap Nartosabdo untuk merespons fenomena musik dangdut yang mewabah pada awal 1970-an.
Baca juga: Setengah Abad God Bless Berbagi Rasa
Langgam Jawa
Lagu-lagu campursari Manthous pada kaset awal juga memuat lagu-lagu kondang berjenis langgam Jawa era 1960-an. Lagu langgam Jawa ”Yen Ing Tawang Ono Lintang”, ”Panjer Rino”, dan ”Ngalamuning Ati” adalah ciptaan maestro Anjar Ani yang mulai populer pada era 1960-an.
”Yen Ing Tawang Ono Lintang” (kala di langit ada bintang) bertutur tentang kerinduan seseorang pada kekasih. Lagu ini merupakan masterpiece Anjar Ani yang menjadi lagu standar langgam Jawa dan kini lagu wajib campursari. Maestro keroncong seperti Waljinah ikut mempopulerkannya sejak 1960-an.
”Nyidam Sari” sebagai langgam Jawa dipopulerkan oleh penyanyi S Dharmanto pada era 1960-an. Manthous memopulerkannya kembali dan kini menjadi semacam lagu wajib campursari. ”Nyidam Sari” menjadi lagu yang ikut memopulerkan jenis musik campursari, dan sekaligus turut mengangkat popularitas nama Manthous.
Kaset campursari Manthous juga membawakan ”Loro Bronto” ciptaan Dharmanto. Karya ini dipopulerkan penyanyi S Bekti pada 1960-an sebagai langgam Jawa. Lagu tersebut dimuat dalam album rekaman Lokananta pada 1960-an dengan iringan Orkes Keroncong Cempaka Putih. Pada piringan hitam yang sama terdapat langgam Jawa ”Ngalamuning Ati” ciptaan Slameto yang dibawakan penyanyi Ratmanto. Lagu ini juga dinyanyikan Manthous dalam versi campursari.
Menilik lagu-lagu Manthous pada kaset campursari awal itu, tampak sekali pengaruh tembang dan langgam Jawa pada campursari. Pengaruh itu terdengar bukan hanya pada cengkok melodi, melainkan juga pada isi lagu yang bertema cinta. Kita simak diksi atau kata-kata yang digunakan dalam langgam Jawa.
Kita temukan kata wuyung atau jatuh cinta, loro bronto: nestapa karena cinta, dan cidro: ingkar janji. Diksi yang sama juga digunakan dalam lagu-lagu campursari. Nestapa cinta semacam itu kini populer disebut sebagai ambyar, hati hancur berkeping-keping,
Baca juga: Deep Purple, Laskar Metal yang Tersisa
Ambyar
Jangan-jangan DNA dari ”Ambyar” pada lagu-lagu campursari itu berasal dari lagu-lagu langgam Jawa era 1960-an. Langgam Jawa “Loro Bronto” dan “Wuyung”, misalnya, bercerita tentang hati hancur karena cinta. Langgam Jawa “Loro Bronto” berbicara tentang kekasih yang ingkar janji. Padahal, sang kekasih sudah berjanji akan hidup berkeluarga dalam suka dan duka. Namun, seperti ditulis dalam lagu, dia telah melupakan segalanya.
“Nanging aku ora ngira/ Yen sliramu bakal cidro/ Bareng saiki wis mulyo/ Banjur kromo, ora nganggo kondo-kondo (Namun aku tidak mengira/ Jika kau akan ingkar janji/ Setelah kau hidup mulia/ Lalu kau kawin tanpa memberi kabar)”.
Kita bandingkan dengan “Loro Bronto” dengan “Cidro” dari Didi Kempot: “Kepiye maneh iki pancen nasibku/ Kudu nandang lara kaya mengkene/ Remuk ati iki yen eling janjine/ Ora ngiro jebul mung lamis wae (Bagaimana lagi ini memang nasibku/ Harus menanggung sakit seperti ini/ Remuk hati ini kalau ingat janji/ Tidak mengira ternyata hanya di bibir saja)”.
Cidro artinya cedera. Dalam hal cidro janji, maka artinya adalah mencederai janji alias ingkar janji. Dalam kutipan bait kedua lagu “Cidro” disebut kata lamis atau janji yang hanya omongan di bibir. Dengan kata lain, ada perbuatan yang bisa diartikan sebagai ingkar janji, atau kebohongan. Tema-tema seperti ini banyak mewarnai lagu langgam Jawa, dan kemudian menjadi tema lagu campursari.
Nestapa serupa akibat janji palsu juga dinyanyikan Didi Kempot dalam “Pamer Bojo Anyar”. Kita kutipkan salah satu baitnya: “Cidro janji tegane kowe ngapusi/ Nganti seprene suwene aku ngenteni/ Nangis batinku nggrantes uripku/ Teles kebes netes eluh neng dadaku (Ingkar janji, teganya kau membohongi/ Sampai kini, lamanya aku menunggu/ Menangis batinku, sengsara hidupku/ Basah kuyup air mata menetes di dadaku)”.
Baca juga: Ada Asu di antara Butet dan Jokpin
Joko Tingkir
Kita melompat ke era 2015-an dan seterusnya, ketika semakin banyak jenis musik masuk dalam campursari. Unsur tembang dan langgam Jawa masih ada, akan tetapi di dalam campursari juga masuk beragam pengaruh lain. Campursari semakin kompleks. Di dalamnya ada pengaruh lagu pop.
Pada beberapa lagu, campursari tak lebih dari lagu pop berbahasa Jawa. Masuk pula pengaruh rock, dangdut koplo, bahkan seorang artis campursari menyebut-nyebut istilah jazz. Untuk sementara kita sebut saja ramuan musik tersebut sebagai campursari, karena intinya tetap berupa campuran aneka elemen sub jenis musik.
Tentang tema lagu, hal perpisahan masih tetap populer. Salah satunya “Mendung Tanpa Udan” yang dipopulerkan Ndarboy Genk. Mendung tanpa udan atau merupakan idiom untuk mengungkapkan kisah pertemuan dan perpisahan. Kegagalan hubungan cinta digambarkan dengan khayalan ideal sebuah cita-cita berumah tangga.
“Awake dewe tau duwe bayangan/ Besok yen wes wayah omah-omahan/ Aku moco koran sarungan/ Kowe belonjo dasteran/ Nanging saiki wes dadi kenangan/ Aku karo koe wes pisahan/ Aku kiri kowe kanan, wes bedo dalan ...(Kita pernah punya bayangan/ Nanti kalau sudah berkeluarga/ Aku membaca koran, dengan memakai sarung/ Kau berbelanja mengenakan daster/ Tetapi sekarang sudah jadi kenangan/ Aku dan kamu berpisah/ Aku ke kiri dan kau ke kanan, sudah berbeda jalan)”.
Selain tema hubungan cita, masuk pula tema gaya hidup masa kini. Ada lagu yang bicara tentang penampilan bergengsi, meski harus berhutang. Ada yang bicara tentang realitas sosial ekonomi berupa pinjol alias pinjaman online; ada gaya hidup ngopi; ada juga fenomena bermedia sosial. Bahkan, masuk juga kata healing yang artinya kira-kira relaksasi untuk menyegarkan dan “menyembuhkan” jiwa raga.
Kita simak lagu “Ngopi Maszeh” yang populer sejak pertengahan 2022, antara lain lewat suara Happy Asmara. Lagu ini menuturkan seseorang yang pusing memikirkan cicilan utang pada pinjol. Ia harus pinjam uang untuk membeli gawai dengan jenama yang dianggap bergengsi dan itu penting sebagai pencitraan bagi orang tertentu.
Pada lirik disebut jenama gawai, istilah “pinjol”, dan gaya hidup ngopi sebagai penenang diri dari segala masalah. Pada lagu, secara repetitif disebut ajakan “Ngopi, ngopi Maszeh...” Maszeh adalah cara penulisan “gaul” untuk menyebut Mase, dari kata Mas, Kakak, atau Abang.
Baca juga: Pabrik Tawa sejak Dagelan Mataram hingga Era Medsos
Folklor lisan
Di antara beragam tema lagu tersebut, masih ada jejak tradisi penulisan lirik berbentuk pantun. Dalam tembang dan langgam Jawa, dikenal parikan atau pantun. Belakangan yang populer adalah parikan dalam lagu “Joko Tingkir Ngombe Dawet”. Judul lagu tersebut sudah merupakan sampiran untuk menyampaikan isi: “Joko Tingkir ngombe dawet, jo dipikir marai mumet (Joko Tingkir minum dawet, jangan dipikir akan bikin mumet)”.
Lirik selanjutnya berpola sama, yaitu selarik sampiran lalu disambung sebaris isi. Keseluruhan isi berupa semacam motivasi, pendorong semangat hidup. Kita kutipkan sepasang pantun: ”Ngopek jamur nggone Mbah Wage/ Pantang mundur, terus nyambut gawe (Mencari jamur di tempat Kakek Wage/ Pantang mundur terus bekerja)”.
Campursari, seperti juga tembang dan langgam Jawa, merupakan bagian dari budaya lisan. Tembang yang dilantunkan dan disebarkan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi, masuk dalam folklor lisan. Dulu, tembang macapat dan tembang dolanan bukan sekadar media hiburan. Di dalamnya juga terkandung nasihat, kearifan lokal, dan nilai-nilai yang ingin disampaikan. Pesan-pesan tersebut dikemas dalam notasi indah dan bahasa yang tertata.
Campursari, seperti juga tembang dan langgam Jawa, merupakan bagian dari budaya lisan.
Salah satu tembang yang masih terkenal sampai hari ini adalah “Gegaraning Wong Akrami”. Tembang Macapat berjenis Asmaradhana ini berisi nasihat berumahtangga, dan sering ditembangkan pada acara resepsi perkawinan adat Jawa, atau dikutipkan dalam undangan resepsi perkawinan. Kita kutipkan satu tembang utuh.
“Gegaraning wong akrami
Dudu bandha dudu rupa
Amung ati pawitané
Luput pisan kena pisan
Lamun gampang luwih gampang
Lamun angel, angel kalangkung
Tan kena tinumbas arta”
Artinya kira-kira: Pegangan pokok orang berumah tangga, bukan harta bukan rupa, tetapi hanya hatilah bekalnya. Gagal atau berhasil ya sekali itu saja. Jika mudah, maka sangatlah mudah. Jika sukar, maka teramat sukar. Tidak bisa dibeli dengan uang.
Kini tembang sebagai bagian dari tradisi lisan sudah tidak semerakyat seperti puluhan tahun silam. Semoga campursari yang digemari publik ini dapat menjadi jembatan untuk mendekatkan budaya lisan berupa tembang kepada khalayak luas.
Selama ini campursari sudah terbukti secara luwes mewadahi beragam warna musik. Selain tembang Jawa, campursari juga meramu pengaruh musik ala gandrung Banyuwangi, Tarling Cirebon. Bukannya tidak mungkin beragam nuansa etnis dari berbagai daerah di negeri ini bisa diramu dalam campursari. Biarlah campursari menjadi folklor lisan yang merekam degup dinamika Indonesia sebagai negeri yang multietnis.
Frans Sartono, Wartawan di Kompas Gramedia 1989-2019