Deep Purple, Laskar Metal yang Tersisa
”Jadi, jika saya pulang ke rumah, istri saya telah menyodorkan daftar pekerjaan yang mesti saya bereskan, termasuk membetulkan atap bocor, ha-ha-ha,” seloroh Ian Gillan, vokalis Deep Purple.
Age is just a number, but rock is forever. Usia hanyalah angka, tetapi musik rock sepanjang masa. Pemeo itu mewujud dalam konser Deep Purple World Tour 2023 di kota Solo, 10 Maret.
Ian Gillan dan Roger Glover, vokalis dan basis Deep Purple, sama-sama berusia 77 tahun, sedangkan penggebuk drum Ian Paice berusia 74 tahun. Begitu pula banyak penonton yang berumur di atas 60 tahun. Akan tetapi, begitu terdengar lagu ”Smoke on the Water” menyalalah semangat ribuan penonton dalam koor gempita ”Smoooke on the waaater, a fire in the sky....“
Saat riff gitar ”Smoke on the Water” baru terdengar setengah potong, penonton langsung gemuruh dalam sorak. Riff ataumotif pendek yang diulang-ulang itu seperti menyihir ribuan penonton untuk jingkrak-jingkrak dan berteriak girang. Riff dahsyat itu dulu lahir dari tangan gitaris Ritchie Blackmore.
Begitulah suasana konser band rock Inggris Deep Purple yang disuguhkan promotor Rajawali Indonesia di Edutorium Universitas Muhammadiyah Surakarta. Lagu ”Smoke on the Water” yang mendapat sambutan gemuruh itu telah berumur setengah abad. Tepatnya 51 tahun.
Sebagai band berusia 55 tahun, lagu-lagu Deep Purple yang tersohor dan masih terdengar hingga hari ini kebanyakan lahir pada era 1970-an. Lagu-lagu dari era itu banyak muncul di setiap konser mereka di mana pun. Seperti yang mereka bawakan di Solo, yaitu ”Highway Star”, ”When a Blind Man Cries”, ”Picture of Home”, ”Lazy”, ”Smoke on the Water”, dan ”Black Night” yang menjadi penutup.
Sebenarnya masih ada deretan lagu-lagu Deep Purple yang populer pada dekade 1970, seperti ”Speed King”, ”Woman from Tokyo”, ”Child in Time”, atau juga ”Burn”, dan ”Soldier of Fortune”. Akan tetapi, lagu-lagu yang menjadi trade mark Deep Purple tersebut tidak terdengar di Solo.
Bisa dikatakan, era 1970-an merupakan masa gemilang Deep Purple. Bagi mereka yang tumbuh remaja atau dewasa pada dekade 1970-an, boleh jadi lagu-lagu Deep Purple merupakan bagian dari soundtrack zaman itu.
Mungkin itulah yang bisa menjelaskan mengapa banyak sekali wajah-wajah berusia 60 tahun ke atas yang hadir di konser rock, termasuk Presiden Joko Widodo yang menjadi bagian dari penikmat konser.
Rhoma Irama dan Ternchem
Selain melekat di benak penikmatnya, lagu-lagu Deep Purple juga berpengaruh pada kelompok musik di Indonesia. Ketika terdengar lagu ”When a Blind Man Cries” dalam konser, saya langsung teringat pada lagu ”Buta” dari Rhoma Irama. Sangatlah pas ketika Bang Haji Rhoma, selain God Bless, dipilih sebagai salah satu penampil pembuka konser Deep Purple di Solo ini.
Suatu kali dalam wawancara dengan harian Kompas, Rhoma Irama mengakui terpengaruh oleh rock ala Deep Purple. Lagu ”Buta” merupakan salah satu karya Rhoma yang ada pengaruh rasa Deep Purple dalam musiknya. ”Kurang lebih begitu, ha-ha-ha! Pasti ada influence dari Deep Purple,” kata Rhoma kala ditanyakan soal pengaruh tersebut.
Ya, Deep Purple adalah sejarah. Ketika jreng pertama terdengar, saya langsung teringat Ternchem, band rock asal Solo. Saya merasa seperti berada di pusaran sejarah. Bukan apa-apa, Ternchem yang pada era 1970-an dianggap band paling heboh itu suka membawakan lagu-lagu Deep Purple.
Kebetulan Ternchem pada era 1970-an juga pernah membawakan ”When a Blind Man Cries”, selain juga ”Child in Time”. Kedua lagu tersebut berjenis balada, atau ada yang menyebutnya sebagai slow rock.
Baca Juga: Satu Panggung, Tiga Raja
Bukan hanya Ternchem, banyak band di negeri ini juga terpengaruh oleh Deep Purple. Setidaknya, mereka sering membawakan lagu Deep Purple di panggung. Konser musik di negeri ini pada masa tersebut nyaris identik dengan panggung peniruan.
Sudah jamak dan lumrah jika band menirukan lagu dari grup yang sedang berkibar di dunia. Sebut saja Deep Purple, Led Zeppelin, dan Black Sabbath. Ketiganya disebut sebagai peletak dasar hard rock atau metal. Sampai-sampai dalam bahasa plesetan, mereka disebut sebagai ”Unholy Trinity of British Hard Rock”.
Pencapaian suatu grup musik pada masa itu seakan diukur dari seberapa persis mereka meniru lagu band sekelas Deep Purple dan lainnya. Membuat dan menampilkan lagu karya sendiri masih jarang dilakukan. Jika, toh, ada band membawakan lagu karya sendiri, bisa-bisa malah kurang mendapat respons audiens.
Pencapaian suatu grup musik pada masa itu seakan diukur dari seberapa persis mereka meniru lagu band sekelas Deep Purple dan lainnya.
Panbers, misalnya, seperti yang pernah diceritakan Benny Panjaitan dalam wawancara dengan Kompas, pernah dibilang sebagai band ”kampungan” karena membawakan lagu ciptaan sendiri dalam pertunjukan. Benny Panjaitan mengungkapkan, mereka kemudian berani membawakan lagu sendiri karena termotivasi oleh Koes Bersaudara yang banyak membawakan lagu karya sendiri.
Dalam perkembangan, mulai sekitaran 1973 band-band mulai mempunyai album rekaman sendiri dan berani membawakan lagu ciptaan sendiri. Termasuk Ternchem yang dalam konser juga membawakan lagu sendiri.
Akan tetapi, tetap mereka lebih banyak menyuguhkan lagu band lain. Band dengan vokalis Parnadi itu, misalnya, membawakan ”Jaman Edan”, lagu pop berbahasa Jawa berupa sindiran sosial yang jenaka. Ada juga lagu ”Sepasang Mata Bola” yang di bagian interlude disisipkan gaya keroncong. Akan tetapi, lagu rock termasuk lagu Deep Purple tetap menjadi menu utama Ternchem.
Baca Juga: Saat Raja Dangdut Membuka Konser Deep Purple
Bisa dikatakan, konser Deep Purple di kota Solo adalah sebuah pertemuan sejarah. Band asal Inggris itu hadir di kota Solo dan membawakan lagu-lagu kondangnya yang 50 tahun lalu dibawakan Ternhcem secara bersahaja di Gelora Manahan, yang sering digunakan untuk konser di Solo.
Jarak Gelora Manahan dengan lokasi manggung Deep Purple di Edutorium, UMS, cuma 5 kilometer. Akan tetapi, diperlukan setengah abad bagi pertemuan sejarah musik rock Inggris-Solo itu. Sebuah ironi sejarah: Deep Purple hadir di Solo ketika Ternchem dan band-band segenerasinya sudah banyak yang bubar bertahun-tahun silam.
Jatuh bangun dan melegenda
Setengah abad berkiprah di panggung musik rock memang suatu pencapaian tersendiri bagi Deep Purple. Ketika band-band di Indonesia yang pernah menirukan lagu-lagu Deep Purple sudah lenyap, Ian Gillan dan kawan-kawan masih tegap.
Bahkan, mereka masih menggelar tur keliling dunia. Ketegaran mereka dilalui dengan membongkar pasang formasi sebanyak sembilan kali. Mereka juga pernah mati suri alias nonaktif selama delapan tahun.
Mereka pernah empat kali ke Indonesia dengan tiga formasi berbeda. Pada 1975, mereka berkonser di Jakarta dengan awak Ian Paice (drum), Jon Lord (keyboards), Tommy Bollin (gitar), David Coverdale (vokalis utama), dan Glen Hughes (bas/vokal pendukung). Formasi ini hanya bertahan setahun, menyusul kematian Bollin.
Kedatangan Deep Purple kedua terjadi 27 tahun kemudian, yaitu pada 2002 dan berlanjut dengan kehadiran ketiga pada 2004. Pada dua penampilan tersebut, Deep Purple tampil dengan formasi sama, yaitu Ian Paice, Ian Gillan (vokal), Roger Glover (bas), Steve Morse (gitar), dan Don Airey (keyboards).
Baca Juga: Menyambut Muktamar Deep Purple
Nah, formasi Solo ini bisa dibilang ”gres” dengan Ian Paice, Ian Gillan, Roger Glover, Don Airey, dan gitaris Simon McBride yang menggantikan Steve Morse. McBride adalah pemain termuda Deep Purple meski usianya 43 tahun karena berselisih 34 tahun dengan Ian Gillan dan Roger Glover. Sayang sekali, Ritchie Blackmore, gitaris dahsyat Deep Purple, belum pernah menyertai Deep Purple ke negeri ini.
Dari sembilan kali bongkar pasang itu, formasi yang disebut Mark II sejak 1969 bisa dikatakan yang paling solid. Dari formasi ini lahir album Deep Purple In Rock, Fireball, dan Machine Head. Dari ketiga album tersebut plus single dari formasi itu, lahirlah lagu seperti ”Speed King”, ”Smoke on The Water”, ”Highway Star”, ”Child in Time”, ”When a Blind Man Cries”, ”Black Night”, ”Woman from Tokyo”, ”Strange Kind Woman”, ”Lazy”, ”Fools”, dan ”Fireballs”.
Sebenarnya, formasi Mark III juga menghasilkan sejumlah lagu top, seperti ”Burn”, ”Soldier of Fortune”, ”Stormbronger”, dan ”Mistreated”. Formasi ini terdiri dari gitaris Ritchie Blackmore, Jon Lord, Ian Paice, David Coverdale, dan Glen Hughes. Akan tetapi, sangatlah langka dan nyaris impossible Ian Gillan menyanyikan lagu yang dipopulerkan vokalis Deep Purple zaman David Coverdale itu. Mungkin ”pamali” baginya.
Legenda vs musisi biasa
Deep Purple tetap terdengar garang meski tentu saja sudah berbeda dengan masa ketika mereka masih gondrong setengah abad silam. Yang bisa dikatakan luar biasa, vokal Ian Gillan masih cukup kuat dan panjang napas di usia 77 tahun. Pukulan drum Ian Paice juga masih penuh tenaga.
Meski demikian, dalam konser di Solo, tampak ada semacam jurus untuk menghemat tenaga, terutama untuk suara Ian Gillan. Dari 13 lagu yang disuguhkan, terdapat tak kurang dari empat suguhan yang dimainkan secara instrumental.
Terkesan permainan instrumental dibuat agak panjang. Don Airey, misalnya, menyisipkan potongan ”Turkish March” karya Mozart dalam permainan keyboard-nya. Selama masa instrumental itu, Ian Gillan mempunyai waktu jeda nyanyi.
Baca Juga: Entakan Kaki Presiden Jokowi Saat Nonton Konser Deep Purple di Surakarta
Kehadiran Deep Purple di Solo merupakan bagian dari rangkaian tur dunia. Ini semakin menabalkan Ian Gillan, Ian Paice, dan Roger Glover sebagai legenda hidup. Ketiga rocker itu bisa dikatakan bagian dari sisa-sisa laskar metal.
Deep Purple pada 1972 dicatat oleh Guinness Book of World Records sebagai The Globe’s Loudest Band. Mereka menerima Legend Award di ajang World Music Awards (2008) dan ditatahkan keberadaannya di Rock and Roll Hall of Fame (2016). Mungkin bisa dikatakan, predikat-predikat tersebut sebagai bagian dari ”pemitosan-pemitosan” yang lazim dalam industri musik.
Dalam wawancara dengan Deep Purple pada 2002 dan 2004, Ian Gillan mengakui, setelah puluhan tahun malang melintang di ”dunia persilatan” rock, telah terjadi banyak perubahan di dunia musik. Musik rock terus bertumbuh dan generasi baru bermunculan. Meski demikian, kecintaan dan sikap mereka sebagai seniman musik tidak berubah.
”Dunia pun telah berubah, tetapi alasan saya bermain musik tidak berubah. Medium musik rock untuk menginterpretasikan kehidupan lewat musik, lalu menyuguhkannya ke audiens, masih tetap sama. Spiritnya tetap sama,” kata Ian Gillan, bersama Ian Paice.
”Tidak ada yang berubah karena rock telah menjadi santapan kami sehari-hari. Musik rock itu sesuatu yang pleasurable, menyenangkan. Maka, kami melakukannya dengan sebaik mungkin dan dengan rasa yang nyaman,” kata Gillan. ”It’s like the best job in the world (itu—bermain musik rock—seperti pekerjaan terbaik di dunia),” lanjutnya.
Di pentas, Deep Purple sadar menghadapi fans dari usia remaja hingga fans ”tradisional” yang berusia sepantaran mereka. Namun, Deep Purple menghadapi mereka dengan attitude, sikap, yang sama seperti ketika mereka mulai berangkat bermusik dulu.
Baca Juga: Kala Presiden Ajak Gairahkan Dunia Musik
Gillan dan Paice merasa beruntung karena seumur mereka hidup dan berpenghidupan adalah dari musik yang memang mereka sukai. Mereka lebih bersyukur lagi karena apa yang mereka lakukan ternyata juga digemari banyak orang di berbagai belahan dunia. Bahkan, hingga lebih dari setengah abad sejak mereka berdiri, konser Deep Purple masih dibanjiri penonton, seperti terlihat di Solo.
Meski pada era 1970-an dipuja sebagai bintang rock dengan segala julukan yang serba super, Deep Purple merasa tidak terjebak dalam mitos yang menempatkan mereka sebagai bintang di awang-awang.
Sosok seperti Gillan atau Paice adalah tipe orang-orang yang membumi. Dunia industri, termasuk media massa, menciptakan citra bintang kepada seniman rock, termasuk Deep Purple. Akan tetapi, para rocker itu mencoba biasa-biasa saja.
Jadi, jika saya pulang ke rumah, istri saya telah menyodorkan daftar pekerjaan yang mesti saya bereskan, termasuk membetulkan atap bocor, ha-ha-ha.
Ian Gillan membedakan dua eksistensi itu sebagai musical family (keluarga pemusik) dan keluarga domestik. ”Jadi, jika saya pulang ke rumah, istri saya telah menyodorkan daftar pekerjaan yang mesti saya bereskan, termasuk membetulkan atap bocor, ha-ha-ha,” kata Gillan berseloroh.
”Legenda itu orang yang mengatakan. Kalau itu sesuatu yang datang dari orang lain, itu kami anggap sebagai komplimen. But, let’s keep real, realistis sajalah, kami ini pemusik biasa,” kata Gillan.
Sikap rendah hati dan membumi itulah yang, boleh jadi, membuat Deep Purple melegenda.