Para gaek yang menonton pertunjukan mereka di Solo sekarang pada masa itu sebagian hanya bisa membaca laporannya di koran dan majalah. Di ”Kompas ” yang meliput adalah wartawan bernama Jimmy S Harianto.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
HERYUNANTO
Bre Redana
Group rock Deep Purple tampil di Solo, Jumat, 10 Maret 2023. Penyelenggaranya, Anas Syahrul Alimi dari Rajawali Indonesia, menyebut ”Muktamar Deep Purple”. Cukup tepat mengingat auditorium tempat digelarnya acara ini milik Muhammadiyah. God Bless tampil sebagai band pembuka.
Tidak terasa era 1960-an/1970-an dari sebuah abad yang liris sebelum digantikan abad digital yang serba bergegas telah berlalu sekitar setengah abad. Tahun 1975 kelompok ini, juga God Bless sebagai opening act, tampil di Jakarta. Para gaek yang menonton pertunjukan mereka di Solo sekarang pada masa itu sebagian hanya bisa membaca laporannya di koran dan majalah. Di koran Kompas yang meliput adalah wartawan bernama Jimmy S Harianto—ketika itu rambutnya masih kribo.
Di koran kategori ”serius” yang mengutamakan berita politik dan ekonomi pun dunia hiburan tetap mendapat tempat. Bagi yang pernah menjalani kerja di koran, dunia anak-anak muda, dunia gaya hidup, perlu mendapat perhatian.
Mereka adalah generasi pembaca berikutnya yang akan memperpanjang umur koran atau majalah.
Yang tidak dinyana, zaman tidak berjalan linear. Dari abad cetak di mana orang terbiasa fokus pada satu hal, kita masuk era hypertext dunia digital. Tidak ada kesinambungan. Yang terjadi adalah disrupsi, atau istilah yang sering digunakan oleh Goenawan Mohamad, rupture.
Koran, majalah, dan dunia meditatif buku digantikan dunia digital yang menggampangkan segalanya. Ponakan saya mengomentari orang baca koran ”seperti orang tua”. Ini bukan sekadar migrasi kertas ke pixel, tapi juga migrasi cara kerja otak. Abad yang liris seperti saya sebut di atas telah jadi abad yang banal.
Dunia sastra, novel, gencar mempersoalkan paradoks kemajuan zaman ini. Dari waktu ke waktu muncul novel yang mempertanyakan implikasi modernitas seperti Hard Times (Charles Dickens), Brave New World (Aldous Huxley), 1984 (George Orwell), atau yang paling mutakhir The Circle (Dave Eggers), dan lain-lain.
Salah satu yang sangat mendasar adalah bahasan novelis Milan Kundera atas Heidegger, singkatnya bahwa pada era Modern sains telah mereduksi dunia sebagai semata-mata obyek investigasi teknik dan matematis. Ia mengutip frasa Heidegger yang mencekam di telinga: the forgetting of being. Kurang lebih maknanya: manusia lupa untuk “menjadi” (dalam bahasa pujangga Jawa: ora eling).
Teknologi digital mengagung-agungkan supremasinya dalam data (big data), kecerdasan buatan (artificial intelligence), tak terkecuali demokratisasi di bidang informasi. Kenyataan dipetakan secara matematis, seperti laporan hasil survei yang dijejalkan ke kita sehari-hari, siapa calon presiden paling unggul. Pasti banyak yang senyum-senyum sambil berucap dalam hati: terserah kalian mau survei dengan hasil macam apa, dalam laut bisa diduga, hati orang siapa tahu.
Ketika pekan lalu bersama teman-teman lama berbincang-bincang tentang media, sebagai sesama pensiunan saya katakan bahwa kita adalah ”orang koran”. Koran menyeleksi apa yang pantas diberitakan dan diketahui orang, sama seperti manusia menyeleksi apa yang pantas diolah dalam memorinya untuk diketahui orang lain. Kalau dalam proses seleksi tadi koran menemukan identitasnya, begitu pun manusia, melalui memori terbentuk karakter dan identitasnya.
Karena kerja memori yang juga dipengaruhi oleh persepsi, prasangka, harapan, pretensi, asumsi, preferensi, referensi, cinta, dan lain-lain, perbedaan fakta dengan fiksi sejatinya cuma sebulu. Dengan pensiun sebagai ”orang koran”, cakrawala menjadi lebih luas karena kita semata-mata menjadi manusia tanpa embel-embel. Ringan bak bulu bangau.
Selain manfaat yang tiada terkira hasil kemajuan teknologi digital, tak urung banyak hal yang hilang dari diri kita. Kesadaran, kewaskitaan, atau dalam ungkapan Heidegger seperti disebut tadi, the forgetting of being. Lupa bagaimana menjadi manusia.
Makanya, saya suka istilah ”Muktamar Deep Purple”. Tentu saja Ian Gillan dan kawan-kawannya dari Deep Purple kini sudah tak muda lagi. Begitu pun Achmad Albar CS.
Bagi generasi kami ini bukan sekadar show. Di tengah zaman di mana banyak orang ingin cepat kaya, jadi pejabat, perlente, lekas mapan, ada sesuatu yang tidak kami ingini pergi dari diri kami: spirit anti-kemapanan.
Sayang karena satu dan lain hal saya batal ke Solo, meski tadinya sudah siap-siap dengan pakaian muktamar: kaus dan celana jins.