Satu Panggung, Tiga Raja
Deep Purple bersua sepanggung lagi dengan God Bless, mengulang yang pernah terjadi di Jakarta hampir 50 tahun lalu. Kali ini di Surakarta, Jateng, dengan tambahan Rhoma Irama sebagai kejutan. Tiga raja ini jadi setara.
Pertunjukan musik di gedung Edutorium Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jateng, pada Jumat (10/3/2023) malam pantas dikenang sebagai peristiwa kebudayaan. Band rock dari Inggris, Deep Purple, kembali main sepanggung dengan band pembukanya, God Bless; mengulang yang terjadi pada 5 Desember 1975, hampir 50 tahun lalu. Dua grup yang telah menyandang status sebagai ”raja rock” itu kali ini dibuka oleh ”raja dangdut” Rhoma Irama dan grup Soneta-nya sebagai kejutan.
Rif gitar pembuka tembang ”Smoke on the Water” menyeruak di tengah kegelapan setelah lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” berkumandang sekitar pukul 19.30. Tirai menyelubungi tubir panggung sehingga tak terlihat siapa di baliknya. Penonton mungkin terkecoh. Mana mungkin tamu dari Inggris yang main duluan. Bunyi gitarnya juga agak beda.
Tirai hitam tiba-tiba turun. Penonton tersentak. Sosok yang memainkan salah satu intro paling terkenal sejagat itu adalah Sang Raja Dangdut Rhoma Irama. ”Gendeng (gila), ada Soneta,” teriak salah satu penonton terkaget-kaget. Pantas ia kaget. Poster pertunjukan cuma menampilkan Deep Purple dan Godbless saja. Kejutan ini dirahasiakan rapat-rapat oleh Anas Alimi (47), pendiri Rajawali Indonesia yang menggelar konser tersebut.
Ide usil dia muncul sekitar 1,5 bulan sebelum jadwal pertunjukan. Dia berhasil meyakinkan Rhoma untuk mau main sepanggung dengan idolanya, Deep Purple, tanpa publikasi. ”Kami minta Bang Haji (Rhoma Irama) dan seluruh awak grup Soneta beserta kru untuk menandatangani surat pernyataan kesediaan menjaga rahasia kejutan ini,” kata Anas hanya kepada Kompas seusai jumpa pers sehari sebelum pertunjukan. Di hadapan wartawan, dia cuma bilang akan ada kejutan tanpa merinci detailnya.
Dalam pertunjukan ini, Anas mempertemukan kembali God Bless dan Deep Purple setelah hampir 50 tahun berselang. Di kalangan penggemar rock, God Bless bisa dibilang sebagai Deep Purple-nya Indonesia. ”Ada satu band Indonesia lagi yang dikenal begitu, yaitu Soneta dari kubu dangdut,” kata Anas. Rhoma adalah salah satu penonton Deep Purple ketika tampil di Jakarta pada 2002 lalu. Mengundang Soneta di panggung Deep Purple kali ini adalah kejutan yang semestinya.
Intro ”Smoke on the Water” terhenti ketika seseorang dari pihak Deep Purple tiba-tiba naik ke panggung, mendekati Rhoma. Tak terdengar apa yang ia ucapkan. Hanya terlihat kedua tangannya terkembang seperti meminta menghentikan rif itu. Ada penonton yang tertawa, mungkin menyangka itu bagian gimik. Yang jelas, Rhoma tampak mundur selangkah, menoleh ke pemain musiknya, lalu mulai main lagunya sendiri, ”Nafsu Serakah”.
Sebanyak 7.000 pasang mata di gedung itu menyambut meriah penampilan Soneta. Gimik ”Smoke on the Water” sangat menyenangkan. Apalagi, yang memainkannya adalah seorang pionir dangdut yang musikalitasnya terpengaruh warna rock. Jejak ini terasa di lagu-lagu yang dibawakan Soneta malam itu, yaitu ”Seni”, ”Badai Fitnah”, dan ”Hari Berbangkit”.
Baca juga: Ide Bermekaran Red Hot Chili Peppers
Di tengah-tengah lagu ”Seni”, Rhoma meneriakkan nama Godbless dan Deep Purple. Ini seperti menununjukkan kubu dangdut setara dengan kubu rock; rekonsiliasi dari gesekan antarkubu yang pernah terjadi di tahun 1970-an dulu.
Pada interlude ”Badai Fitnah” Rhoma memainkan rif yang rock banget, mengingatkan pada nomor ”Stormbringer” milik Deep Purple, lengkap dengan koreografi khas mendongakkan gitar Steinberger ”buntung” itu. Sementara lagu bertopik apokaliptik ”Hari Berbangkit” kental dengan bunyi organ yang psikedelik.
Soneta turun panggung sekitar pukul 19.45. Penonton bertepuk tangan melepas Rhoma dan 15 anggota Soneta, sekaligus menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, dan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming yang duduk di kelas Super Purple—kasta penonton tertinggi.
Rock dulu dan kini
Panggung kembali menggelap. Penonton di kelas festival yang sebagian besar warga senior dan berkaus Deep Purple kembali duduk lesehan, menunggu sambil mengobrol dengan handai taulan. Hubungan antarpenonton memang terasa akrab, bahkan dengan yang baru kenal di tempat.
Saat panggung masih gelap terdengar lamat-lamat potongan lagu ”Huma di Atas Bukit” yang diputar dari sequencer. Penonton berdiri dan mulai bernyanyi. Satu per satu sosok God Bless muncul. Potongan lagu itu disambung dengan ”Musisi” yang mereka mainkan. Ini lagu wajib anak band era 1980 sampai 90-an.
Lagu ”Musisi” diambil dari album Cermin keluaran 1981. Tapi sejatinya, lagu itu dicetuskan pemain bas Donny Fattah tak lama setelah mereka jadi band pembuka Deep Purple pada 5 Desember 1975 lalu. Dalam wawancara tahun 2021 lalu, Donny mengatakan, lagu ”Musisi” ia tulis ketika sedang gundah meneruskan karier bermusik atau bidang lain. Kegundahan itu telah lama terjawab dan dilakoni sampai kini hari.
God Bless bertahan lama. Tahun ini grup ini akan berusia 50 tahun, hanya berusia lima tahun lebih muda dari Deep Purple. Perjalanan kedua band ini juga mirip-mirip, yaitu sama-sama sering berganti personel.
drummer
Adapun personel Deep Purple sejak awal sampai sekarang hanya drummer Ian Paice (74). Vokalis Ian Gillan masuk setahun setelah Paice, tapi sempat keluar-masuk band. Personel terbaru mereka adalah Simon McBride (43) yang ”dilantik” menggantikan Steve Morse pada 2022 lalu.
Dampak gonta-ganti personel itu justru baik. Corak musik God Bless dan Deep Purple sama-sama sulit diwakili satu genre. Setiap pergantian anggota membawa warna baru. Penyebutan rock adalah jalan tengahnya.
Malam itu, kedua veteran rock ini menunjukkan corak musikalitas mereka. God Bless memainkan lagu ”Cermin” yang bernuansa orkestra. Lagu itu disusul oleh ”Bara Timur” dari katalog Gong 2000 yang dibuka dengan bunyi riuh gamelan. Dua nomor puncak God Bless adalah lagu bertempo kencang ”Semut Hitam”, serta ”Trauma” yang sebengis heavy metal. Achmad Albar habis-habisan menuntaskan dua lagu itu.
Sebelum memuncaki penampilannya yang berdurasi sekitar 60 menit, God Bless memainkan nomor balada pula, seperti ”Panggung Sandiwara” dan ”Rumah Kita”. Ini dua lagu wajib yang harus ada di setiap panggung God Bless. Deep Purple juga memainkan nomor menyayat ”When a Blind Man Cries”. Vokal Gillan masih bening, hanya tangannya yang agak gemetar memegang mikrofon.
Setara
Deep Purple memulai setnya sekitar pukul 22.00. Pada pentas tahun 1975, set dimulai dengan sapaan dari vokalis David Coverdale. Kali ini, bukan ucapan ”selamat malam” yang membuka pertunjukan, melainkan pukulan ringan yang konstan pada drum bersenar oleh Paice, diikuti betotan bas Roger Glover (77) dan petikan gitar McBride yang seirama pada nada dasar G. Penggemar sudah bisa menebak: ini lagu ”Highway Star”. Gillan dan kawan-kawan langsung tancap gas.
Penampilan Paice sepanjang 90 menit ibarat ilmuwan yang tekun. Rambut berponi dengan kuncir belakang sudah memutih semua. Kacamata minus nyaris melorot dari hidung. Kibordis Don Airey (74) pun serupa. Dia berganti-ganti memainkan organ Hammond dan kibor Kurzweil. Glover dengan bandana merah penutup kepalanya aktif bergerak seirama dengan McBride. Sementara Gillan kadang-kadang ”menghilang” ke belakang panggung, atau duduk di tepi set drum Paice saat teman-temannya bersolo.
Setelah memainkan ”Smoke on the Water”, mereka pamitan. Tapi, penonton sepertinya sudah hafal bahwa itu trik belaka. Benar, mereka naik lagi. Airey memakai peci pinjaman dari Anas, seperti menggenapi teks kaus ”Muktamar Deep Purple” yang banyak dipakai penonton malam itu. Sesi encore itu diisi dengan hit awal karier ”Hush”, dan ditutup dengan ”Black Night”.
Tak ada lagi keterkejutan penonton pada permainan asap dry ice seperti tahun 1975 lalu, yang membuat God Bless belajar menerapkan efek serupa di masa awal karier mereka. Semua penampil; Soneta, God Bless, dan Deep Purple sudah memakai teknologi asap panggung yang sama.
Kesamaan lainnya adalah penggunaan speaker monitor besar-besar di panggung dengan sistem ”todong mik”. Tiga penampil memakai cara yang mirip-mirip. Meskipun begitu, produksi suara Deep Purple terdengar lebih bening dibandingkan dua band pembuka. Ketika Soneta dan God Bless main, suara gema agak mengganggu keasyikan menonton. Ajaibnya gema itu diakali dengan baik ketika Deep Purple main.
Jejak Deep Purple menapak dalam-dalam pada industri musik Indonesia. Pertunjukan di Solo pada Jumat malam itu jadi buktinya. Deep Purple, yang dulu dianggap “suhu” bagi rocker baru seperti God Bless dan Soneta, bisa jadi telah sejajar dengan dua legenda musik Indonesia itu. Contohnya, Gillan dan kawan-kawan tak lagi diantar pakai limusin seperti tahun 1975, melainkan van Toyota Hiace Premio yang juga banyak dipakai band dalam negeri. Sejarah berulang dalam wujud lebih setara.