Pabrik Tawa sejak Dagelan Mataram hingga Era Medsos
Di masa represif, dengan gaya humoristik, Warkop punya semboyan ”tertawalah sebelum tertawa itu dilarang”. Sejak zaman Dagelan Mataram hingga era medsos, orang terus mencari tawa karena katanya, tertawa itu obat mujarab.

Frans Sartono
Suara tawa cekikikan tiba-tiba terdengar keras di dalam kereta rel listrik di Jakarta. Para penumpang menengok ke sumber suara, termasuk mereka yang setengah terkantuk, lalu terbangun karena ada ledakan tawa.
Rupanya, tawa itu tersulut dari telepon seluler. Si penumpang menyimak konten komedi yang ramai di media sosial. Dan hanya lewat ponsel di genggaman tangan, orang bisa mencari tawa dan bahagia karenanya.
Pemantik tawa penumpang di kereta rel listrik (KRL) jurusan Stasiun Palmerah-Tanah Abang itu adalah komedian Cak Lontong dan Akbar. Di media sosial atau medsos, lawakan dikemas ringkas dan bernas. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, orang disodori materi tawa yang langsung bikin gerrrr.
Materi konten dalam gawai tersebut diambil dari cuplikan penampilan komedian Cak Lontong, Akbar, dan kawan-kawan. Sekitar 10 detik setelah mulai, orang sudah dapat memetik tawa. Ringkas, cepat, lucu. Begitu kira-kira suguhan dagelan ala medsos.
Cak Lontong dan Akbar sebenarnya menggunakan jurus lama dalam dunia lawak, yaitu bermain-main dengan logika makna kata. Dalam hal ini tentang perbedaan antara tabungan dan celengan.
Bagi Akbar, keduanya sama, karena tabungan dan celengan intinya adalah tempat orang menyimpan uang. Akan tetapi, bagi Cak Lontong, tabungan dengan celengan itu berbeda.
Cak Lontong: ”Anda pernah dengar ibu-ibu melahirkan bayi tabung?”
Akbar: ”Iyaaa.”
Cak Lontong: ”Anda pernah dengar ibu-ibu melahirkan bayi celeng??”

Aksi panggung Cak Lontong dan Akbar dalam pertunjukan Tamu Agung yang merupakan program Indonesia Kita ke-36 di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta, Jumat (17/6/2022) malam.
Lelucon Cak Lontong itu lazim digunakan para komedian sejak zaman Dagelan Mataram. Mereka menyebutnya pelesetan atau logika bengkok. Dalam hal ini, Cak Lontong beranalogi dengan proses melahirkan.
Dia menempatkan diksi tabung dengan menempatkannya dalam konteks bayi tabung. Dengan analogi tersebut, tentu saja kata celeng tidak tepat untuk diletakkan pada konteks proses kelahiran.
Materi lelucon memang sama, tetapi panggung berbeda. Dulu pelesetan logika itu menjadi amunisi ampuh di pentas lawak. Kini panggungnya beralih ke media sosial, dan dapat dengan mudah dinikmati lewat ponsel. Apa pun jenis panggungnya, tugasnya sama, yaitu membikin tawa siapa saja. Dari kaum jadul alias zaman dulu hingga para milenial hari ini.
Panggung, film, televisi
Dari peristiwa cekikikan di KRL itu, saya menanyakan kepada sejumlah kawan tentang komedian mana yang paling diingat. Seorang kawan dari Yogyakarta menjawab, ”Basiyo lewat RRI dan Bambang Gentholet, Srimulat, di TV,” kata sang teman yang berusia 60 tahun.
Kepada generasi kelahiran 1990-an saya tanyakan juga pertanyaan serupa. Mereka menyebut nama Warkop DKI, Andre Taulany, Sule, dan Obrolan Angkringan di TVRI Yogyakarta.
Basiyo (1914-1979) adalah salah seorang komedian tersohor yang merupakan eksponen Dagelan Mataram yang populer lewat panggung sejak 1940-an dan era kaset pada 1970-an.
Baca juga : Lakon Eling Tahun Politik

Basiyo
Atas jawaban generasi kelahiran awal 1990-an, saya sempat mempertanyakan mengapa mereka mengenal Warkop, bahkan hafal potongan lawakannya. Padahal, popularitas ketokohan Dono-Kasino-Indro sudah memudar sekitar pertengahan 1990-an. Mereka ternyata menikmati Warkop dari Youtube. Begitu pula dengan lawakan Basiyo yang dinikmati generasi usia 30-an tahun dari berbagai sumber, termasuk Youtube.
Migrasi panggung sudah biasa terjadi dalam sejarah komedi di negeri ini. Kita ingat era Warkop atau Warung Kopi Prambors yang semula dikenal lewat siaran radio Prambors, Jakarta, pada era 1970-an.
Mereka terdiri dari Wahyu Sardono atau Dono, Kasino, Indro, Nanu, dan Rudy Badil. Sebelum itu, tiap awak secara personal kerap mengisi acara-acara di lingkungan kampus masing-masing. Dono, Kasino, dan Badil, misalnya, sering muncul di lingkungan acara mahasiswa di Universitas Indonesia.
Penampilan pertama Warkop di hari ulang tahun TVRI pada tahun 1977 menjadikan Warkop populer di panggung nasional dan laris diundang tampil dari panggung ke panggung di sejumlah kota. Ketika itu, Rudy Badil sudah tidak lagi bergabung.
Warkop kemudian membuat sejumlah kaset lawak dan sejak 1979 mereka lebih berkonsentrasi pada produksi filmnya. Mereka membuat tak kurang dari 30 judul film. Tersebutlah, antara lain, Mana Tahun (1979), IQ Jongkok (1981), Dongkrak Antik (1982), MajuKena Mundur Kena (1983), Kesempatan dalam Kesempitan (1985), dan Makin Lama Makin Asyik (1987).
Pola komedian panggung, lalu ke televisi dan film, ini sebelumnya sudah dilakukan Kwartet Jaya pada awal 1970-an. Mereka terdiri dari Bing Slamet, Iskak, Ateng, dan Edi Sud. Kwartet Jaya menggunakan sosok Bing Slamet untuk film-filmnya.
Baca juga : Nyawa Sambung Srimulat

Warkop DKI yang terdiri dari Dono, Kasino, dan Indro.
Lahirlah kemudian Bing Slamet Setan Jalanan (1972), Bing Slamet Dukun Palsu (1973), Bing Slamet Sibuk (1973), dan Bing Slamet Koboi Cengeng (1974). Sepeninggal Bing Slamet pada 1974, ikon Kwartet Jaya beralih ke Ateng yang kemudian melahirkan sejumlah film, seperti Ateng Minta Kawin (1974) sampai Ateng Sok Tahu (1976).
Migrasi panggung ke media film ini juga terjadi pada pasangan Kadir dan Doyok dan sejumlah kelompok lain, seperti Surya Group, Bagyo CS, bahkan Srimulat. Industri perfilman di Indonesia sudah lazim menggunakan komedian untuk produksi film layar lebar.
Di satu sisi, produser diuntungkan oleh popularitas para komedian yang sudah mempunyai pasar. Di sisi lain, seniman panggung juga mendapatkan penghasilan di luar job-job reguler mereka sebagai grup lawak.
Pada era maraknya stand up comedy di televisi, migrasi itu tetap ampuh. Salah satunya dengan tampilnya para comic atau para pelaku stand up comedy dalam film Comic 8: Casino Kings 1 (2015).
Komedian yang terlibat dalam film ini adalah Mongol, Ernest Prakasa, Kemal Palevi, Bintang Timur, Babe Cabita, Fico Fachriza, Arie Kriting, Ge Pamungkas, dan Indro ”Warkop”. Nama terakhir adalah salah satu juri acara Stand Up Comedy Indonesia di Kompas TV.
Dari deretan nama di atas, tampak bahwa pada setiap era lahir komedian sesuai zamannya. Era 1970-1980-an, TVRI mempunyai peran penting dalam menyebar tawa lewat tayangan lawak.
Suguhan komedi memang ”hanya” menjadi sisipan acara hiburan lain, seperti acara Kamera Ria atau Aneka Ria Safari. Dari TVRI, penonton terbahak-bahak, antara lain, oleh lawakan Kwartet Jaya yang terdiri dari Bing Slamet, Iskak, Ateng, dan Edi Sud; Bagyo CS (Bagyo, Darto Helm, Sol Saleh, Diran); Jayakarta Group (Jojon, Cahyono, Uuk, dan Suprapto yang semula anggota Surya Group); serta Surya Group (Jalal, Heri Koko, Suprapto, Susi/Sunaryo).

Penampilan salah satu peserta komedi tunggal atau stand up comedy dalam lomba stand up comedy Kritik DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (5/9/2019).
Basiyo dan Dagelan Mataram
Jauh sebelum itu, pada 1930-an di Yogyakarta dikenal Dagelan Mataram. Boleh dibilang ini adalah cikal bakal seniman komedi di Yogyakarta. Para seniman ini tumbuh di lingkungan Keraton Yogyakarta.
Seperti dipaparkan Handung Kus Sudyarsono, redaktur mingguan Mekar Sari, Yogyakarta, yang kemudian dikutip di harian Kompas, Dagelan Mataram adalah sekumpulan abdi dalem, atau semacam pegawai di lingkungan Keraton Yogyakarta. Mereka disebut sebagai abdi dalem oceh-ocehan karena bertugas memberi hiburan di lingkungan keraton.
Gusti Pangeran Hangabehi, putra Hamengku Buwono VIII, kemudian memberi ruang tampil kepada para abdi dalem tersebut di kediamannya pada setiap weton atau hari kelahirannya. Artinya, setiap 35 hari sekali, kelompok dagelan itu tampil menghibur.
Di antara abdi dalem tersebut ada yang kemudian terkenal, seperti Lebdojiwo alias Bekel Tembong, Jayengsuwandi, dan Jayengdikoro. Mereka tampil spontan dan improvisatif tanpa naskah. Model komedian dengan materi semacam ini kemudian berlanjut sampai ke masa Basiyo.
Dari penampilan langsung di depan penikmat terbatas di lingkungan keraton itu, mereka mulai tampil untuk siaran radio Mavro, singkatan dari Mataramsche Vereeniging voor Radio Omroep. Pada saat itulah penampilan kelompok penghibur tersebut dinamai Dagelan Mataram.
Kata dagelan berasal dari bahasa Jawa dagel, yang artinya belum masak atau tanggung. Sesuatu yang belum masak dan terasa aneh itu ada potensi menimbulkan tertawaan.

Dari kiri ke kanan, komedian Susilo Nugroho, Yati Pesek, Yustiningsih, dan Marwoto tampil dalam lakon Popok Wewe pada pementasan gelar karya maestro Basiyo di Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, Jumat (18/12/2015) malam. Pementasan tersebut untuk mengenang almarhum Basiyo sebagai maestro Dagelan Mataram.
Srimulat
Srimulat bisa dikatakan sebagai ”pabrik tawa” sekaligus ”universitas”-nya seniman komedi di negeri ini. Saat dibentuk Teguh pada 1951, panggung Srimulat menyuguhkan menu utama berupa musik. Primadona panggungnya adalah penyanyi Srimulat, yang juga istri Teguh. Pada masa itu, lawak berfungsi sebagai selingan atau intermezo.
Mereka pernah menjadi grup pertunjukan keliling dan kemudian menetap dengan panggung permanen di Sriwedari, Solo. Pada tahun 1961, mereka berpindah ke Taman Hiburan Rakyat Surabaya. Pada pertengahan 1970-an, mereka sering tampil di TVRI dan menjadi semakin dikenal luas. Kemudian, pada era 1980-an Srimulat memperlebar usaha di Jakarta dan Solo.
Seniman komedi Srimulat pada awalnya diambil dari eksponen Dagelan Mataram. Ada nama Bandempo, Ranudikromo, Edi Geyol, hingga Johny Gudel. Kemudian dari masa ke masa, Srimulat mempunyai seniman lawak kondang, seperti Asmuni, Sumiati, Ismiati, Suroto, Abimanyu, Karjo AC/DC, Paimo, Triman, Gepeng, Tarzan, Timbul, Tessy, Basuki, Kadir, Gogon, Nurbuat, Bambang Gentholet, dan puluhan nama lain.
Salah satu kiat yang digunakan Teguh dalam mengolah tawa adalah rumus ”aneh itu lucu”. Contohnya, sosok Karjo AC/DC sebagai pria berpenampilan seperti wanita, tetapi kekar dan gagah perkasa dengan suara jantan. Karakter serupa juga dilekatkan pada Kabul yang lebih terkenal sebagai Tessy.
Mereka melawak menggunakan medium bahasa Jawa bercampur bahasa Indonesia. Srimulat cenderung lebih banyak menggunakan bahasa Jawa, terutama dalam penampilan di wilayah pengguna bahasa Jawa. Oleh karena itu, pelawak Johny Gudel kerap digarap akibat ketidakmampuannya melawak dengan bahasa Indonesia.
Jika ia mentok mengungkapkan gagasan dalam bahasa Indonesia, dia akan mengeluarkan kekhasannya yang disukai penonton, yaitu ujaran, ”Apa ituuuuuuu...” dengan vokal ”u” panjang.

Lembaga Humor Indonesia (LHI) menggelar Humor Total di Balai Sidang, Senayan, Jakarta, Jumat (8/4/1988). Mengambil judul Semua Orang Bingung, pentas ini melibatkan tak kurang dari lima grup jenaka, seperti Warkop DKI, Bagito, Basuki-Kadir, dan Gideon, serta perorangan, seperti Sofia (Srimulat), Susi Sunaryo, Kelik, dan Cak Saleh.
Di sisi lain, Teguh memasang pelawak Abimanyu yang bahasa Indonesia-nya mengalir deras seperti sungai. Keterampilan wicara Abinyamu (begitu namanya sering dibolak-balik) itu membuat lawan bicaranya kewalahan dan oleh karenanya memicu tawa. Dalam hal ini Teguh adalah sutradara yang cerdas.
Srimulat juga mempunyai lakon tetap setiap malam Jumat yang menampilkan sosok drakula. Salah saru tokoh drakula yang terkenal adalah Paimo dan Paul Polii. Satu ucapan Paimo sebagai drakula yang terkenal dan ditunggu penonton adalah ”Tak cucrup mbun-mbunanmu...”—”Kuserap ujung kepalamu...”.
Jika dihitung sejak era panggung pada 1951, maka Srimulat telah menyebar tawa selama 72 tahun. Luar biasa.
Srimulat bubar pada 1989, dan kemudian muncul versi televisi berupa reuni Srimulat di Indosiar pada 1995-2003. Alih media dari panggung ke televisi ini membuat nama Srimulat berkibar di tingkat nasional.
Generasi yang belum lahir pada era panggung Srimulat menjadi kenal dengan nama Timbul, Tessy, dan kawan-kawan. Srimulat bahkan masih menyebarkan tawa hingga hari ini karena lelucon mereka bisa dinikmati di Youtube dan media lain. Jika dihitung sejak era panggung pada 1951, maka Srimulat telah menyebar tawa selama 72 tahun. Luar biasa.
Tertawalah sebelum dilarang
Dulu di masa represif, dengan gaya humoristik, Warkop punya semboyan ”tertawalah sebelum tertawa itu dilarang”. Dan benar, tertawa itu kebutuhan dan kata orang tertawa itu obat mujarab. Kata penyair Amerika, Robert Frost, ”If we couldn’t laugh, we would all go insane”—”Jika kita tidak dapat tertawa, maka kita semua akan menjadi gila”.
Ketawa bukan wabah, tetapi cepat menyebar karena orang memang butuh tertawa. Kata sastrawan Charles Dickens, ”Tidak ada sesuatu pun di dunia yang begitu cepat menular seperti tawa dan humor yang baik.”
Frans Sartono, Wartawan di Kompas Gramedia 1989-2019