Ada Asu di antara Butet dan Jokpin
Dari karya Jokpin dan tabiat bicara Butet, saya merasakan kata asu sebagai kaya makna. Tidak berhenti sebagai umpatan. Di sisi lain, banyak kata manis dibalut basa-basi yang kadang justru memuat makna samar menyakitkan.

Frans Sartono
Waktu membaca buku Tak Ada Asu di Antara Kita karya Joko Pinurbo, saya langsung teringat Butet Kartaredjasa. Keduanya bersahabat di jagat nyata. Dan, kebetulan, di jagat fiksi, nama tokoh Om Butet, muncul dalam cerita pendek Jalan Asu. Lalu apa dan siapa si asu ini? Mengapa kata ”asu” ditakuti kawan dan lawan?
Asu dalam bahasa Jawa adalah anjing. Akan tetapi, asu tidak selalu dapat dimaknai secara harafiah sebagai binatang berekor, berkaki empat. Selain makna harafiah, asu bisa mempunyai nosi atau konotasi sebagai umpatan, makian.
Di sisi lain, asu juga bisa berarti pujian, sanjungan, dan makna-makna lain. Semua tergantung konteks ketika sang asu diungkapkan. Dalam komunikasi lisan, makna asu akan bisa ditangkap lewat intonasi, tekanan pengucapan, juga dari ekspresi si pengucap.
”Jalan Asu”
Kita kutipkan sepotong bagian cerpen Jalan Asu yang dimuat di harian Kompas, Minggu, 10 Agustus 2014. Pada kutipan ini, terdapat sebanyak lima kata asu dengan berbagai makna berbeda. Jokpin kira-kira cukup menjelaskan muatan makna sang asu.
”Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul mesin ketiknya dan mengumpat, ’Asu!’ Dengan geram Ayah mencabut kertas dari mesin ketik, meremasnya, dan melemparkannya ke tempat sampah…”.
Kiranya makna asu cukup terjelaskan oleh kalimat Jokpin. Terdeskripsikan pada kalimat di atas tokoh Ayah yang ”kesal”, ”mengumpat”, dan ”memukul-mukul mesin ketiknya”. Kata asu di sana berupa bentuk umpatan, atau pisuhan dalam bahasa Jawa. Umpatan digunakan untuk mengungkapkan rasa kesal. Kita lanjutkan dengan kutipan sambungannya.
”Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran, Ayah tersenyum dan berseru, ’Asu!’ Saat bertemu teman karibnya di jalan, Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar ’asu’. Syukurlah, Ayah tak pernah mengucapkan ’asu’ kepada saya. Demikian pun saya tak pernah meng-’asu’-kan Ayah.”
Baca Juga:Puisi Pandemi Joko Pinurbo

Sampul buku karya Joko Pinurbo, Tak Ada Asu di Antara Kita.
Jika sebelumnya ungkapan asu melekat pada emosi kesal tokoh Ayah, pada kutipan di atas asu diucapkan dengan ”tersenyum”. Sang asu sama-sama dilepas sebagai ungkapan persahabatan pada posisi yang setara. Tokoh Ayah bertemu dengan teman karibnya.
Dalam tata pergaulan sosial di masyarakat Jawa, khususnya, ada bentuk ungkapan-ungkapan yang memuat ekspresi kedekatan dan bahkan kehangatan relasi antara dua orang, dengan menggumamkan kata asu. Pada konteks situasi tersebut, asu bukan merupakan umpatan, melainkan ungkapan kesetiakawanan pada lingkaran pergaulan yang akrab.
Dalam cerpen Jokpin, juga cerita-cerita lain, asu menjadi terasa humoristik, bukan sarkastik.
Si asu tidak akan dilepaskan oleh seseorang kepada pihak lain dalam struktur sosial yang dihormati. Atau juga oleh seseorang kepada orang lain yang dianggap belum pantas menerimanya, misalnya, antara orangtua dan anak seperti pada kutipan di atas. Begitu pula sebaliknya. Baiklah kita kutipkan lagi: ”Ayah tak pernah mengucapkan ’asu’ kepada saya. Demikian pun saya tak pernah meng-’asu’-kan Ayah.”
Dalam cerpen Jokpin, juga cerita-cerita lain, asu menjadi terasa humoristik, bukan sarkastik. Ia bisa membuat pembaca senyum-senyum, bukan bekernyit dahi.
Tata krama
Lalu apa hubungannya Jokpin, asu, dan Butet? Kita kutipkan lagi sepenggal bagian dari cerpan Jalan Asu-nya Jokpin.
”Saya curiga, jangan-jangan dari Om Butet-lah Ayah belajar mengucapkan ’asu’ dengan fasih. Om Butet, kan, pemain teater juga: ia piawai meluncurkan kata ’asu’ dengan berbagai nada. Di kemudian hari Om Butet dikenal sebagai seorang bintang film terkenal, selain pengusaha rumah makan yang sejahtera....”
Dari kutipan di atas, kita mendapat tambahan informasi bahwa kata ”asu” bisa diluncurkan dengan berbagai nada. Saya menafsirkan ”nada” dalam kutipan itu sebagai intonasi dan ekspresi ungkap, baik ucapan lisan maupun bahasa tubuh.
Baca Juga: Pabrik Tawa sejak Dagelan Mataram hingga Era Medsos

Joko Pinurbo (2017)
Sebelum melanjutkan, saya perlu mencantumkan semacam disclaimer, bahwa nama dalam kutipan di atas hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. Akan tetapi, kebetulan saya pernah beberapa kali bertemu dengan rekan saya, Butet Kartaredjasa, dalam berbagai acara.
Saya sempat mendengar dan menyaksikan ”asu” atau bentuk-bentuk turunannya dilepas Butet. Misalnya, suatu kali Butet memuji rekannya penyair Sosiawan Leak yang membacakan puisi dengan bagus. Dia bahkan mengakui bahwa soal membaca puisi seperti Leak, Butet masih dalam tataran membaca.
”Kalau Sosiawan Leak, kan, sudah inherent. Jadi, dia mengatakan puisi. Lha puisi kok bisa meluncur dari cangkem-nya. Itu sebuah pencapaian yang unlimited. Saya belum sampai level itu suu....”
Butet mengatakan itu sebelum membaca puisi Sajak Cinta karya Gus Mus dalam pembukaan pameran seni karya KH Mustofa Bisri di OHD Gallery, Magelang, 11 Maret 2023.
Kata suu merupakan bentuk kontraksi atau pemampatan dari asu. Dalam konteks situasi di pembukaan pameran itu, suu adalah bentuk pujian. Dalam hal ini adalah penghargaan terhadap keterampilan Sosiawan Leak yang berpuisi karya sendiri dengan judul Lanskap Gus Mus tanpa membaca naskah.
Dari ”nada” atau intonasi ucapan, suu-nya Butet itu bukan merupakan cara mengumpat. Ia mengerti tata krama dalam budaya Jawa yang mengenal apa itu empan papan, atau menyesuaikan dengan tempat dan suasana. Saat itu, ada tamu tokoh seperti Gus Mus yang sangat dihormati Butet.
Baca Juga: Makna Padat dalam Puisi Singkat Joko Pinurbo

Butet Kartaredjasa (2015).
Pada kesempatan lain, Butet pernah mengucapkan suu dengan penekanan berbeda. Kata suu diucapkan dengan lebih tegas dan keras. Pada saat itu ada peluncuran buku dan syukuran Butet di Sangkring ArtSpace, Yogyakarta.
Pada acara tersebut, ada tokoh sedang bicara di panggung, sementara sejumlah pengunjung berisik bicara sendiri. Butet lalu meminta dengan agak keras agar mereka diam. ”Cangkeme di-rem sik suu..!”
Pada ungkapan tersebut, meski bisa dibilang cukup keras, tidak terasa muatan amarah. Mungkin jengkel, tetapi masih dalam koridor semangat guyub pertemanan.
Oh ya, kebetulan Jokpin juga hadir pada acara tersebut sebagai pembaca puisi. Butet memuji Jokpin sebagai penyair asu, dengan puisi asu. Bobot ke-asu-an pada kalimat tersebut sama dengan yang melekat pada pujian untuk Sosiawan Leak.
”Uasuwok”
Dari asu, dan suu, ada lagi bentuk turunan lain yang sering digunakan Butet, yaitu uasuwok. Akhiran ”ok” (bukan oke) lazim digunakan dalam bahasa Jawa sebagai penekanan dari kata yang dilekati. Makna ”ok” pada asuwok setara dengan kata ”memang” atau pancen dalam bahasa Jawa. Butet mencantumkan ”uasuwok” pada hampir setiap postingan dalam akun Facebook-nya
Saya menjadi ikut ”curiga”, jangan-jangan Jokpin terinspirasi oleh Butet saat menulis puisi ”Asu”. Puisi itu kemudian dikembangkan menjadi cerita pendek berjudul ”Jalan Asu”. Pada bentuk cerpen inilah muncul tokoh Om Butet, yang dicurigai oleh tokoh orang pertama sebagai orang yang mengajari tokoh Ayah mengajari penggunaan kata asu. Kita kutipkan puisi Asu.

Cerita pendek Jalan Asu karya Joko Pinurbo yang terbit di harian Kompas tahun 2014.
Di jalan kecil menuju kuburan Ayah di atas bukit
saya berpapasan dengan anjing besar
yang melaju dari arah yang saya tuju.
Matanya merah. Tatapannya yang kidal
membuat saya mundur beberapa jengkal.
Gawat. Sebulan terakhir ini sudah banyak orang
menjadi korban gigit anjing gila.
Mereka diserang demam berkepanjangan,
bahkan ada yang sampai kesurupan.
Di saat yang membahayakan itu saya teringat Ayah.
Dulu saya sering menemani Ayah menulis.
Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul
mesin ketiknya dan mengumpat, ”Asu!”
Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran,
Ayah tersenyum senang dan berseru, ”Asu!”
Saat bertemu temannya di jalan,
Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar asu.
Pernah saya bertanya, ”Asu itu apa, Yah?”
”Asu itu anjing yang baik hati,” jawab Ayah.
Kemudian ganti saya ditanya,
”Coba, menurut kamu, asu itu apa?”
”Asu itu anjing yang suka minum susu,” jawab saya.
Sementara saya melangkah mundur,
anjing itu maju terus dengan nyalang.
Demi Ayah, saya ucapkan salam, ”Selamat sore, asu.”
Ia kaget. Saya ulangi salam saya, ”Selamat sore, su!”
Anjing itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan.
Dari belakang sana terdengar teriakan,
”Tolong, tolong! Anjing, anjing!”

Ilustrasi cerita pendek Jalan Asu karya Joko Pinurbo yang terbit di harian Kompas tahun 2014.
Kaya makna
Belakangan Jokpin menulis buku kumpulan cerita Tak Ada Asu di Antara Kita terbitan penerbit Gramedia Pustaka Utama. Buku berisi 15 cerita, dan kata asu muncul di alinea pertama, pada cerita pertama berjudul ”Siraman Rohani”. Ada seorang tokoh yang suka menggunakan kata asu. Bahkan, dia juga pernah menuliskan kata asu di sebuah tembok pagar.
Tampaknya Jokpin suka dengan kata asu. Pada cerita ”Pak RT” ia menulis, ”Ternyata Pak Slametno diam-diam punya keahlian menirukan suara asu.” Jokpin lebih memilih diksi asu ketimbang sinonim atau kata lain.
Pilihan kata asu juga digunakan untuk menyebut judul novel dalam cerita ”Korban Hoaks”. Dalam suatu dialog ditulis ”Bapak yang mengarang novel ’Pesan Asu kepada tuannya’ kan?” Bahkan, ada deskripsi suasana, seperti ini: ”Pada suatu hari yang sangat asu..” Suasana yang mengikuti hari asu itu adalah keluarga yang bingung mencari biaya sekolah.
Orang mengucap kata-kata yang tampak agung, tapi kosong. Kata-kata yang sepintas terdengar cerdas, tapi hanya kamuflase kepalsuan, kebodohan, dan pembodohan.
Muatan kesedihan sebobot dengan ”hari yang sangat asu” itu diungkapkan Jokpin dengan cara yang menohok: ”Kemiskinan tertawa terbahak-bahak menyaksikan kesedihan siang itu..” Cara ungkap ini memang khas Jokpin. Dia juga menggunakan kalimat sejenis, ”Pada malam yang sangat kenangan itu….”
Dari karya Jokpin dan tabiat bicara Butet, saya merasakan kata asu sebagai kaya makna. Asu tidak lagi berhenti sebatas sebagai umpatan. Memang masih ada yang menggunakan asu dalam kapasitasnya ucapan penista. Akan tetapi, setidaknya, dalam lingkup pergaulan yang egaliter, hangat, dan akrab, kata asu menjadi bentuk ungkapan persahabatan antarmanusia. Bahkan, pada kata asu, ada unsur bernuansa apresiasi dan penghargaan mirip-mirip pujian.
Di sisi lain, banyak kata-kata manis yang dibalut basa-basi kadang justru memuat makna tersamar yang penuh tikaman menyakitkan. Orang mengucap kata-kata yang tampak agung, tetapi kosong. Kata-kata yang sepintas terdengar cerdas, tetapi hanya kamuflase kepalsuan, kebodohan, dan pembodohan.