Yayoi Kusama sebagai seniman dengan pengaruh dan sumber daya raksasa di zaman modern ini harusnya bisa mewariskan sesuatu yang melampaui karyanya. Adakah sesuatu monumental yang akan dia bagi ke dunia seni?
Oleh
Lynda Ibrahim
·4 menit baca
Yayoi Kusama bukan nama baru di peta seni dunia. Dilahirkan 94 tahun lalu di Jepang, Kusama kecil suka menggambar dan menciptakan karya seni dari halusinasi yang ia alami. Walau ayahnya pengusaha kaya, keluarganya tak harmonis dan membekas trauma sampai Kusama dewasa.
Halusinasinya menguat pada usia 10 tahun: Kusama mulai melihat cahaya, aura, dan rangkaian titik. Di matanya, rangkaian titik ini menyebar ke permukaaan obyek, termasuk dirinya, sebelum menguasai dan memusnahkan sang obyek—luruh dalam jejaring titik tanpa akhir. Sempat belajar teknik gambar klasik nihonga, Kusama banting setir ke avant-garde dan makin mengeksplorasi sebaran titiknya.
”Cuma yang terganggu jiwanya bisa berimajinasi begini,” celetuk ibunda kawan saya, Rossy, saat kami menghadiri pameran Kusama di Singapura. Pengamatan beliau tidak salah. Sejak muda Kusama menyadari dirinya berbeda, dan pada usia 20-an memutuskan pindah ke Amerika Serikat, lalu Perancis, yang masyarakatnya ia rasa lebih terbuka ketimbang bangsanya sendiri. Mengalami gejolak perubahan peradaban Barat sejak akhir 1950-an sampai awal 1970-an sebagai seniman wanita asing, Kusama kembali ke Jepang pada 1973. Setelah depresi dan nyaris bunuh diri lagi, ia memilih hidup di sanatorium di Tokyo pada 1977.
Karya Kusama sempat tak diminati sebelum menemukan pemirsa baru pada 1990-an. Dari sini, Kusama kian melejit. Selain jejaring noktah yang terlihat seperti polkadot bagi awam, ia mengembangkan bentuk labu sebagai pengejawantahan dirinya. Pada tahun 2012, Marc Jacobs, desainer mode dan Direktur Kreatif konglomerasi Louis Vuitton Moet Hennessy yang juga pencinta seni, berkolaborasi dengan Kusama untuk koleksi kapsul Vuitton yang lalu meledak di pasaran.
Tahun ini, walaupun Jacobs telah meninggalkan LVMH, Vuitton kembali menawarkan koleksi kapsul dengan Kusama yang tetap diburu pencinta mode dan seni. Warga Asia beruntung karena pada saat yang sama, pameran perjalanan karier Kusama dalam skala terbesar yang pernah dilakukan di luar Jepang hadir di M+ di Hong Kong.
Bagian dari kawasan budaya baru West Kowloon Cultural District, museum seni kontemporer M+ mendedikasikan salah satu sayapnya untuk pameran Kusama. Lebih dari 200 karya sejak 1945 disusun kronologis dan tematis dalam area besar berkelok yang salah satu dinding panjangnya bermandi matahari berakhir di kedai suvenir seni Kusama. Kutipan dari Kusama mengawali tiap penggalan dan tiap karya dibekali catatan komprehensif, pengunjung yang tak kenal Kusama bisa punya pemahaman dasar yang baik di akhir pameran. Arsip foto dan pemberitaan ditemui di sudut-sudut tertentu. Bagi penggemar Kusama, pameran ini bak surga.
Lukisan berpanel ganda yang terinspirasi dari luasnya Samudra Pasifik yang Kusama lihat dari jendela pesawat yang membawanya pindah ke Amerika Serikat pada tahun 1957 menunjukkan hulu dari konsep noktah tanpa batas, Infinity, yang kemudian ia kembangkan dalam berbagai obyek bercorak polkadot atau ruangan yang mengaburkan batas dimensi. Sebuah bilik dalam manipulasi cermin dan visual polkadot di rubanah M+, sekonsep dengan instalasi di Museum MACAN di Jakarta, diantre mengular oleh pengunjung. Di sebelahnya, instalasi polkadot warna-warni raksasa menjuntai dari langit-langit tinggi atrium M+ ke konstruksi persegipanjang yang membentengi terowongan kereta bandara.
Dalam kategori patung, polkadot dihadirkan Kusama di atas kayu, akrilik, busa, serat sintetis, dan kain yang mayoritas mengambil bentuk khas yang selalu mengingatkan saya pada tentakel gurita (walau dianggap sebagian orang sebagai simbol kelamin pria). Sebuah instalasi ikonis yang memukau saya adalah 6 manekin wanita mengelilingi meja yang ditata bak pesta makan malam. Diciptakan antara 1966-1974, para manekin memiliki pola polkadot, rambut palsu, bahkan bentuk payudara yang berbeda.
Walau sebagian telah saya nikmati di pameran tunggal Kusama di National Gallery Singapore (2017) dan Museum MACAN Jakarta (2018), juga di ruang terbatas Madame Tussauds Hong Kong (2016), banyak karya yang selama ini cuma saya baca akhirnya saya lihat di M+. Salah satunya adalah instalasi busana. Bersiluet tunik berlengan lonceng bermotif polkadot dan dihiasi aplikasi mirip serenceng anggur, serangkaian kostum uniseks ini dibuat Kusama untuk pementasan tahun 1960-an. Foto arsip menunjukkan Kusama dan rekan-rekannya mengenakan kostum ini yang ternyata juga Kusama jual di department store. Empat puluh tahun sebelum dilirik Vuitton, Kusama sudah berkelindan mesra dengan mode.
Di seberang M+, balai lelang Phillips yang meresmikan rumah barunya, Maret lalu, menyajikan karya kelas dunia, termasuk sebuah sudut khusus Kusama—lukisan, manekin, sekeranjang benda polkadot.
Menyeberang ke pulau Hong Kong, Maret lalu, karya Kusama dihadirkan beberapa galeri dalam Art Basel HK dan Art Central. Saat mencari butik Vuitton di kawasan Central untuk melihat etalase khusus kolaborasi Kusama, saya salah belok ke mal mewah lainnya, di mana sebongkah besar labu polkadot hijau dan boks intip Infinity menghiasi atriumnya—bagian dari ulang tahun ke-50 balai lelang Sotheby. Pendeknya, selama Hong Kong Art Week, Kusama terasa di tiap sudut.
Dengan segala paparan berskala dunia di seni dan mode ini, pertanyaan besar yang menghantui saya adalah seberapa jauh Kusama masih terlibat dalam konsep, eksekusi, dan komersialisasi karyanya? Makin sulit untuk diwawancarai, dan konon kalau mau pun ucapannya sulit dimengerti, saya penasaran siapa pengambil keputusan utama sisi kreatif dan komersial Kusama saat ini. Sadar sepenuhnyakah Kusama terhadap nilai dan skala karyanya saat ini? Pertanyaan berikutnya, dari fulus bervolume serius yang deras masuk, adakah sesuatu monumental yang akan Kusama bagi ke dunia seni, atau mungkin komunitas kesehatan mental?
Seorang teman meledek bahwa saya berpikir terlalu serius. Banyak orang terbius karya Kusama karena senang visual polkadot atau statusnya saat ini, ujarnya. Saya tidak naif. Bahkan, sebagian kesukaan saya pada karya Kusama, di luar semua filosofi adiluhung di baliknya, adalah karena senang polkadot. Tapi, saya merasa seniman dengan pengaruh dan sumber daya seraksasa Kusama di zaman modern ini harusnya bisa mewariskan sesuatu yang melampaui karyanya. Apakah Kusama sekadar salah satu titik tanpa nama seperti kita kaum mortal, atau ia jejaring abadi yang terbentuk dari semua noktah tak berkesudahan yang tercipta sepanjang umur semesta?
Mungkin teman saya benar, saya terlalu serius. Sebaiknya saya balik goler-goler bersama bantal polkadot saya, mumpung masih hari Minggu.