Seperti camilan Imlek, sejatinya Tionghoa Indonesia berlapis-lapis. Begitu beranekanya Tionghoa Indonesia, beberapa teman Tionghoa saya tetap pusing soal beda adat saat pernikahan atau kedukaan.
Oleh
Lynda Ibrahim
·5 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Salah satu teman saya, Rinauli, lulusan Sastra China UI. Walaupun kemudian berkarier di bidang lain, Rinauli tetap meminati budaya China. Bersamanya saya pernah mengunjungi Petak Sembilan Jakarta, Semarang, dan Manado saat Imlek atau Sincia, di mana saya banyak belajar simbolisasi di balik warna, patung qilin, ukiran klenteng, dan bahkan makanan.
Pada pagi hari Imlek di Manado, Imlek terakhir sebelum pandemi, ilmu saya bertambah. Rinauli menyodori saya sepotong kue lapis legit untuk sarapan. Ternyata, dalam tradisi Tionghoa Indonesia, berlapisnya kue itu menggambarkan lapisan keberuntungan di tahun baru—diangkat selapis demi selapis, tiada habis-habis. Pantas salah satu antaran Imlek terpopuler adalah kue lapis.
Dan setelah saya pikir-pikir, itulah esensi Tionghoa di Indonesia. Berlapis-lapis.
Dalam wacana ekonomi-sosial-politik Indonesia, etnis Tionghoa selalu dicemplungkan ke dalam bejana stereotip kolektif. Secara fisik berkulit terang dan bermata sipit. Secara profesional dokter, pengusaha, minimal orang keuangan. Secara keolahragaan, jago bulu tangkis. Secara kantong? Orang kaya.
FLINT PR UNTUK KOMPAS
Seorang gadis Inggris menawarkan kue lapis dalam acara malam budaya di London, Inggris, Jumat (15/2/2019) malam waktu setempat. Acara malam budaya ini digelar menyambut kehadiran Indonesia di London Book Fair 2019 sebagai negara fokus pasar.
Namun dalam perjalanan hidup saya, tidak sesederhana itu. Saya menemukan banyak Tionghoa yang berkulit lebih gelap dari saya. Tionghoa di sekitar saya berprofesi mulai dari guru, agen properti, ahli stem piano, sampai seniman. Dan banyak sekali Tionghoa yang hidup pas-pasan, mudah ditemukan di ratusan pasar di antero Indonesia—menjajakan kue, plastik, sampai lampu bohlam.
Banyak studi yang membahas bahwa keputusan Belanda mendudukkan Tionghoa sebagai warga kelas dua (Timur Asing, bersama Arab dan India), lebih tinggi dari pribumi (kelas tiga), melahirkan benteng sosial yang merugikan sampai sekarang. Belanda sendiri berdiri di balik pembantaian sepuluh ribu jiwa Tionghoa pada 1740, sebagaimana dijabarkan oleh Windoro Adi dalam buku Batavia 1740: Menyisir Jejak Betawi. Sayangnya, Tionghoa tetap menjadi sasaran amukan massa sampai dua abad berikutnya.
”Benteng sosial” paling mudah terlihat adalah kawasan domisili. Di Jakarta, misalnya, Tionghoa memadati Utara dan Barat. Setelah dewasa saya berteman dengan banyak Tionghoa yang bercerita bahwa mereka bertetangga dan menuntut ilmu di sekolah-sekolah yang nyaris tak memiliki murid beretnis lain, dan baru berinteraksi dengan ”Melayu” saat kuliah, bekerja, atau pindah rumah. Serupa, saya tahu banyak ”Melayu” yang tidak mengenal seorang Tionghoa pun sampai menginjak usia dewasa.
Permukiman Tionghoa (Pecinan) berhulu pada era kolonial demi memudahkan Belanda mengendalikan etnis yang amat berperan dalam perniagaan. Benar sekarang domisili adalah pilihan bebas, tetapi keluar dari kebiasaan sekian generasi ya sulit, apalagi di luar penuh diskriminasi. Siapa pun ingin aman tinggal dengan tetangga yang tak perlu dikhawatirkan akan menelikung saat bandul zaman berayun.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Warga melihat pernik Imlek yang dijajakan pedagang di kawasan Pancoran Glodok, Tamansari, Jakarta Barat, Jumat (13/1/2023). Berbagai hiasanan Imlek yang didominasi warna merah banyak dijumpai di lapak-lapak pedagang kaki lima di kawasan tersebut.
Namun, seperti contoh di atas, pemilihan domisili berdampak pada pemilihan sekolah, tempat berniaga dan komunitas bercengkerama. Akibatnya, stereotip mengakar dan kesalahpahaman menyebar.
”Kalau ada masalah, ujungnya Tionghoa disalahkan,” tutur seorang karib. ”Satu Cenes bertingkah, kami semua kena getah,” keluh karib lain.
Dan itu benar. Saat kasus Ferdy Sambo meledak, entah kenapa etnis Hendra Gunawan tersebut-sebut dalam pembicaraan, sindiran, dan bahkan makian di jejaring sosial. Saya pribadi kesal pada semua penegak hukum yang membantu Sambo menutupi jejaknya sebelum terbongkar ke publik, dan Hendra Gunawan sedang disidang karena keterlibatannya itu, tapi etnisnya seharusnya bukan isu di sini.
Padahal, seperti camilan Imlek di atas, sejatinya Tionghoa Indonesia berlapis-lapis. Ada puak Hokkien, Hakka/Khek, Teochew—yang berbeda dengan puak Kanton di Hong Kong dan Singapura—semua dengan dialek dan adat tersendiri. Ada yang masih paham dialek puaknya, ada yang dikursuskan bahasa Mandarin oleh orangtuanya, ada yang arti angka cap go dalam Cap Go Meh saja salah tebak.
Ada yang kakeknya baru datang dari Tiongkok abad lalu, ada yang sudah bergenerasi di sini sampai tak tahu siapa moyangnya yang datang ke Nusantara dan kapan. Tergantung daerah dibesarkan, ada China Jawa, China Medan, China Pontianak, atau China Makassar. Ada yang neneknya berkebaya encim, ada yang kakeknya berbaju koko. Ada yang beragama Kristen, Buddha, Khonghucu, dan Islam. Bahkan ada, walaupun bukan Islam, yang tidak makan babi. Dan banyak, banyak sekali yang tidak bisa main bulu tangkis.
DAHLIA IRAWATI
Kebaya Encim tahun 1900-an dan kain batik Merak Ngibing dikenakan oleh manekin. Serta, busana dengan motif batik shio (kiri) koleksi Lusiana Limono (42), desainer batik shio di Kota Malang, Jawa Timur. Foto diambil Jumat (05/02/2021).
Begitu beranekanya Tionghoa Indonesia, beberapa teman Tionghoa saya tetap pusing soal beda adat saat pernikahan atau kedukaan, tak beda dengan apabila suku Jawa menikah dengan suku Minang. Dan kecuali satu orang yang berayahkan imigran Taiwan, semua teman Tionghoa saya merasa 100 persen orang Indonesia terlepas sering diragukan keindonesiannya.
Studi, dialog, bahkan institusi untuk menjembatani ini bukannya tiada, dan saya menghargai berbagai ikhtiar yang diperjuangkan. Imlek sekarang bebas dirayakan, berbondong warga lintas etnis dan suku menonton barongsai dan berfoto dengan lampion di atrium pusat perbelanjaan. Yusheng atau yeesang, hidangan khusus perayaan Sincia yang khas dengan ujaran ”lohei, lohei”, populer di metropolitan.
Namun, sebagai seseorang yang kadang menjadi satu-satunya ”Melayu” di sebuah kelompok pertemanan, atau sebaliknya hanya punya satu kawan Tionghoa di sebuah lingkup perkawanan, saya sadar sekat itu masih ada. Ketakpahaman masih luas. Segregasi Belanda sekian abad yang dipelihara Soeharto selama 32 tahun ternyata belum mampu diurai oleh Reformasi 1998 yang lahir setelah, lagi-lagi, kekerasan masal terhadap etnis Tionghoa di sejumlah wilayah Indonesia.
Pengakuan Presiden Jokowi minggu ini terhadap kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada 1965 dan 1998, walau langkah maju yang perlu diapresiasi, tidak menyertakan permintaan maaf dan proses hukum konkret. Jalan masih jauh sebelum terjadi rekonsiliasi, apalagi reparasi. Dan sepanjang jalan ini, saya sadar betul, hanya perlu selintas insiden konyol untuk memantik api baru perseteruan kolektif.
Saya tidak punya solusinya. Dan makin saya membaca kajian pemikir seperti Ong Hok Ham dan Mely G Tan, atau merenungi instalasi seni FX Harsono, makin saya lihat bertambahnya lapisan, termasuk polemik, yang membentuk kue bernama Tionghoa itu. Jadi mungkin memang baru ini yang bisa saya lakukan, menyuguhkan sepotong kue lapis dan mengundang Anda, saat drama terjadi dan terpancing bersikap diskriminatif, untuk menahan napas sejenak dan menyadari, bahwa yang di hadapan Anda mungkin hanya seiris sudut dari selapis kue dalam seloyang penganan penuh warna.