Loakan Global Versus Keadilan Sosial
Oleh karena logo jenama asing acap tertera pada barang bekas, unsur gengsi jadi berperan. Di antara generasi Y dan Z, istilah ”thrifting” dan ”preloved” mengalir bebas tanpa stigma.
Sebuah kegaduhan melanda Indonesia dan Singapura minggu ini. Kantor berita Reuters melansir laporan investigasinya tentang sebuah proyek donasi atas nama lingkungan.
Tahun lalu, perusahaan petrokimia raksasa Dow mengampanyekan pengumpulan sepatu bekas di Singapura untuk didaur ulang sebagai alas jalur lari dan area bermain anak. Didukung dan dipuji Pemerintah Singapura, kampanye ini sukses membuat rakyat Singapura, termasuk anak sekolah, mendonasikan ribuan sepatu bersol karet.
Ingin mengecek kebenaran kampanye ini, tim Reuters menyisipkan penanda (tracker) ke 11 pasang sepatu yang mereka donasikan. Beberapa bulan kemudian mereka membuktikan bahwa 10 dari 11 pasang sepatu itu berakhir di Indonesia, 5 pasang ditemukan di pasar loak di Batam dan Jakarta. Sepasang lainnya berada di sebuah perumahan di Singapura.
Dari sisi Singapura, minimal ini pembohongan publik, dan saya sepakat ini salah. Dari sisi Indonesia, ini pelanggaran hukum karena Indonesia melarang impor busana (termasuk sepatu) bekas dengan alasan higienis dan proteksi industri domestik.
Sejak saya kecil, pasar loak sudah ada. Seingat saya, dulu pasar loak tampak kumuh dan jualannya tidak bermutu. Tak heran dulu orang Indonesia cenderung menghindari membeli barang bekas kecuali terpaksa.
Saya baru melihat versi lain dari toko barang bekas (thrift shop) atau pasar loak (flea market) saat beruntung bersekolah di negara jiran. Bukan cuma lapak pinggiran, di Amerika Serikat saat itu bahkan ada The Buffalo Exchange, jaringan toko busana bekas, umumnya di kota yang banyak kampusnya. Mahasiswa berkantong pas-pasan seperti saya kerap membeli (thrifting) dan menjual melalui jaringan ini—dikurasi untuk kebersihan, kelayakan, dan gayanya.
Dengan pengecualian pakaian dalam, pakaian olahraga, dan sepatu tertutup, saya santai membeli dan memakai barang bekas. Beberapa tahun lalu saat semua pakaian saya kotor atau basah setelah seminggu snorkelling, saya membeli sepasang celana dari lapak baju bekas di pasar Banda Naira agar punya pakaian bersih untuk perjalanan jauh pulang ke Jakarta.
Baru-baru ini saya membeli sepotong blazer polkadot era 1980-an dari penjual baju bekas yang saya temui di Instagram. Saya aktif dalam kegiatan tukar baju (clothing swap) yang digagas salah satu LSM lingkungan, bahkan kadang jadi panitia.
Beberapa tahun lalu Pemerintah Indonesia melarang perdagangan produk sandang bekas di Indonesia. Di satu sisi, saya bisa terima argumen kebersihan—saya sendiri kadang mendapati produk mode bekas yang lusuh, bernoda, atau beraroma aneh. Saya bahkan juga bisa menerima keberatan peritel domestik, terutama di harga menengah, yang terancam perdagangan produk mode bekas.
Di sisi lain, saya tak buta ada ceruk konsumen yang terlayani. Jika dulu baju bekas menjelang rombengan, busana bekas di peredaran sekarang cukup bergaya dan, jika Anda beruntung, lebih berkualitas bahan dan penjahitan dari pilihan lokal pada harga setara.
Juga beda dulu dengan sekarang adalah jejaring sosial. Media sosial berbasis visual mendorong orang tampil lebih baik—tidak hanya layak, tapi juga bergaya.
Saya tak naif bahwa karena logo jenama asing acap tertera pada barang bekas, unsur gengsi jadi berperan. Di antara generasi Y dan Z, istilah thrifting dan preloved (barang yang disayang pemilik sebelumnya) mengalir bebas dalam percakapan sehari-hari, hampir tanpa stigma lagi.
Bahkan produk mode bekas sebenarnya lebih ramah lingkungan dari fast fashion, model bisnis yang memproduksi baju murah dan massal dalam periode pendek. Bisnis loakan tak perlu lagi menggerus sumber daya untuk produksi—seperti sunk cost dalam akuntansi, ia telah terjadi. Pilar ramah lingkungan sendiri mendorong reuse (memakai kembali barang bekas) selain recycle (daur ulang), reduce (mengurangi konsumsi), dan refuse (menolak mengonsumsi).
Namun, tentunya beda jika produk sandang bekas diimpor dari mancanegara; jejak karbon dari transportasi, potensi menambah limbah di negara tujuan jika kondisinya tak layak jual lagi. Dan di sini salah utama Dow—berapa pun penghematan jejak karbon dari reuse sepatu-sepatu itu pasti tidak menutup jejak karbon lintas laut dan udara, potensi pelanggaran jika terbukti mengambil laba dari donasi, belum lagi dosa moral membuat publik kian skeptis terhadap inisiatif pro-lingkungan. Rasanya saya mau menimpuk para petinggi Dow Singapura dengan tumpukan sepatu bekas.
Namun, sekali lagi, di luar semua argumen ini, bagaimana dengan konsumen yang terlayani oleh pasar produk mode bekas (lokal dan impor ilegal), atau fast fashion? Ceruk ini umumnya tidak terbentuk dari demografi dengan banyak pilihan berkonsumsi. Untuk adilnya, tidak semua (impor) loakan tidak layak guna lagi dan berakhir jadi limbah.
Saya berulang kali menulis ongkos sosial fast fashion berupa kerusakan lingkungan, tarif buruh rendah, dan hak intelektual rumah mode yang desainnya dijiplak terang-terangan, pun bisa berargumen tentang risiko higienis dan persaingan untuk UMKM lokal dari bisnis loakan, tapi saya selalu termangu saat misalnya melihat seorang resepsionis bergembira punya busana sekilas mirip milik manajer senior di kantornya karena thrifting dan fast fashion memungkinkannya.
Apa hak saya menghalangi kebahagiaan itu? Apa ia tak boleh tampil terbaik dengan daya optimal kantongnya? Bukankah itu juga sebuah bentuk keadilan sosial? Atau keadilan sosial melulu tentang perihal adiluhung dan tak boleh diperjuangkan untuk kesenangan recehan seperti baju? Kita kembali ke dekade 1990-an dan sebelumnya, di mana orang berkantong pas-pasan tak mampu bergaya?
Di garis mana kita menarik batas keadilan sosial dalam kegembiraan recehan versus keberlangsungan UMKM lokal, saat manusia dalam kedua kelompok sama-sama demografi tanpa banyak pilihan? Di garis mana kegembiraan sederhana demografi miskin pilihan ini dikalahkan argumen perusakan lingkungan?
Bingung? Saya juga. Di luar insiden ngawur Dow Singapura yang memang tidak bisa dibela dari sudut mana pun, ada pertanyaan yang menggelitik dari fenomena loakan global yang di sini terbukti hidup. Sementara Anda mengunyah gelitikan ini sambil sarapan, saya pergi memenuhi ajakan teman saya Safira untuk mencoba yoga bertali. Mungkin nanti setelah sejam tergantung-gantung terbalik dengan tali dari langit-langit, saya menemukan wangsit.
Lynda Ibrahim, Konsultan Bisnis dan Penulis