Art Basel HK, bermuara dari Swiss melejit sebagai ”art fair” terbesar Asia, menghadirkan 177 galeri dari seluruh dunia. Ada ROH Projects dari Indonesia dan karya-karya Indonesia di beberapa ”booth” galeri asing.
Oleh
Lynda Ibrahim
·5 menit baca
KOMPAS/SUPRIYANTO
-
Setelah pandemi tiga tahun menguncinya dalam karantina teramat ketat, Hong Kong (HK) membuka pintu lagi. Acara tahunan HK Art Week kembali digelar, dipenuhi seniman, kurator, kolektor, media, dan penikmat seni regional. Saya beruntung diundang menikmati suguhan pekan seni ini, termasuk karya perupa Indonesia.
Art Central, bursa seni (art fair) asli HK, mengedepankan seniman dan galeri seni lokal, walau pelaku seni asing bisa ditemui, seperti Dedy Sufriadi dan Taufik Ermas dari Indonesia yang diwakili Artemis Art dari Malaysia. Bekerja sama selama setahun, mereka membentuk instalasi dari dua obyek dalam medium berbeda untuk menggambarkan kemungkinan masyarakat masa depan memandang peradaban kita berdasar relik yang ditemukan dan potensi bias dalam menerjemahkannya. Butuh penjelasan bagi saya yang tak berpendidikan seni untuk memahami instalasi ini, tapi begitu paham pesannya amat mengena. Sebagai penggemar sejarah, saya selalu meluangkan kemungkinan sejarawan salah menganalisis masa lalu.
Art Basel HK, bermuara dari Swiss lalu melejit sebagai art fair terbesar Asia, menghadirkan 177 galeri dari seluruh dunia. Sedih bahwa hanya ROH Projects yang hadir dari Indonesia, tetapi hati saya terobati dengan karya-karya Indonesia di beberapa booth galeri asing.
ROH membawa 12 karya Indonesia, menarik perhatian melalui instalasi metal dan suara mirip radio karya Bagus Pandega. Kerap bermain dengan suara, saya tak lupa instalasi Bagus tahun lalu yang memakai hasil rontgen paru-paru dan tabung oksigen, karya yang mengingatkan saya akan ribuan korban Covid-19 yang sulit bernapas. Di hari kedua, bukan hanya booth dipenuhi pengunjung dan sekelompok seniman Filipina yang khusus bertandang, seperempat dari karya yang ada sudah terjual menurut pengurus galeri (gallerist) ROH.
Sapuan kuas Wedhar Riyadi seketika menyapa pengunjung Yavuz Gallery seperti sapuan oil stick Dwi Antono Roby di dinding Nanzuka, sedangkan salah satu lukisan bordir Eko Nugroho berbentuk lingkaran menempati titik strategis Arario Gallery. Perkawinan tekstil dan silikon di atas kanvas yang dilakukan Gatot Pujiarto entah mengapa meruyak rasa pilu saya, terjawab setelah melihat judulnya, ”Komunitas Yang Tersakiti”—menurut gallerist dari Pearl Lam, terinspirasi anak-anak jalanan.
KOMPAS/SUPRIYANTO
-
Bisnis lancar juga diindikasikan gallerist dari Gajah dan Mizuma, dua galeri asing yang mewakili banyak seniman Indonesia. Teknis kuas ikonis Erizal, permainan akrilik Rudi Mantofani dan imajinasi nakal IGA Kadek Murniasih memenuhi Gajah, karya yang terakhir konon mendapat perhatian khusus. Di Mizuma, saya mendapati guratan karakter bermata karya Iwan Effendi, cetak di atas katun dari Agan Harahap, tenunan plastik Ari Bayuaji yang mengingatkan akan sarung tradisional, termasuk seniman Kemalezedine di sisi karyanya.
Thomas Peeters dari White Cube memberitahukan bahwa lukisan Christine Ay Tjoe bahkan sudah laku di pratinjau sebelum Art Basel HK dimulai.
Seni Indonesia juga hadir melalui film karya Riar Rizaldi dan Tromarama, selain Encounters, instalasi skala besar yang juga disebar ke tempat umum seperti mal mewah Pacific Place di Admiralty. Dari Indonesia, hadir seniman kawakan Mella Jaarsma dengan performance art membangun instalasi bambu bersama pekerja konstruksi lokal secara bertahap sepanjang art fair. Kurator Encounters, Alexie Glass-Kantor, khusus memuji inklusivitas yang ditawarkan Jaarsma dibanding lainnya, karena instalasinya justru baru selesai di hari terakhir. 1-2 hari pertama art fair hanya diperuntukkan tamu VIP dan media, pengunjung umum setelahnya. Apabila banyak acara lain menyasar VIP, karya Jaarsma seutuhnya justru disajikan untuk umum.
Bicara soal pengunjung, saya bertemu baik kolektor Indonesia, salah satunya menilai betapa habis-habisannya art fair dan galeri menjamu kolektor tahun ini, maupun WNI yang berdomisili di HK. Mudji Wiratna dan Weffy Mueller mengaku bangga dan merasa terwakili saat melihat karya-karya seniman Indonesia di Art Basel HK, dan kian gembira saat saya perkenalkan ke Kemalezedine. Saya membayangkan, apabila saja kian mudah bagi pelaku seni Indonesia merambah ke panggung dunia, tidak saja Indonesia makin dikenal, tapi juga diasporanya punya lapisan baru untuk identitas keindonesiannya.
Selain kedua art fair, ekosistem seni HK menyelenggarakan banyak pameran, baik di jejeran galeri seni di Central maupun di rumah lelang dunia seperti Phillips yang memperluas ruang ke lokasi baru di West Kowloon Cultural District (WKCD).
Dibangun di tanah reklamasi di seberang pulau Hong Kong, WKCD adalah megaproyek pemerintah untuk menahbiskan HK sebagai pusat seni-budaya Asia. Mulai dari rumah opera China Xiqu Center, museum artefak antik Hong Kong Palace Museum, museum modern M+, sampai alokasi bangunan komersial seni dan residensi seniman. Didesain arsitek kelas dunia Herzog & de Meuron yang mendesain Tate Modern di London, M+ dipenuhi seni kontemporer dunia, terutama Asia, dan salah satu galerinya sedang mengusung pameran restrospektif terbesar karier Yayoi Kusama yang pernah dilakukan di luar Jepang.
Tak cukup kolom ini untuk membahas semua karya seni di WKCD. Namun, saya bisa ceritakan dua litografi Cahyono Abdi terpampang di M+, selantai dengan karya Andy Warhol, Yoko Ono, Zaha Hadid, dan I.M. Pei. Seni kontemporer Indonesia sudah dalam percakapan seni dunia, pemimpin M+ Suhanya Raffel sendiri langsung mencetuskan nama Aaron Seto (Direktur Museum MACAN di Jakarta) saat mengetahui saya dari Indonesia, besar harapan saya M+ menambah koleksi seni Indonesia ke depannya.
Di luar itu semua, saat tekun mendengarkan presentasi para direktur museum di WKCD dan HK Museum of Arts, menyimak kuliah umum arsitek Jacques Herzog, mengikuti tur arsitektur oleh Ascan Mergenthaler, dan menghadiri Museum Summit yang dimotori pelaku seni dan birokrat HK, saya tersadar betapa seriusnya HK menjadikan diri sebagai pusat budaya Asia setelah berjaya sebagai pusat finansial. Perencanaan terintegrasi jangka panjang digelar—bukan niat sesaat dalam silo yang kerap saya temui di Indonesia, terutama untuk hal yang tak dianggap kebutuhan primer. Atas masukan pelaku bisnis, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru saja menghapus PMK 174 yang menyulitkan entitas asing untuk berpameran. Namun, masih banyak kendala perizinan dan logistik untuk membangun ekosistem Indonesia sebagai rumah acara komersial skala dunia—seni atau lainnya. Dan dalam penerbangan pulang ke Jakarta, sama seperti saat kembali dari Singapore Art Week awal tahun ini, saya hanya bisa bermimpi dan menghela napas.