Ketika KPK mengumumkan orang-orang yang terkena OTT, dengan kondisi tangan diborgol dan dikenakan rompi khusus, orang itu sebenarnya sedang ”ote-ote” atau ”bertelanjang dada” di depan umum dan ditonton siapa pun.
Oleh
JC TUKIMAN TARUNA
·4 menit baca
”Pakaian menyembunyikan banyak keindahan, namun tak mampu menutupi keburukan …. ...dan apabila yang tak suci telah tiada lagi, maka apalah rasa malu, selain dari sebuah noda pencemaran budi?” (Kahlil Gibran, Sang Nabi, 1981)
Semakin sering Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil melaksanakan operasi tangkap tangan (OTT), semakin nyaring dan keras warga masyarakat bertanya, ”Siapa lagi menunggu gilirannya?” Dalam pertanyaan itu terkandung pertanyaan lainnya, seperti: ”Mengapa banyak orang (pejabat?) tidak belajar dan tidak jera melihat OTT yang sudah-sudah?” Bahkan, ada pertanyaan lain yang lebih menggores rasa malu: ”Bukankah rompi dan borgol yang (akan) dikenakannya itu sebuah penelanjangan dan penyemaran diri di depan umum?”
Itulah ote-ote, kosakata percakapan sehari-hari untuk menegaskan betapa seseorang begitu saja bertelanjang dada di depan umum tanpa merasa risi ataupun malu. Sementara, justru orang lain yang melihatnya merasakan risi atau sekurang-kurangnya bertanya: mengapa atau dengan maksud apa orang itu berbuat seperti itu?
Serangkaian tindakan OTT oleh KPK sangat berkaitan dengan kosakata ote-ote (sering dilafalkan ngote-ote), maksudnya, segera setelah seseorang atau beberapa orang terkena OTT, pihak KPK selalu mengumumkan kepada khalayak orang-orang yang terkena OTT itu, dalam kondisi tangan orang-orang itu diborgol dan dikenakan rompi khusus kepadanya. Meski berpakaian lengkap, bahkan memakai rompi, orang itu sebenarnya sedang ote-ote, sedang ”bertelanjang dada” di depan umum. Dengan kata lain, ia atau mereka itu sedang menjadi tontonan bagi siapa pun.
Menggunakan penggalan puisi Kahlil Gibran di atas, ”presentasi” KPK seperti itu menyiratkan pakaian itu menyembunyikan banyak keindahan, tetapi tak mampu menutupi keburukan. Dan rupanya kosakata ote-ote itu ada kaitannya dengan oteng-oteng, yaitu hewan sejenis uret; ketika orang melihatnya pasti berkesan risi karena bergeliat pelan seolah-olah menunjukkan bagian punggung dan dadanya. Oteng-oteng ini mengesankan tampil ngliga (Jawa), telanjang, meskipun semua orang tahu dan sadar bahwa semua hewan itu memang tidak berpakaian. Dalam kasus orang yang terkena OTT, ia/mereka berpakaian amat lengkap, tetapi sebenarnya ngliga, setengah telanjang.
Kerbau runcing tanduk
Mengapa dan bagaimana KPK pintar mengendus terjadinya korupsi pada diri seseorang ataupun di suatu instansi? Jawaban di luar kecanggihan alat deteksi, sebenarnya kearifan lokal masyarakat telah mengajarkan antara lain lewat peribahasa ”kerbau runcing tanduk”, yakni orang yang telah dikenal kejahatannya.
Sejatinya, secara kasatmata siapa pun akan mampu melihat orang lain itu jujur atau tidak jujur. Apalagi jika orang itu memang sudah ditengarai atau dikenal tidak jujur atau berada dalam sebuah instansi yang sedang keceh dhuwit, bergelimang banyak uang. Seraya dilengkapi alat deteksi yang canggih berikut berbagai informasi akurat, KPK rupanya secara acak menerapkan peribahasa kerbau runcing tanduk ini, dan seperti kita lihat OTT-nya ternyata hampir selalu terjadi di instansi dan orang-orang yang memang sedang berurusan dengan uang.
Mereka itu, termasuk tentu saja KPK salah satunya—entah dengan penuh keyakinan, entah pula dengan terpaksa—mereka mengadakan unsur-unsur sosial melalui proses dinamis yang disebut proses interaksi tadi.
Peribahasa kerbau runcing tanduk ini senada dengan paribasan (peribahasa)khazanah Jawa becik ketitik, ala ketara; siapa orang baik, siapa pula orang kurang baik akan dengan amat mudah dideteksi oleh orang lain atau pun lingkungannya. Persoalannya memang ada pada diri orang yang selalu beranggapan bahwa orang lain atau lingkunganku pasti tidak tahu apa yang kulakukan. Itulah mengapa OTT yang telah berhasil membuat orang ote-ote, tidak juga membuat orang (pejabat?) atau instansi lain, jera.
Proses interaksi
George Simmel (lihat KJ Veeger. 1993) menyebut realitas sosial seperti di atas ini sebagai proses interaksi dalam hidup bermasyarakat (vergesellschaftung) yang dinamis dan mengungkapkan tekad serta tindakan orang untuk berorganisasi, berkelompok, berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Dalam proses interaksi ini, apabila muncul kosakata, misalnya negara berkembang, hukum yang tidak pandang bulu, atau instansi pemerintah harus tegak kokoh-kuat, dan kosakata lainnya, disebut oleh Simmel sebagai metode saja; karena kosakata semacam itu tidak mempunyai ”ada” dari dan dalam dirinya.
Mengapa? Sebab “di luar orang/manusia, tidak ada negara berkembang dari dirinya sendiri; tidak ada hukum yang tidak pandang bulu dari dirinya sendiri, dan seterusnya. Yang ada adalah orang-orang yang mengorganisasi diri untuk menjadikan negara berkembang, untuk menegakkan hukum yang tidak pandang bulu, dan seterusnya. Mereka itu, termasuk tentu saja KPK salah satunya, -entah dengan penuh keyakinan, entah pula dengan terpaksa-, mereka mengadakan unsur-unsur sosial melalui proses dinamis yang disebut proses interaksi tadi.
Pada hakikatnya, dalam proses interaksi itu kehidupan bermasyarakat ditandai dengan jumlah aksi dan reaksi yang tidak terbilang jumlahnya; dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya pasti saling menyesuaikan diri mengarah kepada pola perilaku yang kolektif. Simmel menegaskan bahwa proses interaksi itu pada ujungnya selalu ditandai dengan plurality becomes unity (Veeger, hal. 92); dan proses dinamis selalu ditentukan oleh apa yang dilakukan anggota-anggotanya. Itulah happening, kejadian—contohnya OTT dengan ote-ote-nya—yang akan berlangsung terus-menerus selama mereka masih bersedia dan diberi dukungan aktif oleh pihak-pihak lainnya.
JC Tukiman Taruna, Penulis Buku Pesan Moral Paribasan vs Perubahan Zaman: Khazanah Jawa