Ibu pertiwi patut bersedih. Teriakan rakyat-rakyat jelata soal betapa berbahayanya korupsi tak didengar elite negeri. Korupsi terus saja terjadi. Kursi mahasiswa diperjualbelikan, keadilan diperdagangkan.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
Judul itu saya ambil dari ”Surat Kepada Redaksi” di harian Kompas, Selasa, 13 September 2022. Surat itu ditulis Hadisudjono Sastrosatomo. Di kata penutup, Hadisudjono menulis, ”Tak terdengar suara elite negeri yang khawatir dengan masifnya korupsi. Padahal, korupsi itu berpotensi menghancurkan fondasi kebangsaan. Memperingati 77 tahun kemerdekaan sebaiknya memang jangan hanya menjadi slogan kosong dan keramaian sesaat pelipur lara.”
Virus korupsi terus saja menginfiltrasi fondasi-fondasi negeri. Setelah seorang rektor di Lampung ditangkap KPK karena memperjualbelikan kursi mahasiswa, setelah Gubernur Papua Lukas Enembe ditersangkakan karena diduga menerima gratifikasi, kini seorang hakim agung bernama Sudrajad Dimyati ditersangkakan KPK. Ia dituduh menerima suap dalam penanganan perkara. Sang hakim pun ditahan! Dalam kasus Lukas, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan aliran transaksi mencurigakan yang diduga dilakukan Lukas berupa setoran 55 juta dollar Singapura atau Rp 560 miliar ke judi kasino.
Ibu pertiwi patut bersedih. Teriakan rakyat-rakyat jelata soal betapa berbahayanya korupsi tak didengar elite negeri. Korupsi terus saja terjadi. Kursi mahasiswa diperjualbelikan, keadilan diperdagangkan, politik pun jadi komoditas perdagangan. Semuanya menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan. Kebangkrutan moral sedang di depan mata.
Pembaca lain, Sri Handoko, juga menulis surat kepada Kompas pada 20 September 2022. Sri Handoko menulis, ”Saya pesimistis melihat pemberantasan korupsi di negeri ini. Betul banyak koruptor yang ditangkap. KPK juga tak kurang-kurang canggihnya dalam mendeteksi gerakan koruptor. Demikian juga kejaksaan. Namun, apakah korupsi menjadi berhenti? Saya pesimistis kalau melihat kenyataan yang terjadi sampai saat ini. Ketika koruptor dipenjara, masih banyak upaya hukum lain yang bisa ditempuh. Bermacam-macam caranya dan memang dibolehkan sesuai perundang-undangan, antara lain peninjauan kembali dan remisi. Ujung-ujungnya adalah pengurangan hukuman. Enak sekali. Bahagia betul koruptor di negeri ini. Bahkan, setelah keluar penjara, masih bisa berkecimpung lagi di dunia politik dengan alasan HAM dan sebagainya….”
Kegelisahan Sri Handoko merupakan ekspresi kejengkelan rakyat karena terlalu banyaknya cashback bagi para koruptor, penjarah uang negeri. Bulan September adalah bulan diskon untuk para koruptor. Tahun ini ada 23 koruptor bebas bersyarat, termasuk jaksa Pinangki Sirna Malasari, yang dihukum 10 tahun di pengadilan pertama, dikurangi menjadi empat tahun, dan menjalani hukuman hanya satu tahun satu bulan. Ketika pada sebuah era, korupsi adalah kejahatan luar biasa, kini korupsi menjadi kejahatan biasa saja. Hampir tidak ada keberpihakan elite negeri dalam mengendalikan masifnya virus korupsi.
Litani kegeraman publik soal maraknya korupsi adalah alarm bagi negeri. Saya meminjam istilah yang sering dipakai Prof Dr Azyumardi Azra: ada tanda-tanda kejengkelan sosial (social resentment). Jika social resentment tak bisa dikendalikan, dapat menimbulkan kekerasan dan mungkin juga ”revolusi sosial”.
Ikut ditersangkakannya hakim agung Sudrajad Dimyati mengonfirmasi pendapat Prof Gary Goodpaster, Guru Besar Emeritus University of California (UC) Davis, Amerika Serikat. Gary menulis, ”Sistem hukum Indonesia tak bisa dipercaya-sungguh, tidak bisa digunakan untuk memberikan keputusan yang jujur, tetapi boleh jadi bisa dipercaya untuk melindungi kegiatan-kegiatan korup.” Gary menuliskan pandangan saat memberikan pengantar buku suntingan Prof Tim Lindsey.
Korupsi di negeri ini, khususnya korupsi yudisial, sudah sampai tahap mengkhawatirkan. Hampir semua lembaga penegak hukum telah terinfeksi virus korupsi. Kasus hakim agung Sudrajad Dimyati melengkapi kasus-kasus korupsi yang melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan hakim konstitusi Patrialis Akbar. Patrialis telah bebas bersyarat.
Suap yang diterima Sudrajad Dimyati, meski pembuktiannya harus melalui jalur pengadilan, bahkan sampai ke MA pula, merupakan malapetaka bagi negeri. Selama ini, elite negeri selalu mengajak masyarakat untuk menghormati putusan pengadilan. Namun, ketika hakim agung menerima suap, bagaimana meyakinkan lagi publik untuk tetap memercayai kekuasaan kehakiman yang merdeka?
Langkah cepat harus dilakukan, termasuk membersihkan lembaga peradilan dari siapa pun yang terlibat dalam perdagangan perkara. Pemecatan hakim tak perlu menunggu putusan berkekuatan hukum tetap. Langkah cepat juga bisa dilakukan Presiden Jokowi dengan menerbitkan RUU Omnibus Pemberantasan Korupsi dengan menggabungkan semua lembaga penegak hukum untuk memerangi korupsi. Dalam RUU Omnibus Law—syukur jika berani menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang karena kekuatan politik mayoritas berada di tangan—sekaligus memasukkan kewenangan perampasan aset terdakwa kasus korupsi.
Hakim agung adalah puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia. Putusan seorang hakim agung selalu didahului irah-irah: ”Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, bukan keuangan yang mahakuasa. Realitas hakim Sudrajad menunjukkan hakim adalah manusia biasa. Bobroknya sistem penegakan hukum juga melibatkan advokat. Organisasi advokat sedang menikmati kebebasannya, termasuk membiarkan juga advokat yang jadi perantara perkara. Bayangkan saat ini lebih dari puluhan organisasi advokat terbentuk. Dan, negara membiarkan semuanya berjalan biasa-biasa saja, tanpa intervensi untuk menata kembali dunia advokat.