Bilamana banyak pejabat memilih tindakan bernilai maka OTT bukan cerita terus menerus, borgol KPK tetap menakutkan dan rompi oranye menjatuhkan martabat diri.
Oleh
TOTO TIS SUPARTO
·4 menit baca
Berita operasi tangkap tangan (OTT) kasus korupsi muncul lagi di media. Setelah ramai OTT Bupati Bekasi, kemudian "giliran" Bupati Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur Abdul Gafur Mas'ud. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Penajam Paser Utara itu sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dengan modus suap.
Tatkala OTT oleh KPK terus berlangsung dan selalu saja ada oknum pejabat yang ditangkap, ini menjadi bukti korupsi memang tak pernah hilang. Efek jera pun tak pernah terjadi. Sekaligus menjadi pembenaran dari anggapan umum bahwa korupsi nyaris lengket dengan pusat kekuasaan. Siapa yang berkuasa, godaan korupsi menyertainya.
Bilamana dilihat dari perspektif etika, deretan kepala daerah yang terjerat OTT itu, semakin menguatkan adanya kontraktualisme dalam kasus korupsi tersebut. Kontraktualisme salah satu teori etika yang dipaparkan Gordon Graham (2004). Memang bukan soal mudah memahami teori ini, tetapi cukup gamblang dipraktikkan para tersangka OTT selama ini.
Kontraktualisme bermuatan unsur janji. Salah satu pertanyaan mendasar tatkala ada oknum menerima suap, adalah: "Mengapa mereka menerima suap itu?" Jawaban paling sederhana :"Anda sudah berjanji".
Yang dimaksud "anda" di sini adalah sebagai pihak pemberi maupun penerima. Pihak pemberi telah berjanji akan "menyisihkan" sekian persen jika proyek berhasil mereka memenangkan (lelang) yang kemudian dikerjakan. Sebaliknya, penerima pun berjanji akan memberikan proyek bilamana kontraktor tahu "aturan main"-nya. Aturan main legal berupa mekanisme lelang, dan aturan main ilegal adalah "tahu sama tahu" pasca anggaran cair.
Janji itu tak ada hitam atas putih. Namun semua berlangsung alamiah (tahu sama tahu). Kondisi alamiah ini ada pada kontraktualisme. Kata Graham, terdapat dua konsep dalam sejarah kontraktualisme, yaitu kondisi alamiah dan kontrak sosial. Semua filsuf mengelaborasi kedua konsep tersebut, walau bisa saja menyebutnya dengan istilah berbeda.
Dari dua konsep ini berkembang menjadi kesepakatan. Bisa kesepakatan yang dinyatakan berasal dari ucapan, atau kesepakatan diam-diam berdasarkan tindakan yang dilakukan. Namun keduanya ada unsur negosiasi.
Janji itu tak ada hitam atas putih. Namun semua berlangsung alamiah (tahu sama tahu). Kondisi alamiah ini ada pada kontraktualisme.
Negosiasi dulu lalu ada kesepakatan, atau sebaliknya? Teorinya memang menyebutkan tujuan dari negosiasi adalah mencapai kesepakatan bersama yang bisa memberikan keadilan bagi semua pihak. Praktiknya bisa negosiasi dulu untuk kesepakatan. "Nego dulu, baru kesepakatan," begitu ucapan dalam praktik.
Mana pun yang diterapkan, tetap saja bahwa di dalam negosiasi terbawa ego yang mendahulukan kepentingannya sendiri, atau kepentingan kelompok yang ia wakili. Di sinilah ranjau bisa mencelakakan "kandidat" korban OTT. Betapa tidak, saat ada pihak merasakan ketidakadilan, apalagi sama sekali tidak memperoleh proyek, maka ia akan menjadi pelapor. Atau sering diistilahkan berdasarkan "laporan masyarakat".
Pertimbangan moralitas
Sejatinya dalam tahap negosiasi itulah terdapat pertimbangan moralitas. Ketika bernegosiasi, semustinya, cepat muncul kesadaran bahwa kesapakatan yang akan mereka lakukan merupakan kesalahan di mata masyarakatnya. Mungkin saja ada oknum kepala daerah yang sudah berjanji dengan pihak lain, tiba-tiba urung mewujudkannya, karena saat negosiasi muncul kesadaran moral berupa kebaikan universal.
Tak ada salahnya kembali mengingat pendapat Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman abad ke-18, bahwa moralitas haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip rasional yang bersifat universal. Pendapat ini mau menegaskan jika kita berbicara, berpikir, dan bertindak dengan menggunakan akal budi, bisa jadi tindakan kita akan diterima oleh orang lain. Pada akhirnya akan menuju kebaikan universal.
Bilamana dalam tahap negosiasi mendahulukan prinsip akal budi menuju kebaikan universal, dan bukan mendaku pada emosional belaka, niscaya seseorang terjaga perilakunya.
Oleh karena itulah bilamana dalam tahap negosiasi mendahulukan prinsip akal budi menuju kebaikan universal, dan bukan mendaku pada emosional belaka, niscaya seseorang terjaga perilakunya. Setidaknya masih ada filter sehingga terhindar OTT tersebut.
Nilai masyarakat
Hal lain yang layak dijadikan pegangan pejabat publik kita, agar hati-hati tak terperangkap kontraktualisme, adalah memegang tata nilai. Bahwasahnya di masyarakat ini terdapat banyak tata nilai, sehingga seseorang tidak bisa merasa yakin dengan nilainya sendiri atau nilai kelompoknya. Sebagai bagian dari masyarakat, sepatutnya mempertimbangkan nilai-nilai lain yang juga ada dan berkembang di masyarakat.
Dari sini akan kembali lagi kepada konstruktualisme. Diingatkan oleh John Locke saat menulis "Two Treatise of Government", sebenarnya para penguasa (pejabat) berutang kepada masyarakat yang dipimpinnya. Kekuasaan yang dimilikinya sebenarnya merupakan hak individual yang dialihkan kepadanya demi mendapatkan kekuatan dan perlindungan. Maka, sang penguasa sejatinya punya ikatan dengan masyarakatnya.
Ikatan itu juga membuat penguasa [seharusnya] menghormati tata nilai masyarakat tadi. Ia pun melepas pola negosiasi yang melenceng dari kebaikan universal. Ia pun sudah menerapkan tindakan bernilai. Bilamana banyak pejabat memilih tindakan bernilai maka OTT bukan cerita terus menerus, borgol KPK tetap menakutkan dan rompi oranye menjatuhkan martabat diri.
Toto TIS Suparto, Peneliti/Pengkaji di Institut Askara (Komunitas untuk Menggiatkan kembali Literasi Terkait Kajian Budaya dan Filsafat)