Mereka yang meneteskan air mata hanyalah para penyelenggara kelas ksatria konstitusi. Mereka menangis karena rakyat masih tersaruk-saruk di jalan terjal kemiskinan, sementara uang negara digaruk para koruptor predator.
Oleh
INDRA TRANGGONO
·4 menit baca
Saat bulan Desember mengharu biru, mungkin air mata kita pun berlinang. Ada momentum romantik yang menghardik hingga ribuan kenangan terungkit. Ada momentum kudus yang berembus hingga nilai-nilai spiritual dan religius terhunus dan bangkit.
Kesadaran berefleksi pun menggedor rongga dada: kita ini apa, kita ini siapa, kita ini bagaimana dan mau ke mana? Siapa dan apa yang kita bela?
Soal-soal personal, biarlah jadi urusan masing-masing orang, karena hal utama adalah sejauh mana peran sosial yang dijalani mampu memberi makna bagi masyarakat. Terutama mereka yang berposisi sebagai penyelenggara negara (eksekutif, legislatif, yudikatif), kalangan politik dan ekonomi serta kelompok kepentingan nasib bangsa.
Sejauh mana mereka telah berkontribusi mewujudkan negara berkeadilan dan berkesejahteraan? Apakah mereka telah berhasil mentransformasikan ide dan nilai konstitusi serta dasar negara menjadi ”daging” yang bisa dinikmati dan memberikan asupan gizi kesejahteraan bagi masyarakat?
Semakin banyak kata gagah yang diproduksi dan direproduksi, semakin hampa makna yang dikandungnya.
Manusia tekstual
Dari penyelenggara negara yang suka main retorika, muncul banyak klaim keberhasilan. Mereka pun ”berkoar” layaknya ”pendekar” konstitusi yang sukses melibas kemiskinan dan ketidakadilan. Padahal, dalam kenyataan, kemiskinan dan ketidakadilan tetap menyeringai, menunjukkan taring-taring tajamnya. Semakin banyak kata gagah yang diproduksi dan direproduksi, semakin hampa makna yang dikandungnya.
Para penyelenggara negara macam ini masuk di dalam kategori ”manusia tekstual” yang lebih suka berasyik-masyuk dengan fantasi dan kepuasan retorik. Mereka merasa yakin, kepercayaan rakyat bisa dipelihara dengan kata-kata gemerlap. Padahal, rakyat tertawa merespons kekonyolan mereka. Yang penting mengerek citra setinggi-tingginya.
Ada jenis penyelenggara negara yang lain, yaitu manusia ”nunut mukti” (menumpang kejayaan untuk menuai hasil). Mereka sangat dependen.
Prinsipnya selalu ”katut” (diikutkan dalam aktivitas). Bukan potensi yang membawa mereka jadi penyelenggara negara, tetapi ”nasib baik” atau dekat dengan kekuasaan. Memuja patron jadi ritus sehari-hari. Relasi feodalistik terjadi. Mereka tidak pernah gelisah melihat kondisi negara yang karut-marut.
Hal yang dianggap penting hanyalah keselamatan dirinya, sementara pemerintahan tetap jalan dengan seadanya. Mereka pun tetap tersenyum meskipun tak memberi kontribusi dan bahkan jadi beban negara.
Jangan lupa, ada juga lainnya, yakni penyelenggara berwatak dan bermental oportunistik. Peran sosial dan politik mereka pahami sebagai cara untuk mengeksploitasi negara demi kepentingan material dan nonmaterial. Negara dipahami sebagai gudang kekayaan yang selalu digerogoti. Berpikir dan bertindak manipulatif jadi langgam aktualisasi diri.
Jalan penebusan
Adapun jenis lainnya adalah penyelenggara berkelas ksatria konstitusi atau mereka yang memiliki integritas, komitmen, kapabilitas, dan dedikasi. Meskipun jumlahnya sangat kecil dan keberadaannya langka, mereka selalu mengatasi kepentingan pribadi dengan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara layaknya para negarawan.
Langkah luhur mulia ini ditempuh demi melakukan penebusan atas nilai-nilai ideal, di tengah kehidupan yang terpecah, fragmentaris, karut-marut, korup, dan dekaden. Profetisisme jadi orientasi nilai, di mana mereka melakukan dua hal sekaligus: membebaskan rakyat dari kemiskinan dan keterbelakangan serta meninggikan eksistensinya dengan penguatan martabat. Obsesi dan tindakan mereka hanyalah merayakan keadilan demi kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat.
Di dalam berjuang, tak ada kamus penderitaan bagi para ksatria konstitusi, karena jalan penebusan dilakukan dengan penuh keyakinan dan kebahagiaan. Pilihan memperjuangkan kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan, keragaman budaya, agama dan sistem keyakinan sudah paripurna. Tanpa tawar-menawar. Tak tersentuh oleh tangan-tangan hitam kuasa politik dan uang. Adagium ”memimpin adalah menderita” tidak berlaku bagi mereka.
Para ksatria konstitusi berpotensi mengalami transformasi nilai menjadi legenda bangsa, dengan warisan nilai-nilai ideal yang selalu bergema.
Pesta para pencuri
Harus diakui, kini semakin langka kehadiran sosok-sosok legendaris bangsa, karena banyak penyelenggara negara, teknokrat, birokrat, dan tokoh-tokoh parpol terserimpung dan tumbang dijegal kepentingan pragmatis-material dan nonmaterial. Ongkos moral itu mereka bayar demi bisa bertahan, sukses, dan kaya raya.
Ini menunjukkan ada degradasi karakter, di mana obsesi menjadi negarawan dan pewaris nilai-nilai semakin surut dan pudar.
Banyak tokoh yang tidak berani mengulur impian hingga jauh untuk menjadi ksatria konstitusi. Mereka sudah merasa cukup dan puas menjadi aktor-aktor (wayang/boneka) kekuasaan yang hadir dalam satu gemerlap cahaya atau sak gebyaran. Ketika lampu blencong dimatikan dan layar digulung, selesailah kiprahnya. Masuk kotak dan digembok sejarah.
Pada bulan Desember, ketika hujan turun memberi kesejukan hati, tak ada air mata menetes dari penyelenggara negara berjenis ”manusia tekstual”, ”manusia nunut mukti”, dan ”manusia oportunistik”.
Mereka yang meneteskan air mata hanyalah para penyelenggara kelas ksatria konstitusi. Mereka menangis karena rakyat masih tersaruk-saruk di jalan terjal kemiskinan, sementara uang negara yang digaruk para koruptor predator berjumlah ratusan bahkan ribuan triliun rupiah.
Lebih menyedihkan lagi, niat memberantas korupsi dari pemerintah dan penyelenggara negara tak lebih dari ledakan petasan ”cabe rawit”. Para koruptor di lingkaran hitam birokrasi, politik, ekonomi, dan hukum pun tertawa geli sambil melanjutkan pesta.