Gantian ”Dong” Korupsinya
Revolusi memberantas korupsi bisa diawali dari parpol yang menjadi penopang utama lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Parpol harus kembali pada posisinya sebagai lembaga sosial-kultural-politik berbasis etika.
Terjadilah dialog dua pentolan parpol. Yang satu pro-kekuasaan, sebut saja namanya Dulang, dan yang lain Rebut, sang oposan.
”Ke depan kami akan berjanji untuk lebih memperjuangkan nasib rakyat, ” ujar Dulang.
”Eh, jangan lama-lama berkuasa. Gantian dong korupsinya,” jawab Rebut sambil tertawa. ”Kami capek jadi oposan.”
Itu sekadar anekdot tentang betapa permisifnya orang terhadap korupsi. Permisif (serba boleh), istilah yang sudah muncul pada 1990-an, antara lain dikenalkan sejarawan dan budayawan UGM, Dr Kuntowijoyo.
Kondisi permisif menandai cairnya nilai-nilai, etika, dan moral, serta melemahnya karakter, sehingga setiap orang merasa tidak punya beban (rasa malu, bersalah, dan berdosa) untuk berbuat menyimpang. Kejatidirian lenyap digerus nafsu memiliki dan menguasai.
Dalam konteks bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, perilaku permisif mampu mengubah etos kerja aktor-aktor politik dan penyelenggara negara. Mengurus negara yang semula menjadi tugas suci dan ideologis berubah menjadi rutinitas, rileks, serta apa adanya (kurang produktif).
Komitmen, integritas, kapabilitas, dan dedikasi cenderung melemah. Sementara kepentingan mengeruk keuntungan cenderung menguat. Mental pedagang lebih ditonjolkan daripada mental negarawan.
Perilaku permisif kian berkembang seiring menguatnya liberalisme.
Negara tak lagi dipahami sebagai institusi yang bernilai, ”sakral” dan penuh amanat rakyak, tetapi layaknya perusahaan yang bisa dieksploitasi demi keuntungan pribadi dan gerombolannya.
Dalam urusan kelembagaan negara, menteri nyambi bisnis dianggap wajar. Kebenaran digantikan pembenaran. Selalu ada retorika untuk menandingi opini-opini kritis atas penyimpangan.
Perilaku permisif kian berkembang seiring menguatnya liberalisme. Dalam liberalisme, setiap orang merasa jadi pusat kebebasan dan kebenaran sehingga merasa sah melakukan tindakan apa saja asal menyenangkan dan menguntungkan dirinya. Tak peduli itu merugikan masyarakat. Pertimbangan etik dan moral bisa dikesampingkan atau direlativisasi demi meraih kepentingan personal dan kelompok.
Kondisi buruk ini turunan langsung dari praktik oligarki tanpa kendali. Di dalam oligarki kontrol cenderung lemah.
Skeptis dan hipokrit
Anekdot selalu muncul di masyarakat yang skeptis. Anekdot merupakan kepingan cerita lucu yang menggambarkan kondisi masyarakat atau fenomena sosial politik. Tujuan utama anekdot adalah menyampaikan kritik sosial, selain menghibur.
Anekdot juga menjadi penanda atas masyarakat yang tertekan dan tak bahagia. Dalam negara represif dan korup biasanya anekdot tumbuh subur. Anekdot jadi katup pelepas (outlet) publik yang tak mampu melawan kekuasaan yang menyimpang.
Ada anekdot sekadar guyon. Ada juga anekdot serius (anekdot hitam), yang muncul dari keprihatinan kolektif. Anekdot hitam seputar korupsi lahir dari keperihan hati publik. Publik skeptis atas berbagai upaya pemberantasan korupsi.
Korupsi hanya dilakukan aktor-aktor kekuasaan. Mereka berada di dalam sistem, mengelola kekuasaan, dan punya ilmu penyolongan canggih. Mereka sangat piawai memanipulasi data, fakta sosial/psikologis, dan nilai. Mereka juga mampu jadi ”tukang sulap” profesional: mengubah anggaran besar jadi kecil.
Orang bijak menjalani wisdom ”adil sejak dalam pikiran” (istilah sastrawan Pramudya Ananta Toer). Namun, koruptor menjalani pedoman ”culas (tidak lurus hati) sejak dalam gagasan”. Niat korupsi jadi kesadaran utama dalam menjalankan kekuasaan.
Publik skeptis atas berbagai upaya pemberantasan korupsi.
Untuk itu, para koruptor melakukan persekongkolan demi menguasai sistem, jaringan dari hulu sampai hilir, mencengkeram hukum, dan menundukkan para penegak hukum.
Karena merasa digdaya, koruptor tak takut pada apa dan siapa pun. Bahkan jika para malaikat berkenan memimpin negeri ini pun, para koruptor tetap menjarah kekayaan negara. Koruptor dari kluster sekuler dan agama sama-sama militan dalam korupsi. Mereka juga sama-sama hipokrit.
Hipokrisi merupakan salah satu pendorong korupsi, terutama bagi kalangan terdidik/tercerahkan dan berkuasa. Hal ini pernah terjadi pada seorang menteri yang suka berkhotbah tentang pentingnya moralitas dalam menghadapi korupsi, tapi ia terlibat korupsi bantuan sosial untuk korban Covid-19.
Sementara pejabat lain yang berpenampilan alim dan saleh melakukan korupsi atas dana untuk pembiayaan pencetakan kitab suci. Setan pun pasti marah. Kebangeten!
Baca juga : Korupsi Berulang, ”Cobaan” Jelang Ulang Tahun Partai Golkar
Hipokrisi maunya serba untung, baik nilai (citra baik) maupun materi. Orang hipokrit ibarat penyunggi koper berisi narasi nilai-nilai ideal, tapi tubuhnya berkubang dalam kolam kotor.
Narasi kesucian dijadikan kedok untuk menutupi lumpur kotor yang berlepotan di badan demi meraup kepercayaan (trust) publik. Ketika hipokrisi terbongkar, habislah kepercayaan itu. Maka, orang-orang hipokrit selalu pasang kuda-kuda: berupaya menekuk hukum agar jinak dan tidak mencakar dirinya.
Partai politik
Masyarakat sudah sambat dihajar krisis ekonomi, dengan harga-harga kebutuhan pokok semakin sulit dijangkau, sementara mencari penghasilan sangat sulit. Selain itu, masyarakat pun sudah capek, lelah, dan putus asa menghadapi korupsi yang terus marak. Sebagai warga negara, mereka sedih dalam kesunyian di tengah keriuhan narasi-narasi retorik pemberantasan korupsi.
Parpol harus kembali pada posisinya sebagai lembaga sosial-kultural-politik yang berbasis pada ideologi dan etika serta kesadaran berbangsa.
Masyarakat bertanya, benarkah di negeri ini sudah tidak ada lagi penyelenggara (kesatria konstitusi) yang punya kesadaran bahwa memimpin itu membahagiakan rakyat?
Partai politik, sebagai institusi yang melahirkan banyak pemimpin, mestinya tergelitik dengan pertanyaan itu. Mampukah parpol melahirkan calon-calon pemimpin yang berintegritas, bukan hanya populer dan kaya?
Revolusi memberantas korupsi bisa diawali dari parpol yang menjadi penopang utama lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Parpol harus kembali pada posisinya sebagai lembaga sosial-kultural-politik yang berbasis pada ideologi dan etika serta kesadaran berbangsa.
Tidak sekadar mencari kekuasaan. Jika hal itu mampu dilakukan, parpol bisa melahirkan para pemimpin yang relatif bersih dan tahan godaan korupsi. Parpol sejati itulah yang dicintai rakyat. Berkuasa atas dukungan rakyat dan membahagiakan rakyat, bukan mencari kesempatan untuk korupsi. Dengan demikian, tidak ada lagi anekdot: gantian dong korupsinya.
Indra Tranggono, Praktisi Budaya dan Esais