Korupsi Berulang, ”Cobaan” Jelang Ulang Tahun Partai Golkar
Dalam satu bulan, setidaknya empat kader Partai Golkar ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi oleh Kejaksaan dan KPK. Keterlibatan kader dalam kasus korupsi diyakini dapat menggerus elektabilitas partai.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO / IQBAL BASYARI
·7 menit baca
Jelang perayaan hari ulang tahun ke-57 Partai Golkar, empat kadernya berturut-turut menjadi tersangka kasus korupsi. Mereka tak hanya duduk di pucuk pimpinan daerah, tetapi juga lembaga legislatif pusat. Jika rentetan kasus korupsi ini berlanjut, suara ”Partai Beringin” diperkirakan akan terus tergerus pada Pemilihan Umum 2024.
Medio September lalu, anggota DPR dari Fraksi Golkar yang juga bekas Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin ditetapkan sebagai tersangka untuk dua kasus dugaan korupsi yang berbeda. Pertama, tersangka untuk perkara dugaan korupsi pembelian gas bumi oleh Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumsel tahun 2010-2019 yang ditangani Kejaksaan Agung. Kedua, tersangka perkara dugaan korupsi pemberian dana hibah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumsel kepada Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Palembang yang ditangani Kejaksaaan Tinggi Sumsel.
Pada akhir bulan yang sama, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golkar Azis Syamsuddin juga tersandung korupsi. Tak tanggung-tanggung, ia disangka terlibat dalam dua kasus dugaan suap penanganan perkara di lembaga antirasuah. Pertama, penanganan perkara korupsi dana alokasi khusus di Lampung Tengah, Provinsi Lampung. Kedua, perkara jual-beli jabatan di Pemerintah Kota Tanjungbalai yang juga melibatkan Wali Kota M Syahrial. Kini, Syahrial yang juga merupakan kader Golkar sudah dijatuhi vonis dua tahun penjara.
Aziz bukanlah yang terakhir. Pada 15 Oktober, KPK kembali menangkap kader Golkar. Bupati Musi Banyuasin (Muba) Dodi Reza Alex Noerdin, yang merupakan anak dari Alex Noerdin, ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa infrastruktur di Kabupaten Muba. Dodi juga adalah Ketua DPD I Partai Golkar Sumsel.
Belum genap sepekan, pada 19 Oktober, Bupati Kuantan Singingi yang juga merupakan Ketua DPD II Partai Golkar Kuansing, Andi Putra, ditetapkan tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap perizinan hak guna usaha (HGU) sawit di Kabupaten Kuantan Singingi. Penangkapan empat kader ”Partai Beringin” itu terjadi menjelang perayaan hari ulang tahun (HUT) ke-57 Golkar yang jatuh pada Rabu (20/11/2021) kemarin.
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), M Nurhasim, menegaskan, korupsi selalu berkaitan dengan jabatan strategis. Siapa pun yang memiliki kedudukan strategis dalam pemerintahan, maka derajat melakukan korupsinya lebih besar.
Apalagi, lanjut Nurhasim, ada kecenderungan ketua umum harus menanggung semua biaya operasional partai. Dengan tanggungan itu, mereka dituntut untuk mencari sumber pendapatan lain guna membiayai partai. Salah satu jalan yang biasanya ditempuh adalah dengan meminta kader menyetorkan sejumlah uang kepada partai. Sementara untuk mendapatkan uang, sebagian politisi terpaksa memilih jalan korupsi.
”Kalau mau kongres, ketua partai yang kalang kabut nyari duit. Akibatnya, muncul harus setoran, pengelolaan yang tak transparan Saya kira ini situasi politik yang menakutkan dan tidak sehat,” ujar Nurhasim.
Korelasi antara uang hasil korupsi dan pembiayaan kepentingan partai ini terbukti salah satunya dalam kasus yang menjerat bekas Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham. Ia terbukti berperan atas pemberian uang yang digunakan untuk kepentingan Musyawarah Nasional Luar Biasa Golkar.
Penurunan elektoral
Sejumlah kasus korupsi yang menimpa Golkar belakangan ini tentu perlu menjadi peringatan. Sebab, jika melihat dari pemilu ke pemilu, elektabilitas partai tersebut terus menurun. Pada Pemilu Legislatif (Pileg) 1999, misalnya, Golkar mampu meraih 23,7 juta suara dengan perolehan kursi di DPR sebanyak 120. Sedangkan pada Pemilu 2019, suara Golkar anjlok dan hanya mendapat 17,2 juta suara dengan perolehan 85 kursi.
Nurhasim menilai, setidaknya ada empat faktor yang membuat suara Golkar terus tergerus. Pertama, demoralisasi politik di mana partai ”beringin” itu dianggap memiliki dosa politik karena membiarkan kekuasaan model Orde Baru berkuasa hampir 32 tahun.
Kedua, pola penyebaran oligarki yang ada di Golkar berpindah ke tempat lain sehingga basis elektoral partai tergerus. Misal, Prabowo Subianto, Surya Paloh, dan Wiranto. Partai-partai yang dibentuk oleh masing-masing sosok tersebut saat ini memiliki suara yang cukup besar. Akibatnya, yang digerogoti adalah elektoral induknya, yakni Golkar.
Ketiga, penurunan suara Golkar tak pelak diakibatkan sejumlah kadernya yang terjerat kasus korupsi. Keempat, Golkar telah kehilangan pamor elektabilitas tokoh setelah Jusuf Kalla tak lagi menjabat sebagai wakil presiden. Sosok Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto yang saat ini digadang-gadang menjadi calon presiden pada Pemilu 2024 pun elektabilitasnya masih relatif rendah.
”Artinya, ada krisis ketokohan yang cukup besar yang bisa memimpin dan memberikan ekspektasi yang luar biasa. Seharusnya Golkar sebagai partai lama memunculkan tokoh-tokoh alternatif, tetapi itu tidak terjadi,” tutur Nurhasim.
Tidak cukup penghasilan seorang kepala daerah selama lima tahun untuk menggantikan biaya-biaya yang dikeluarkan. Kalau itu berasal dari sponsor, ya, nanti imbalannya bagi-bagi proyek sejak perencanaan di dalam proses perencanaan APBD.
Jika partai tidak memperhatikan faktor-faktor tersebut, menurut Nurhasim, sulit bagi Golkar meraih suara tinggi dalam Pemilu 2024. ”Jika tak terus berbenah, suara Golkar akan terus tergerus,” katanya.
Pendanaan parpol
Dalam kesempatan terpisah, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyampaikan, untuk mengatasi persoalan korupsi politik, perlu dipikirkan alokasi dana yang cukup dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APNB) untuk parpol. Tujuannya supaya parpol dapat dikelola dengan profesional dan memiliki sistem kaderisasinya yang juga sehat.
KPK juga berharap pengawas pemerintah dapat mengevaluasi bantuan partai sehingga praktik korupsi politik bisa dicegah. Pengawasan ini termasuk mekanisme pengelolaan atau manajemen di dalam partai politik tersebut.
Sayangnya, sejauh ini, pendanaan parpol dinilai masih sangat minim, sementara ongkos politik relatif tinggi. Alhasil, ketika parpol mencalonkan kadernya atau orang lain untuk maju dalam kontestasi pemilu, mereka tetap mengeluarkan biaya sendiri.
Dari riset Kementerian Dalam Negeri, setidaknya calon kepala daerah setingkat bupati atau wali kota mengeluarkan uang hingga Rp 30 miliar untuk kampanye. Jika ingin menang, bahkan, mereka harus menyiapkan Rp 60 miliar-Rp 75 miliar. Di beberapa daerah, ada calon kepala daerah yang mengeluarkan dana hingga di atas Rp 100 miliar.
”Tidak cukup penghasilan seorang kepala daerah selama lima tahun untuk menggantikan biaya-biaya yang dikeluarkan. Kalau itu berasal dari sponsor, ya, nanti imbalannya bagi-bagi proyek sejak perencanaan di dalam proses perencaaan APBD,” ucap Alexander.
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menambahkan, setidaknya ada enam sistem yang perlu dibenahi agar praktik korupsi tak berkepanjangan, mulai dari sistem pilkada, remunerasi bagi kepala daerah, pendanaan partai, sistem penganggaran, sistem pengadaan, sistem pembayaran, hingga sistem kerohanian.
Namun, yang paling memungkinkan untuk diwujudkan lebih awal adalah penguatan pengawasan. Menurut dia, peran aparatur pengawas internal pemerintah penting ditingkatkan. ”Pengawas yang kuat dan ditakuti karena punya kuasa untuk bikin kepala daerah dipecat,” ujarnya.
Ia membeberkan ada empat problem aparat pengawas internal pemerintah (APIP), yakni independensi, anggaran, jumlah tenaga, serta kompetensi. Dari keempat problem itu, yang paling urgen adalah persoalan independensi.
Berkaitan dengan independensi ini, artinya, APIP diberhentikan dan diangkat bukan hanya oleh kepala daerah, melainkan harus ada persetujuan dulu dari di atasnya, misalnya inspektorat kabupaten dan disetujui oleh gubernur.
Kedua, posisi APIP harus sejajar dengan sekretaris daerah. Sekarang ini posisi APIP berada di bawah sekda. Alhasil, mereka ketakutan jika harus memeriksa kepala dinas, apalagi kepala daerah.
Ketiga, hasil pemeriksaan APIP bukan hanya ke kepala daerah, tetapi harus diberikan ke satu tingkat di atasnya. Misalnya, jika APIP memeriksa bupati, hasilnya diserahkan ke gubernur. Jika APIP memeriksa gubernur, hasilnya diserahkan ke Mendagri. Sementara jika APIP memeriksa menteri, hasilnya disampaikan kepada wakil presiden.
”Hal yang terpenting adalah tindak lanjutnya. Kalau memeriksa dan ada temuan, pecat langsung atau nonjob langsung, kan bagus tuh. Jadi, berwibawa, ya. Dari Kemendagri juga, semua laporan APIP itu bisa dipantau prosesnya. Apalagi, di daerah yang ada dinasti politik, mesti ada perhatian khusus dari Kemendagri supaya tindak lanjut jelas, kejam, dan cepat. Jadi, daerah lain takut,” tutur Pahala.
Urusan pribadi
Sementara itu, saat ditemui di sela-sela peringatan HUT ke-57 Golkar, Wakil Ketua Umum Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, untuk menjadi partai yang besar, cobaan itu selalu datang, termasuk kader yang terjerat kasus korupsi. Itu dianggap Doli sebagai sesuatu hal yang membuat partai semakin termotivasi untuk bekerja keras serta tidak terjebak lagi dalam masalah hukum.
”Bahwa kemudian ada di antara kami yang mungkin khilaf atau terjebak dengan hal-hal yang tidak menguntungkan bagi partai golkar, saya kira itu adalah masalah-masalah pribadi para kader, itu bukan kebijakan partai golkar,” kata Doli.
Selama ini, lanjut Doli, partai selalu berupaya menciptakan pemerintahan yang bersih. Partai juga kerap melakukan bimbingan teknis, pendidikan politik, bahkan bekerja sama dengan KPK dan Badan Pemeriksa Keuangan. Itu menjadi salah satu upaya partai agar kader-kader melakukan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.
”Bahwa kemudian masih ada satu, dua kader yang terlibat korupsi, kami prihatin, tetapi itu adalah kasus pribadi, tidak ada kaitannya dengan kebijakan Partai Golkar,” ujar Doli.