Otonomi pendidikan sangat melemahkan. Terjadi tumpang-tindih data, perbedaan tafsir atas tujuan pendidikan oleh daerah. Presiden Jokowi pada akhir 2019 pernah melontarkan wacana untuk menarik pengelolaan guru ke pusat.
Oleh
RIDUAN SITUMORANG
·4 menit baca
Desentralisasi disebut-sebut membuat pembangunan lebih menyebar. Namun, dalam konteks pendidikan, kita meragukan bahwa desentralisasi mampu menyebarkan dan memeratakan kualitas pendidikan. Paling mutakhir, menurut Asesmen Nasional 2022, rerata pencapaian terbaik sebuah kabupaten/kota di luar Pulau Jawa menjadi setara dengan pencapaian terburuk sebuah kabupaten/kota di Pulau Jawa.
Kenyataan tersebut membuktikan bahwa Pulau Jawa masih lebih baik mengelola pendidikan. Karena itu, saya menanti-nanti realisasi ucapan Presiden Jokowi pada akhir 2019: menarik pengelolaan guru ke pusat.
Sayangnya, sampai akan berakhir masa jabatan Presiden, ucapan itu belum menemui tanda-tanda akan direalisasikan. Padahal, kita berharap, upaya ini menjadi salah satu dalam rangkaian semangat Jokowi pada periode kedua, yaitu fokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Saya tidak mengetahui mengapa Presiden Jokowi belum merealisasikan ucapan tersebut. Namun, sebagai guru, saya akan mengutarakan hal-hal berikut tentang mengapa tata kelola pendidikan secara umum harus ditarik ke pusat.
Pertama, komitmen pembiayaan daerah terhadap pendidikan belum sesuai dengan semangat undang-undang untuk alokasi anggaran. Setidaknya, dalam pantauan Ombudsman, hingga 2019 masih banyak daerah belum menerapkan 20 persen APBD untuk pendidikan. Dampaknya, banyak daerah kekurangan guru karena minimnya dana untuk menggaji honorer sesuai kebutuhan.
Jika saja manajemen pembiayaan pendidikan terpusat, sedikit mungkin hal ini akan teratasi. Tidak akan ada lagi ketimpangan yang tajam terkait kebutuhan guru. Sebagaimana diketahui, tata kelola guru kita sangat buruk. Berlebihan di perkotaan, kekurangan di perdesaan. Dampaknya, guru pengampu tak sesuai dengan kualifikasi.
Raja-raja kecil
Kedua, guru cenderung tak mandiri, apalagi merdeka. Bukan rahasia lagi bahwa guru sering jadi obyek tarik ulur tegangan politik di daerah. Hal ini sesungguhnya jauh-jauh hari sudah dikhawatirkan.
Wartawan Kompas, Ester Lince Napitupulu, melalui "Guru Belum Merdeka" (Kompas, 2 Mei 2014), menyampaikan, otonomi daerah yang menciptakan raja-raja kecil membuat guru harus takluk. Akibatnya, guru tak bisa lepas dari dinamika politik di tingkat kabupaten atau kota. Rasanya, bukan sekali dua kali kita mendengar guru dimutasi ke tempat terjauh. Setingkat di atasnya, kepala sekolah sering sekali dipindahkan tanpa alasan yang jelas.
Sekali lagi, raja-raja kecil di daerah ini menjadi ancaman bagi kemerdekaan guru. Apalagi, proses politik daerah sering berkorelasi positif dengan pemecatan dan penerimaan guru. Setiap ada pilkada, misalnya, maka ada pula penambahan penerimaan guru di daerah. Tentu, semua hal ini terjadi semata karena kepentingan politik.
Padahal, kita tahu, kepentingan politik yang secara konstan akan menarik sistem pendidikan menjauh dari tujuan mulia pendidikan itu sendiri (Bank Dunia, 2017). Mungkin, kita bisa membacanya dari wibawa guru saat ini yang nyaris sudah tak punya kehormatan di masyarakat.
Raja-raja kecil di daerah ini menjadi ancaman bagi kemerdekaan guru. Apalagi, proses politik daerah sering berkorelasi positif dengan pemecatan dan penerimaan guru.
Hal ini berbeda di masa sentralisasi guru. Suatu ketika, R Murray Thomas melakukan penelitian pendidikan dari perspektif sosio-antropologis, hasil penelitiannya bejudul ”The Prestige of Teachers in Indonesia” (1962). Kesimpulannya: guru Indonesia pada saat itu merupakan role model, panutan, istimewa, serta memiliki pengaruh besar di masyarakat.
Sebaliknya, di masa desentralisasi tata kelola guru, profesi ini terkadang justru menjadi hina. Guru bukan lagi digugu dan ditiru. Kemerdekaan mereka tergadai. Dalam pada inilah, untuk mandiri dan merdeka, resentralisasi guru ke pusat perlu, bahkan mendesak untuk dilakukan.
Ketiga, resentralisasi juga perlu dilakukan untuk memperjelas dan mempertegas tanggung jawab pendidikan. Sebabnya, sejauh ini, tanggung jawab pendidikan sangat kabur. PAUD hingga SMP di bawah naungan pemerintah kabupaten, SMA/SMK di bawah pemerintah provinsi, dan perguruan tinggi oleh pemerintah pusat.
Terpisahnya penangung jawab ini membuat kita tidak tahu pasti menuntut siapa. Akibatnya, pola pendidikan menjadi terpenggal-penggal. Pemkab, misalnya, kurang peduli ke mana lulusan SMP akan terserap. Maka, banyak di daerah jumlah SMP banyak, tetapi jumlah SMA sebagai penampung lulusan sangat terbatas.
Sangat melemahkan
Artinya, ada miss kecil antara pemkab ke pemprov dan ke pusat. Jadi, sebaiknya pengelola dibuat terpusat saja. Dengan demikian, manajemen data pokok pendidikan bisa lebih solid. Selama ini, jika terjadi miss data, guru sering kali dibuat menunggu tidak jelas oleh dinas pendidikan. Dalihnya, manajemen kontrol ada pada pusat.
Dalam hal ini, jika manajemen kontrol ada pada pusat, mengapa tak sekaligus dibuat resentralisasi? Kita tentu dibuat bingung dengan keadaan ini. Betapa tidak? Pada satu sisi, data pokok pendidikan kita tersentralisasi. Di sisi lain, terjadi desentralisasi. Lahirlah sentralisasi dan desentralisasi yang serba tanggung.
Keempat, keadilan bagi segenap penanggung jawab pendidikan. Disebut demikian karena tenaga pendidik di seluruh Indonesia berbeda pendapatannya. Belum lagi kalau dilihat antara tenaga pendidik di bawah naungan Kementerian Agama dan Kemendikbudristek.
Di Sumatera Utara, misalnya, tata usaha mendapatkan tunjangan kinerja yang melimpah dibandingkan tata usaha di bawah naungan pemerintah kabupaten. Disadari atau tidak, hal itu membuat kecemburuan sesama mereka. Tentu saja ini tidak akan terjadi jika resentralisasi pendidikan dilakukan. Jika pun ada perbedaan, barangkali hanya menyangkut daerah tertinggal, terluar, dan terdepan.
Pada akhirnya, saya menilai, otonomi pendidikan sangat melemahkan. Terjadi tumpang tindih data. Terjadi perbedaan tafsir atas tujuan pendidikan oleh daerah. Akhirnya, tujuan pendidikan nasional menjadi kabur lantaran kepala daerah berganti-ganti dan sering pula mengganti pejabat pendidikan. Hal yang lebih miris, karena otonomi ini, kesenjangan pendidikan kita makin jomplang.
Padahal, dalam laporannya bertajuk ”Excellence dan Equity in Educatuion”, PISA dengan tegas mengatakan bahwa yang diperjuangkan adalah kemerataan, bukan keunggulan (2016). Tentu, kemerataan hanya akan efektif melalui resentralisasi. Selamat hari pendidikan.