Seperti perantau yang mudik (pulang kampung), politik kita tampaknya juga perlu mudik ke kampung halamannya yang bernama ”kampung reformasi”. Ini untuk mengingat kembali tentang apa yang telah kita tulis dan janjikan.
Oleh
AHMAD FARISI
·3 menit baca
Mudik bukan hanya tentang pulang. Akan tetapi, juga tentang bagaimana kita mengingat kembali: siapa dan untuk apa kita? Dari mana, ke mana, dan sudah sampai di mana kita? Singkat kata, mudik adalah momentum bagi kita semua untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap apa yang telah kita lakukan dalam perjalanan panjang kita.
Jika pemaknaan seperti itu dapat kita terima, menurut penulis, dengan mencermati berbagai peristiwa sosial-kebangsaan mutakhir, tampaknya bukan kita saja yang perlu mudik, melainkan praktik politik kita pun tampaknya juga butuh mudik; pulang ke kampung reformasi, mengevaluasi diri dan merenungi perjalanan panjangnya selama dua dekade lebih.
Sebab, meski dilahirkan dan dibesarkan di kampung reformasi, praktik politik kita kini tampak kehilangan arah serta tampak lupa terhadap segala tujuan yang telah diyakini, ditulis, dan ditetapkan. Sebagai anak reformasi, praktik politik kita kini tampak tak memiliki ikatan geneologis dengan reformasi itu sendiri: destruktif dan juga ahistoris.
Korupsi merajalela. Seperti jamur di musim hujan, korupsi tumbuh secara subur. Bahkan, beberapa di antara mereka ”tega” melakukan korupsi hanya untuk memuaskan ”hasrat politik” mereka di kontestasi politik 2024. Padahal, salah dua agenda reformasi adalah memberantas KKN dan mewujudkan pemilu yang jujur dan adil (jurdil).
Setali dengan hal itu, akhir-akhir ini kita juga menyaksikan bahwa konstitusi dianggap mainan: aturannya tak ditaati, dan bahkan ditafsirkan secara melenceng guna memuluskan kepentingan politik sesaat. Segendang-sepenarian, proses legislasi juga dibuat secara serampangan, mengabaikan aspirasi publik. Hukum dibuat semata untuk melayani kepentingan segelintir elite. Bukan untuk mewujudkan kehidupan sosial-politik yang tertib dan berkeadilan.
Akhir-akhir ini kita juga menyaksikan bahwa konstitusi dianggap mainan: aturannya tak ditaati, dan bahkan ditafsirkan secara melenceng guna memuluskan kepentingan politik sesaat.
Sementara itu, sejumlah lembaga negara juga mulai dipreteli, dilucuti, dibuat tak berdaya. Dalam hal ini, kita bisa menyebut KPK dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah dua contohnya. Independensi dan kemerdekaannya dirampas, semuanya diatur oleh kehendak politik elite. Hakim MK, yang menurut perhitungan teoretis-filosofis dan yuridis terlarang diberhentikan di tengah jalan, ”pemberhentian asal-asalan” tetap saja dilakukan tak peduli melanggar aturan.
Hal yang lebih ironis lagi, baru-baru ini kita juga menyaksikan seorang anggota DPR mengaku tidak berani membuat/mengesahkan sebuah undang-undang tanpa persetujuan ketua umum atau lebih tepatnya ”bos” partai. Padahal, konon, mereka adalah wakil rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat. Namun, nyatanya, tak lebih dari sekadar wakil partai yang memproduksi kebijakan sesuai orderan elite, bukan atas dasar kebutuhan obyektif.
Parade politik yang telah dipertontonkan dari waktu ke waktu itu jika dibaca secara cermat, semua itu menunjukkan bahwa praktik politik kita telah melangkah terlampau jauh dari cita-cita reformasi. Praktik politik kita sekarang ini boleh dikatakan telah melenceng dan tersesat. Karena itu, tak salah bila kita mengatakan bahwa kita telah ”mengkhianati reformasi”.
Sebab, alih-alih melakukan demokratisasi dan pemberantasan KKN secara konsisten dan serius sebagaimana telah ditegaskan dalam sejarah, justru yang kita lakukan selama ini tak lebih dari sekadar ”bermain-main” dengan narasi palsu. Sementara dalam faktanya tak ada satu pun agenda reformasi yang kita tuntaskan. Demokratisasi, pemberantasan KKN, penataan kelembagaan, dan beberapa agenda penting lainnya berceceran-tak terealisasikan.
Fenomena ini benar-benar mirip dengan para perantau yang lupa kampung halaman. Tersesat, tetapi tidak merasa tersesat. Sebaliknya, meski tersesat, merasa tetap berada di jalan yang benar. Pencapaian-pencapaian artifisial-prosedural dianggap barang mewah, mengalahkan hal-hal filosofis-substansial yang seharusnya diutamakan.
Dalam peringatan 24 tahun reformasi pada 2022, (almarhum) Azurmadi Azra mengatakan bahwa Indonesia butuh reformasi jilid II. Sebab, dalam pandangan sang guru bangsa itu, selama lebih dari dua dekade reformasi Indonesia bergulir, tak ada banyak perubahan yang biasa kita sumbangkan untuk mewujudkan ”Indonesia baru” yang bersih, adil, dan berkeadilan. Sebaliknya, kemunduran dan wajah ”otoritarianisme baru” yang kita sumbangkan.
Karena itu, menuju 25 tahun reformasi pada Mei 2023, seperti perantau, sudah waktunya politik kita mudik ke kampung halamannya, kampung reformasi. Rasanya, dan tampaknya, ada banyak hal yang perlu kita ingat kembali di sana, tentang apa yang telah kita tulis dan kita janjikan di kampung reformasi yang melahirkan kita, 24 tahun lalu. Sebelum akhirnya meneruskan langkah, yang harus kita akui, penuh dengan noda.