Setelah 119 tahun kematian Kartini pasca-melahirkan dan 78 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, persoalan angka kematian ibu melahirkan di Indonesia tak kunjung teratasi. Semoga ini diatur dan dijamin di RUU Kesehatan.
Oleh
DIAN KARTIKA SARI
·5 menit baca
Sejak 21 April 1965 Indonesia memperingati Hari Kartini. Peringatan ini didasarkan kepada Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 1964, yang ditandatangani pada 2 Mei 1964. Melalui keppres ini, Kartini dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional karena jasanya dalam mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan serta keinginannya memajukan pola pikir dan kesetaraan dalam pendidikan bagi kaum perempuan, yang kemudian dikenal dengan emansipasi wanita. Kekuatan berpikir Kartini di berbagai aspek kehidupan yang dituangkan dalam bentuk tulisan, membuat gagasan, dan perjuangannya dikenal luas dan relevan sepanjang zaman.
Namun, perjuangan Kartini terhenti di usia 25 tahun karena meninggal. Tepatnya pada 17 September 1904 di Rembang, empat hari setelah melahirkan putra pertamanya, Kartini meninggal karena preeklamsia. Buruknya derajat kesehatan perempuan dan remaja perempuan pada tahun itu (1904) serta terbatasnya kualitas dan kuantitas layanan kesehatan, tak heran jika persoalan angka kematian ibu melahirkan (AKI) sangat tinggi. Apalagi, masa itu adalah masa penjajahan, di mana diskriminasi layanan kesehatan masih terjadi. Ditambah lagi rendahnya pengetahuan perempuan tentang kesehatan reproduksi.
Namun, setelah 119 tahun kematian Kartini dan 78 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, persoalan AKI di Indonesia tak kunjung teratasi.
Data paling akhir tentang AKI dari Badan Pusat Statistik (BPS) adalah Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) tahun 2015. Idealnya, Supas dilakukan setiap lima tahun. Namun entah mengapa, Supas 2020 tidak memuat data tentang AKI. Padahal pendataan termutahir dibutuhkan untuk mengetahui apakah target penurunan AKI dapat dicapai, sesuai yang dicanangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024, yaitu menurun menjadi 183 per 100.000 kelahiran hidup.
Supas 2015 (BPS) menunjukkan bahwa AKI Indonesia berada di angka 305 per 100.000 kelahiran hidup atau sebanyak 14.640 ibu meninggal saat melahirkan atau pada masa nifas. Angka ini tentu masih sangat jauh untuk mencapai target RPJMN. Dilihat dari tempat kematian ibu, sebesar 77 persen kematian terjadi di rumah sakit, 15 persen kematian ibu terjadi di rumah, sebesar 4,1 persen kematian ibu terjadi dalam perjalanan menuju rumah sakit atau fasilitas kesehatan (faskes), sebesar 2,5 persen kematian terjadi di faskes lain.
Data paling akhir tentang AKI dari Badan Pusat Statistik (BPS) adalah Survei Penduduk Antar Sensus tahun 2015. Idealnya, Supas dilakukan setiap lima tahun.
Tidak ada penelitian mendalam tentang fenomena ini, mengapa AKI tertinggi justru terjadi di layanan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, ataupun klinik. Yang ada hanyalah asumsi bahwa AKI terjadi karena 4 terlalu (terlalu muda, terlalu banyak, terlalu dekat jarak kehamilan, dan terlalu tua) serta 3 terlambat (terlambat membuat keputusan, terlambat mencapai fasilitas kesehatan, dan terlambat mendapat layanan kesehatan), yang terkesan klise dan blaming the victim.
Sebuah diskusi di akhir 2015 yang melibatkan aktivis perempuan, pegiat kesehatan reproduksi, praktisi kesehatan (bidan, dokter), pegiat posyandu, dan perwakilan kelompok perempuan dari tingkat desa mengidentifikasi setidaknya ada 12 penyebab utama tingginya AKI. Dua belas hal itu meliputi, perdarahan setelah persalinan, preeklamsia, sepsis (komplikasi karena infeksi), infeksi, komplikasi pada masa nifas, kehamilan di bawah umur, jarak kehamilan yang terlalu dekat, tidak ada pemeriksaan selama kehamilan. Fasilitas Kesehatan kurang memadai, jumlah dan distribusi tenaga kesehatan tidak memadai, sistem transportasi yang kurang baik, dan yang paling krusial adalah risiko finansial.
Apakah 12 penyebab utama AKI tersebut masih valid hingga tahun 2023, atau setelah delapan tahun berselang? Tidak ada yang tahu. Harusnya, ada perubahan. Karena ada sejumlah program, kebijakan dan perundang-undangan yang diterbitkan, seperti BPJS Kesehatan/Kartu Indonesia Sehat (KIS), pembangunan infrastruktur, pelindungan sosial, Undang-Undang (UU) Kebidanan (UU No 4 Tahun 2019), UU Perubahan UU Perkawinan atau perubahan batas usia perkawinan (UU No 16 Tahun 2019). Walaupun, ada juga program yang bagus tetapi dihapuskan, yaitu Jampersal (Jaminan Persalinan) yang tidak membutuhkan persyaratan dan tidak diskriminatif, setiap perempuan hamil dapat dilayani pemeriksaan kehamilan dan persalinan gratis, tanpa memandang status ekonomi dan sosial.
Idealnya, ada penelitian yang komprehensif tentang AKI, untuk melihat perkembangan dari upaya penurunan AKI melalui sekian banyak program dilakukan, dengan capaian hasilnya di tahun 2023 atau selambat-lambatnya tahun 2024.
”Childfree” dan krisis kelahiran
Tingginya AKI merupakan cerminan kurangnya dukungan negara, terutama pemerintah dari tingkat desa hingga tingkat nasional, terhadap peran reproduksi perempuan. Sistem dukungan yang dimaksudkan adalah layanan kesehatan yang baik, jaminan keselamatan ibu dan bayi saat persalinan dan nifas, jaminan tidak kehilangan pekerjaan karena cuti melahirkan, bantuan pangan dan perbaikan gizi bagi ibu hamil dan menyusui, serta dukungan peran ayah saat persalinan dan nifas dan jaminan tidak mengalami risiko finansial.
Ketiadaan support system akan mengakibatkan peningkatan kerentanan perempuan mengalami kematian, stres, dan menurunnya derajat kesehatan. Situasi perempuan seperti ini, pada gilirannya akan membentuk cara berpikir perempuan untuk tidak ingin memiliki anak atau childfree.
Gagasan ini sudah sangat lama ada di beberapa negara karena negaranya tidak menyediakan support system yang baik bagi perempuan yang bersedia mengorbankan dirinya untuk hamil dan melahirkan.
Diskusi tentang childfree menyeruak di berbagai media sosial, dalam beberapa bulan terakhir. Sebagian orang muda mendukung pilihan childfree sebagai hak untuk membuat keputusan atas tubuh dan keluarga mereka sendiri. Sebagian yang lain tidak setuju dengan alasan agama dan alasan melanjutkan keturunan, termasuk untuk mempertahankan perkawinan. Meski sesungguhnya, tidak ada juga jaminan bahwa kelahiran anak memperkokoh dan menyelamatkan perkawinan.
Gagasan childfree tidak hanya ada di Indonesia. Gagasan ini sudah sangat lama ada di beberapa negara karena negaranya tidak menyediakan support system yang baik bagi perempuan yang bersedia mengorbankan dirinya untuk hamil dan melahirkan. Akibatnya, sejumlah negara mengalami krisis kelahiran bayi dan mengancam keberlanjutan negara tersebut. Sejumlah rumah mulai kosong, sekolah-sekolah mulai ditutup karena tidak ada murid.
The World Fact Book di laman CIA 2023 memantau setiap tahun angka kelahiran 1.000 penduduk dari 228 negara dunia. Dari data itu, dapat disimpulkan, ada tujuh negara yang memiliki kelahiran terendah, di bawah 8 per 1.000 penduduk. Negara-negara tersebut meliputi Saint Pierre and Miqueloni (6,54 per 1.000 penduduk, Monako (6,61), Jepang (6,9), Korea Selatan (6,95), Italia (7), China: Hong Kong (7,85), Taiwan (7,33), dan Portugal (7,99).
Data ini mengonfirmasi fakta bahwa keputusan childfree oleh banyak individu atau keluarga, bahkan menjadi gaya hidup mayoritas, akan berdampak kepada ancaman keberlanjutan bangsa tersebut, di masa akan datang.
Kini, negara yang mengalami krisis kelahiran bayi tersebut memiliki serangkaian paket kebijakan, seperti uang tunjangan ibu hamil dan menyusui, larangan perusahaan memecat perempuan yang cuti melahirkan, layanan pemeriksaan kehamilan, persalinan dan perawatan bayi secara gratis, penambahan masa cuti hamil dan melahirkan, serta menerapkan paternity leave. Tujuannya agar warganya mau memiliki anak.
Bahkan, beberapa negara mengundang warga negara asing atau membiarkan perkawinan campuran antarnegara agar warganya mau memiliki anak. Namun agaknya, sangat sulit mengembalikan cara pandang masyarakat yang telanjur memilih childfree. Karena senyatanya, mengembalikan pandangan hidup seperti semula tidak mudah dan tidak murah. Apalagi, kalau warga sudah berpikir bahwa melestarikan bangsa bukan tanggung jawab mereka, melainkan tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Bagaimana dengan Indonesia? Masih aman. Kelahiran bayi di Indonesia masih 15,32 persen per 1.000 penduduk. Indonesia berada di urutan ke-112 dari 228 negara di dunia. Namun, ancaman perubahan pilihan hidup menjadi childfree akan terus mengintai jika support system bagi Ibu hamil, melahirkan, dan menyusui tidak diperbaiki.
Perempuan akan mengambil sikap dan keputusan untuk tidak memiliki anak jika negara, keluarga, pasangan, dan lingkungan tidak mendukungnya. Maka terjadilah seperti apa yang dikatakan Kartini tentang perempuan, ”Ia tidak wajib patuh kepada siapa pun, siapa pun juga, kecuali terhadap suara batinnya, hatinya.”
Semoga, persoalan kesehatan reproduksi dan AKI ini diatur dan dijamin dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan, yang sekarang sedang dibahas DPR dan pemerintah. Semoga.
Dian Kartika Sari, Consultant Gender Equality and Social Inclusion (GESI); Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia Periode 2009-2014 dan 2014-2019