Upaya menjaga kesehatan reproduksi menjadi krusial dalam menghasilkan generasi penerus bangsa yang berkualitas. Namun, kondisi kesehatan reproduksi sebagian perempuan terancam akibat perkawinan di usia anak.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesehatan reproduksi menjadi penting untuk menjamin kesehatan perempuan dalam usia reproduksi. Dengan kesehatan reproduksi terjaga, kaum perempuan mampu melahirkan anak yang sehat dan berkualitas serta menurunkan angka kematian ibu.
Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 menunjukkan angka kematian ibu (AKI) Indonesia masih 305 per 100.000 kelahiran hidup. Meski sudah terjadi penurunan dari periode 1991-2015 yang 390 per 100.000 kelahiran hidup, angka itu masih tiga kali lipat dari target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) 2015 sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup.
Untuk menurunkan AKI, dikenalkan konsep keluarga berencana terkait kehamilan dan melahirkan dengan mencegah ”4 terlalu”, yakni tidak terlalu muda, tidak terlalu tua, tidak terlalu sering, dan tidak terlalu banyak.
Sebagaimana diberitakan Kompas.id, Selasa (20/4/2021), perkawinan usia dini berisiko pada kesehatan reproduksi dari seorang anak. Risiko yang ditimbulkan tidak hanya berdampak terhadap anak tersebut, tetapi juga keturunannya, bahkan sampai generasi berikutnya. Karena itu, tingginya kejadian perkawinan usia anak dapat mengancam kualitas sumber daya manusia suatu bangsa.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, Senin (19/4/2021), menegaskan, perkawinan pada anak sebaiknya tidak dimaknai sebatas pada pernikahan saja, tetapi juga pada hubungan seksual pertama kali yang dilakukan oleh anak. Pasalnya, 59 remaja perempuan dan 74 persen remaja laki-laki di Indonesia melakukan hubungan seksual pertama kali pada usia 15-19 tahun.
”Secara substansial yang harus lebih kita khawatirkan adalah semakin rendahnya usia anak yang melakukan hubungan seks pertama kali. Dan, bukti kerugian dari kondisi ini sudah di depan mata, yakni tingginya kasus kanker mulut rahim yang pada hari ini nomor dua terbanyak setelah kanker payudara,” katanya.
Hasto mengatakan, hubungan seks pada usia anak sangat berisiko menyebabkan kanker mulut rahim atau kanker serviks. Perempuan usia di bawah 19 tahun, mulut rahim yang dimiliki masih menghadap ke luar sehingga ketika tersentuh alat kelamin dari laki-laki akan rentan terjadi infeksi yang menyebabkan kanker. Manifes dari kanker ini biasanya akan muncul setelah 15-20 tahun kemudian.
Rentang usia untuk reproduksi sehat untuk hamil dan melahirkan, menurut Eugenius Phyowai Ganap, dari Departemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Sabtu (17/4/2021), berkisar 20-35 tahun. Pada saat itu, orang secara fisik dan psikologis sudah matang.
Saat perempuan berusia kurang dari 20 tahun, secara fisik ataupun psikologis belum matang. Organ reproduksi belum siap untuk hamil dan menyusui. ”Ada bagian pada serviks (leher rahim) yang belum menutup sempurna, yakni squamocolumnar junction. Bagian ini tidak boleh terpapar dari luar. Jika terkena penetrasi, akan meningkatkan risiko kanker serviks saat yang bersangkutan berusia lebih dari 35 tahun,” kata Phyowai.
Hal lain, hormonnya belum stabil, ditandai dengan siklus menstruasi yang belum teratur. Hal ini akan berpengaruh terhadap kesiapan psikologis dan pengendalian emosi, baik dalam hubungan dengan pasangan maupun pengasuhan anak.
Ketidaksiapan fisik berisiko meningkatkan masalah dalam kehamilan, misalnya terjadinya pre-eklampsia atau hipertensi dalam kehamilan.
Ketidaksiapan fisik berisiko meningkatkan masalah dalam kehamilan, misalnya terjadinya pre-eklampsia atau hipertensi dalam kehamilan. Selain itu juga perdarahan saat melahirkan. ”Perdarahan, pre-eklampsia dan infeksi merupakan tiga besar penyebab angka kematian ibu,” ujarnya.
Phyowai menjelaskan, anak atau remaja sering kali belum memiliki pengetahuan cukup terkait kesehatan. Saat hamil, yang bersangkutan belum tahu cara menjaga kesehatan kandungan, misalnya gizi yang optimal untuk perkembangan janin, juga suplemen yang diperlukan sehingga mereka mengalami anemia dan kurang gizi.
Hal lain, umumnya orang yang menikah muda juga kurang mengakses pelayanan kesehatan. Akibatnya, selain risiko kematian ibu, juga ada risiko keguguran, bayi lahir mati, bayi lahir prematur, ataupun bayi lahir dengan berat badan rendah.
Bayi yang lahir dengan berat badan rendah, jika tidak mendapat asupan gizi yang baik untuk mengejar pertumbuhan, akan berkembang menjadi anak kurang gizi dan stunting (tengkes). Anak stunting umumnya memiliki kecerdasan kurang dan berisiko mengalami masalah kesehatan di sepanjang hidupnya. Hal ini pada gilirannya akan menjadi beban masyarakat serta negara, terkait produktivitas tenaga kerja dan biaya kesehatan.
Untuk mencegah masalah kesehatan, kematian ibu dan bayi, serta pertumbuhan anak kurang sehat, diperlukan edukasi pada perempuan yang menikah muda untuk menjaga kesehatan organ reproduksi, mengurangi risiko masalah kehamilan dan kelahiran, juga makan makanan bergizi.
Namun di hulu, pemerintah perlu bersikap tegas untuk mencegah pernikahan anak. Menegakkan aturan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menaikkan usia minimal perkawinan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun, sama dengan usia perkawinan pada laki-laki.
Hal lain meningkatkan upaya mengubah budaya dan cara pandang masyarakat terkait tradisi perkawinan anak dengan pendekatan melalui tokoh agama dan tokoh masyarakat. Juga edukasi pada orangtua mengenai kesehatan dan bahaya perkawinan anak melalui pengajian, kegiatan PKK, forum RT/RW, dan sebagainya.
Pemerintah perlu bekerja sama dengan semua elemen untuk memasukkan pendidikan kesehatan reproduksi dalam kurikulum sekolah. Hal ini berbeda dengan pornografi.
Menurut Phyowai, pendidikan kesehatan reproduksi bisa dimulai dari pengenalan konsep secara sederhana di tingkat sekolah dasar mengenai organ tubuh, perbedaan laki-laki dan perempuan, orang lain tidak boleh memegang organ tubuh tertentu. Pengenalan lebih lanjut diberikan di tingkat sekolah yang lebih tinggi mengenai anatomi dan fungsi tubuh.
”Dengan demikian, anak dan remaja memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menjaga kesehatan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta kesadaran untuk tidak menikah muda,” katanya.