Sulitnya Menurunkan Angka Kematian Ibu
Angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi di Asia Tenggara. Padahal, peningkatan layanan kesehatan telah memungkinkan 83 persen persalinan dibantu tenaga terampil dan 63 persen ibu melahirkan di fasilitas kesehatan.

Dokter kandungan memeriksa kondisi janin ibu hamil sebelum mendapatkan vaksin Covid-19 di Puskesmas Larangan Utara, Kota Tangerang, Banten, Jumat (20/8/2021).
Pertumbuhan ekonomi cukup tinggi yang dinikmati Indonesia beberapa waktu lalu ternyata belum berdampak pada kesehatan ibu dan anak. Hingga kini angka kematian ibu (AKI) Indonesia masih termasuk tertinggi di Asia Tenggara.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2017, AKI Indonesia adalah 177 per 100.000 kelahiran hidup. Bandingkan dengan AKI Singapura (8), Malaysia (29), Brunei Darussalam (31), Thailand (37), Vietnam (43), Filipina (121), dan Kamboja (160) per 100.000 kelahiran hidup pada waktu yang sama. Indonesia hanya lebih baik dari Laos (185) dan Myanmar (250) per 100.000 kelahiran hidup.
AKI 177 per 100.000 kelahiran hidup juga tercantum dalam Laporan Pembangunan Manusia (HDR) 2020 dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). Angka itu masih jauh dari target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang 70 per 100.000 kelahiran hidup.
Selain itu, angka kematian bayi masih 21 per 1.000 kelahiran hidup. Sementara target SDGs adalah 12 per 1.000 kelahiran hidup. Menjadi tantangan besar bagi Indonesia karena SDGs tinggal sembilan tahun lagi.
Baca juga : Angka Kematian Ibu dan Bayi Meningkat
Catatan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) pada September 2019 menunjukkan, wilayah Afrika sub-Sahara dan Asia Selatan menyumbang 86 persen kematian ibu di seluruh dunia. Sebagai perbandingan, risiko kematian ibu di negara-negara berpenghasilan tinggi adalah 1 dari 5.400, sementara di negara-negara berpenghasilan rendah adalah 1 dari 45.
Penyebab kematian ibu adalah perdarahan yang terjadi pada 27 persen kematian ibu. Selain itu, gangguan hipertensi dalam kehamilan terutama eklampsia, sepsis (komplikasi akibat infeksi), emboli (sumbatan pada pembuluh darah), dan komplikasi aborsi yang tidak aman juga merenggut banyak nyawa.
Komplikasi yang menyebabkan kematian ibu dapat terjadi setiap saat selama kehamilan dan persalinan. Sebagian besar kematian ibu dapat dicegah jika kehamilan diperiksa secara teratur dan persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, yakni dokter, perawat atau bidan, yang memiliki peralatan yang tepat. Karena itu, penting tersedia tempat perawatan obstetrik darurat berkualitas dilengkapi dengan tenaga ahli, peralatan, dan obat-obatan untuk merujuk ibu jika ada komplikasi.
Kesulitan di lapangan
Penyebab tingginya AKI, antara lain, adalah kemiskinan, tingkat pendidikan rendah, menikah terlalu muda, memiliki banyak anak, serta tinggal di daerah terpencil sehingga jarang memeriksakan kehamilan. Akibatnya, potensi penyulit kehamilan dan persalinan tidak terdeteksi.
Ada tiga terlambat yang menyebabkan persalinan gagal ditolong sehingga ibu meninggal sia-sia, yaitu terlambat dirujuk, terlambat mencapai rumah sakit, serta terlambat ditangani dokter. Hal ini tidak terlepas dari tatanan sosial budaya, kemampuan ekonomi, serta kondisi geografis yang menyulitkan akses layanan kesehatan. Masih ada persalinan yang dilakukan di rumah dibantu dukun beranak. Akibatnya, jika ada penyulit tidak segera bisa diatasi karena keterbatasan keterampilan dan peralatan.

Kunjungan bidan Puskesmas Kerinci Kanan, Riau, ke rumah ibu hamil, 26 Agustus 2017.
Kalaupun ada bidan yang memeriksa kehamilan di daerah pelosok atau kepulauan, itu tidak mudah merujuk dan membawa pasien ke layanan kesehatan memadai karena keterbatasan akses menuju fasilitas kesehatan. Ditambah lagi keberadaan dokter spesialis belum merata di pelosok Indonesia.
Baca juga : Layanan USG Diperluas di Setiap Puskesmas
Di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) transportasi, termasuk ke layanan kesehatan, tidak mudah. Untuk ke puskesmas atau rumah sakit, warga kepulauan harus menyewa perahu motor cukup mahal, kemudian masih harus menyambung dengan mobil atau digotong untuk mencapai fasilitas kesehatan.
Kondisi geografi dan mahalnya biaya transportasi, seperti di Papua, Maluku, atau di pedalaman Kalimantan, menyebabkan warga sulit mengakses layanan kesehatan. Sebaliknya, penjangkauan terhadap warga di wilayah terpencil terhambat karena kekurangan anggaran dan kurangnya minat dokter.
Penelitian
Di daerah yang ada rumah sakit pun tidak menjamin penurunan AKI. Tinjauan retrospektif dari catatan kasus yang meneliti kualitas perawatan terkait dengan kematian ibu di rumah sakit di enam provinsi (Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan) yang dilakukan Mohammad Baharuddin dari Lembaga Kesehatan Budi Kemuliaan dan kolega yang dipublikasi dalam suplemen International Journal of Gynecology & Obstetrics, 27 Februari 2019, menunjukkan, pemerintah telah menyusun kebijakan, program, dan standar klinis berbasis bukti yang mendukung kelangsungan hidup ibu dan bayi baru lahir.
Pada 2012, tingkat pertolongan persalinan dengan tenaga terampil secara nasional mencapai 83 persen. Sebanyak 63 persen ibu melahirkan di fasilitas kesehatan. Namun, belum mampu menurunkan AKI sesuai dengan harapan. Hal itu terkait dengan terbatasnya ketersediaan dokter spesialis untuk konsultasi dan pertolongan persalinan.
Tinjauan yang dilakukan Alisa Pedrana dari Burnet Institute, Australia, dan kolega yang dimuat dalam suplemen yang sama juga merujuk pada ketimpangan distribusi dokter spesialis. Banyak wilayah di Indonesia yang belum memiliki dokter spesialis yang diperlukan untuk menangani kedaruratan persalinan sehingga melemahkan upaya Indonesia dalam menurunkan AKI.
Hal itu tampak dari AKI (saat itu) yang bervariasi secara geografis, dari 222 per 100.000 kelahiran hidup di Jawa-Bali hingga 430 per 100.000 kelahiran hidup di Sulawesi. Hal ini menunjukkan disparitas dalam hal infrastruktur dan akses ke layanan kesehatan dasar antarprovinsi.
Perawatan darurat komprehensif ini memerlukan dokter ruang gawat darurat, ruang operasi dan tim bedah, serta layanan bank darah yang siaga 24 jam setiap hari.
WHO, Unicef, dan Badan Kependudukan PBB (UNFPA) mengidentifikasi paket layanan yang dikenal sebagai perawatan kebidanan darurat yang harus ada di semua rumah sakit dan fasilitas kesehatan untuk mengatasi penyebab utama kematian ibu. Perawatan darurat komprehensif ini memerlukan dokter ruang gawat darurat, ruang operasi dan tim bedah, serta layanan bank darah yang siaga 24 jam setiap hari. Ruang gawat darurat harus tanggap dalam 10 menit, ruang bersalin 30 menit, dan bank darah 1 jam untuk melayani kedaruratan. Namun, itu belum terjadi di sejumlah daerah karena ketiadaan tenaga ahli (dokter umum, dokter spesialis, bidan, perawat).
Walau jumlah dokter spesialis dan bidan telah meningkat sejak 2005, jumlah dokter spesialis tidak dapat mengimbangi pertumbuhan penduduk. Sebuah penelitian di 15 kabupaten di Indonesia mendapatkan, kepadatan penyedia layanan kesehatan (jumlah dokter, perawat, dan bidan) per 1.000 penduduk tergolong rendah. Sebanyak 11 dari 15 kabupaten memiliki kepadatan penyedia kurang dari 1, jauh lebih rendah dari standar yang direkomendasikan WHO, yakni 2,3 per 1000 penduduk.

Para petugas medis dari Puskesmas Sempu memeriksa warga di mushala kampung Seling, Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Banyuwangi, Jawa Timur, Sabtu (15/1/2017). Para petugas kesehatan ini mendatangi kampung-kampung di pelosok hutan untuk mencari warga sakit dan ibu hamil berisiko tinggi.
Masalah lain adalah ketimpangan distribusi dan cakupan tenaga kesehatan di berbagai wilayah geografis. Terutama penempatan dokter spesialis di daerah perdesaan dan terpencil.
Saifuddin Ahmed dari Universitas Johns Hopkins dan Judith Fullerton dari Unversitas California, Amerika Serikat, dalam pengantar suplemen mengatakan, meningkatkan ketepatan waktu dan kualitas perawatan obstetrik dan neonatal rutin dan darurat serta memastikan akses ke layanan tersebut untuk semua perempuan dan bayi baru lahir menjadi kunci untuk menurunkan AKI dan AKB.
Sebelumnya, buku Kajian Determinan Kematian Maternal di Lima Region Indonesia yang diterbitkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan UNFPA 2012 menyebutkan, dari 5 juta kelahiran yang terjadi setiap tahun di Indonesia, diperkirakan 20.000 ibu meninggal akibat komplikasi kehamilan atau persalinan. Risiko kematian ibu karena melahirkan di Indonesia adalah 1 dari 65 ibu. Sebagai perbandingan, risiko di Thailand adalah 1 dari 1.100 ibu.
Hasil penelitian yang melibatkan para ahli dari Universitas Indonesia tersebut, AKI yang tinggi dan penyebab kematian ibu yang tertinggi terkait dengan kinerja dan akses layanan fasilitas Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) di puskesmas serta Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komperhensif (PONEK) di rumah sakit yang rendah.
Baca juga : Tekan Angka Kematian, Kualitas Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi Ditingkatkan
Penyebab kematian ibu yang tertinggi adalah hipertensi dalam kehamilan dan perdarahan pascapersalinan. Hal itu terkait dengan rendahnya cakupan layanan pemeriksaan kehamilan serta layanan fasilitas kesehatan, khususnya ketersediaan obat yang kurang memadai.
Kondisi itu belum berubah banyak di pelosok Indonesia. Karena itu, komitmen pemerintah pusat dan pemerintah daerah pada era otonomi daerah sangat penting. Perlu disadari bersama pentingnya pembangunan manusia, termasuk kesehatan penduduk. Penurunan AKI dan AKB hanya bisa terjadi jika semua perencanaan dan program dilaksanakan secara konsekuen dan konsistensi.