”Negeri Para Mullah” Israel
Identitas sekuler negara Israel ingin diubah oleh kubu agama dan kanan radikal yang saat ini memegang tampuk kekuasaan di Israel.
Cendekiawan Mesir, Sayed Ali, menulis artikel opini pada harian terbesar Mesir, Al Ahram, dengan judul ”Negeri Para Mullah Israel”. Ia memilih judul tersebut untuk tulisan opininya, tentu terinspirasi oleh sebutan ”Negeri Para Mullah” di Iran pascarevolusi Iran tahun 1979 yang dipimpin Ayatollah Imam Khomeini.
Iran pascarevolusi tahun 1979 sampai saat ini dikuasai para ulama atau mullah jebolan kota Qom sehingga muncul sebutan populer ”Negeri Para Mullah” untuk Iran.
Ada satu negeri lagi di Timur Tengah yang terkenal dengan kemajuan ekonomi dan teknologinya, namun sosial-politiknya cenderung mengikuti jejak Iran, yaitu Israel. Aneh tapi nyata, Israel dalam beberapa tahun terakhir ini semakin dikontrol kubu kanan radikal dan kaum agama ortodoks sehingga Israel semakin terseret ke arah menjadi negara fundamentalis Yahudi atau negara Salafi Yahudi.
Pada 29 Desember 2022, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu membentuk pemerintah koalisi yang terdiri atas enam partai dengan latar belakang ideologi kanan radikal dan agama, yaitu Likud, Shas, United Torah Judaism, Religious Zionist Party, Otzma Yehudit, dan Noam. Keenam partai tersebut menguasai 64 kursi di Knesset (parlemen) yang dinilai cukup kuat dalam pentas politik Israel saat ini.
Baca juga : Netanyahu Pimpin Pemerintahan Berhaluan Paling Kanan dalam Sejarah Israel
Dari enam partai koalisi pimpinan Netanyahu itu, ada empat partai berlatar belakang ideologi ortodoks agama, yaitu Noam, Shas, United Torah Judaism, dan Religious Zionist Party. Partai agama Shas didirikan oleh Rabbi Ovadia Yosef pada tahun 1984 dan sekarang dipimpin oleh Aryeh Deri. Shas meraih 11 kursi Knesset pada pemilu parlemen bulan November 2022.
United Torah Judaism (UTJ) adalah partai politik di Israel yang memperjuangkan nilai-nilai kitab Taurat bisa diterapkan dalam negara Israel, atau nilai-nilai agama menjadi sendi dan sumber dalam kehidupan di negara Israel. Partai tersebut memercayai bahwa agama dan politik merupakan satu kesatuan. UTJ meraih tujuh kursi Knesset pada pemilu parlemen November 2022.
Religious Zionist Party adalah partai yang beraliran religius zionis konservatif. Partai tersebut sangat anti-Palestina dan menolak menyerahkan sejengkal tanah pun kepada Palestina ataupun Suriah. Partai tersebut sangat mendukung aneksasi wilayah Tepi Barat. Religious Zionist Party meraih 14 kursi Knesset pada pemilu parlemen, November 2022.
Adapun Partai Likud dipimpin langsung oleh Netanyahu. Partai beraliran kanan itu meraih 32 kursi Knesset. Adapun partai Noam yang beraliran kanan agama radikal zionis terinspirasi oleh doktrin Rabbi Zvi Thau. Partai Noam yang tidak memiliki kursi di Knesset mendukung koalisi PM Netanyahu dari luar.
Baca juga : Kemenangan Koalisi Netanyahu Kobarkan Kebangkitan Ekstrem Kanan di Israel
Identitas fundamentalisme agama pada pemerintah koalisi pimpinan Netanyahu saat ini menguat saat pemerintahan Netanyahu ingin melakukan perubahan sistem lembaga peradilan di Israel yang dikenal juga dengan agenda reformasi peradilan. Melalui reformasi peradilan itu, Netanyahu di antaranya menginginkan hukum syariah Yahudi menjadi sumber hukum sipil di Israel untuk memenuhi aspirasi partai-partai agama yang bergabung dalam koalisi pemerintahan.
Melalui reformasi peradilan itu, Netanyahu menginginkan hukum syariah Yahudi menjadi sumber hukum sipil di Israel untuk memenuhi aspirasi partai-partai agama yang bergabung dalam koalisi pemerintahan.
Melalui reformasi lembaga peradilan, Netanyahu juga ingin membebaskan siswa-siswa sekolah agama dari wajib militer. Artinya, siswa-siswa agama di Israel memiliki keistimewaan, yakni bebas dari bidikan undang-undang di Israel yang mewajibkan semua pemuda dan pemudi masuk wajib militer.
Baca juga : Di Balik Keinginan Netanyahu Mereformasi Peradilan Israel
Tak pelak lagi, agenda reformasi peradilan itu mendapat penolakan luas dari berbagai elemen masyarakat di Israel yang berpegang teguh atas identitas negara Israel yang sekuler dan liberal. Para oposan terhadap agenda reformasi peradilan itu menggelar unjuk rasa besar-besaran di sejumlah kota di Israel sehingga dalam satu aksi unjuk rasa mencapai lebih dari 600.000 pengunjuk rasa.
Sejumlah media di Israel menyebut, apa yang terjadi di Israel saat ini adalah pertarungan identitas antara kubu yang mempertahankan identitas sekuler negara Israel dan kubu yang ingin negara Israel menjadi negara fundamentalis agama, di mana agama memegang supremasi dan di atas semuanya.
Mengapa kubu agama dan kanan radikal di Israel berambisi ingin mengubah identitas negara Israel yang lebih cenderung konservatif dengan supremasi agama di Israel? Sumber masalahnya, Israel adalah negara tanpa konstitusi dan hanya memiliki hukum asasi yang disepakati saat berdirinya negara Israel tahun 1948 dengan menegaskan sekulernya negara Israel.
Identitas sekuler negara Israel ini yang ingin diubah oleh kubu agama dan kanan radikal yang berhasil memegang tampuk kekuasaan di Israel saat ini. Kecenderungan Israel menuju ke arah konservatisme dan fundamentalisme dengan meninggalkan liberalisme dan sekularisme sesungguhnya mulai terbaca sejak tahun 2018. Ketika itu, Israel mengumumkan negara mereka adalah negara nasionalis untuk rakyat Yahudi.
Israel pun cenderung menjadi negara eksklusif dan bukan negara liberal demokratis untuk semua warganya, baik Yahudi maupun Arab dan etnis lainnya. Identitas negara Israel yang semakin konservatif dan fundamentalis itu menjadi faktor di balik sikap Israel yang semakin keras terhadap Palestina. Maka, tidak perlu heran jika aparat keamanan Israel sering melakukan serangan masif ke kompleks Masjidil Aqsa, khususnya pada bulan Ramadhan ini.
Baca juga : Waswas ”Status Quo” Masjidil Aqsa
Ini yang mengundang terjadinya serangan roket cukup masif dari Lebanon selatan dan wilayah Suriah sebagai balasan atas serangan keji Israel ke kompleks Masjidil Aqsa. Situasi tegang dan aksi kekerasan yang sering terjadi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur, khususnya kompleks Masjidil Aqsa terakhir ini, tak lepas dari dampak sikap keras kepala kubu kanan radikal dan agama yang berkuasa di Israel saat ini.
Isu perpecahan di Israel sesungguhnya adalah isu biasa sejak berdirinya negara Israel tahun 1948. Sudah populer di Israel ada perpecahan antara Yahudi Ashkenazi yang imigran dari Eropa dan Yahudi Sephardim yang imigran dari negara-negara Timur Tengah lain.
Ada pula perpecahan dalam ranah politik antara partai Likud yang kanan dan partai Buruh yang kiri. Para kubu yang pecah tersebut tetap sepakat atas negara sekuler Israel.
Namun, beberapa tahun terakhir ini, semakin menguat di Israel semacam aliran Yahudi Salafi atau Yahudi fundamentalis yang berpijak pada doktrin bahwa kitab suci Taurat adalah pedoman hidup baik individu maupun negara. Aliran ini yang menjelma menjadi partai politik dan berkuasa saat ini, seperti Shas, United Torah Judaism, Religious Zionist Party, Otzma Yehudit, dan Noam.
Ini yang memicu perpecahan baru di Israel dengan corak berbeda dari perpecahan sebelumnya, yaitu perpecahan antara kubu pro-negara sekuler dan pro-negara agama.