Krisis nilai yang beririsan dengan krisis keteladanan sedang melanda negeri ini. Penyelenggara negara dan aktor-aktor strategis lebih berperan sebagai pelaku niaga. Negeri tanpa keteladanan tak lebih dari rimba gelap.
Oleh
INDRA TRANGGONO
·3 menit baca
Ketika prinsip-prinsip pengelolaan negara kita semakin terkonsentrasi pada kepentingan ekonomis dan material semata, maka negara berpotensi tereduksi menjadi korporasi. Dalam langgam korporasi, para penyelenggara negara dan aktor-aktor strategis yang mendukungnya (komunitas politik, ekonomi) bukan lagi berperan penuh sebagai negarawan, melainkan sebagai pelaku niaga. Mereka cenderung mengapitalisasi negara demi meraih keuntungan dengan menjalankan pola kerja ala oligarki.
Dari sini negara dan para penyelenggaranya gagal menjadi acuan nilai bagi warga negara. Mereka menjadi tak lebih sekadar tenaga ahli yang hanya berkutat pada masalah teknis-administratif layaknya kerja di perusahaan. Adapun nilai-nilai ideologis kebangsaan tak terlalu mereka pedulikan. Krisis keteladanan pun terjadi.
Rongga dada bangsa kita pun gerowong alias berlubang hitam. Maka, tak perlu heran jika perilaku sebagian publik cenderung destruktif. Mereka nggugu karepe dhewe (menurut kehendaknya sendiri dan memercayai kebenarannya/kepentingannya sendiri). Sebagian masyarakat semakin permisif. Juga ketika mereka menyalurkan hasrat-hasrat personalnya. Kekerasan pun diambil sebagai jalan meluapkan berbagai frustrasi sosial. Selain faktor ketidakadilan di semua bidang, dekadensi itu juga dipicu oleh hilangnya keteladanan.
Krisis nilai yang beririsan dengan krisis keteladanan sedang melanda negeri ini. Boleh dikatakan, keteladanan secara nasional sedang pingsan atau potensinya tidak teraktualisasi secara optimal.
Potensi keteladanan mungkin sengaja dibikin pingsan karena mereka tak mau repot dan lebih terobsesi kepada pelbagai kepemilikan daripada kehadiran secara eksistensial. Meminjam terminologi Erich Fromm, mereka lebih memilih modus ”memiliki” daripada ”menjadi”, yakni menjadi pribadi atau sosok berkarakter, berkomitmen, dan kapabel.
Negeri tanpa keteladanan tak lebih dari rimba gelap. Tak bisa dibedakan antara protektor dan predator. Bangsa pun kehilangan cermin atau orientasi nilai yang semestinya dipancarkan para penyelenggara negara berkapasitas kesatria konstitusi.
Adakalanya para penyelenggara negara tak mau ambil risiko dan tanggung jawab atas peran sosial, politik, kultural, dan ekonomi. Mereka bersembunyi di ruang aman dan nyaman. Ketika berhubungan dengan risiko yang berpotensi mengancam posisi dan nasibnya, mereka merasa ”sekadar” pelaku profesi yang bekerja demi mendapatkan upah. Namun, ketika berurusan dengan ganjaran (reward), mereka mengaku sebagai pejuang konstitusi. Ini urik alias curang dan tidak fair, juga oportunistis.
Tanggung jawab ideologis
Para penyelenggara tingkat eksekutif, yudikatif, dan legislatif tak bisa mereduksi diri menjadi sekadar pelaku profesi yang hanya berurusan dengan persoalan teknis dan administratif. Di tangan mereka nasib bangsa dan negara dipertaruhkan. Kualitas tinggi pengelolaan negara menjadi syarat utama keberhasilan kerja mereka, terutama dalam mendistribusikan keadilan dan kesejahteraan bagi warga negara.
Pada tataran ideal, para penyelenggara adalah aktor-aktor strategis negara yang memiliki tanggung jawab ideologis. Artinya, kerja dan seluruh kreativitas dan nilai yang dihasilkan harus sesuai dengan nilai-nilai ideologis.
Pentingnya kesadaran ideologis berkaitan dengan kecerdasan dan cara mereka membaca, memaknai, dan menjawab berbagai masalah kebangsaan yang relevan dengan nilai-nilai konstitusi. Jika mereka berperan sekadar menjadi operator liberalisme dan kapitalisme, mereka pun tak lebih dari tenaga bayaran, di mana status penyelenggara negara hanya menjadi label artifisial.
Semestinya para penyelenggara sangat peduli dengan keteladanan karena hal ini merupakan nilai yang bisa diwariskan kepada generasi muda bangsa.
Semestinya para penyelenggara sangat peduli dengan keteladanan karena hal ini merupakan nilai yang bisa diwariskan kepada generasi muda bangsa. Ada banyak jalan menuju keteladanan ini. Pertama, ketegasan menanggalkan gaya hidup konsumtif dan hedonistik serta menggantikannya dengan asketisme. Kedua, meningkatkan kesadaran atas nilai-nilai ideologis dan konstitusional di dalam cara berpikir, berperilaku, dan berkarya. Ketiga, memiliki tiga budaya fundamental, yakni budaya malu, budaya rasa bersalah, dan budaya takut (Yudi Latif, 2023).