Membantu Myanmar Keluar dari Konflik Berkepanjangan
Sebagai Ketua ASEAN 2023, Indonesia bisa mengawal resolusi konflik Myanmar. Indonesia bisa membantu junta militer Myanmar untuk mengadopsi sistem negara kesatuan dengan kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah.
Tidak mudah menawarkan resolusi konflik yang berlangsung di Myanmar sejak beberapa tahun belakangan. Setiap proposal ASEAN tidak bisa dilepaskan dari tudingan intervensi. Junta militer Myanmar abai menyadari, masalah negerinya sudah menimbulkan dampak ke kawasan dan mengusik ASEAN. Dampak limpahan konflik yang terjadi memberi pekerjaan rumah yang berkepanjangan bagi negara anggotanya akibat mengalirnya pengungsi yang harus mereka tampung.
Solusi efektif harus ditemukan, sekalipun disadari, apa yang diputuskan ASEAN telah merupakan intervensi. Junta militer Myanmar harus membuka diri terhadap inisiatif ASEAN dalam mencarikan resolusi konflik untuk menciptakan kondisi kawasan yang lebih baik.
Opsi apakah yang siap ditawarkan Indonesia untuk Myanmar? Diplomasi formal jalur satu lewat Kementerian Luar Negeri, yang umum dipraktikkan di dunia internasional, akan buntu tanpa solusi efektif yang bisa membantu junta militer keluar dari masalah. Jalur satu semakin kompleks, sulit diimplementasikan dan diraih hasilnya, sebab aktor negara dibatasi ruang geraknya oleh perkembangan dinamis geopolitik regional.
Baca juga: Kekerasan Tak Berujung di Myanmar
China dengan hegemoni yang mulai terbangun, didukung Rusia yang membutuhkan kemitraan adidaya global baru, dapat mengganjal inisiatif keketuaan Indonesia di ASEAN di 2023, jika Indonesia terus terikat pada multilateralisme. Sebagai konsekuensinya, jalur diplomasi satu setengah, yang bersifat non-formal, harus diluncurkan sebagai opsi lain.
Pertanyaannya, apa bentuk diplomasi alternatif ini dan siapa aktor yang menjadi ujung tombaknya? Lalu, bagaimana formulasi kebijakan dan strategi pelaksanaannya? Sebagai Ketua ASEAN 2023, Indonesia bisa berbagi pengalaman dengan Myanmar dalam menggagas transisi demokratis yang sukses.
Kegiatan sharing pengalaman bisa dilakukan secara informal dengan melibatkan para ahli amandemen konstitusi dan reformasi sektor keamanan (security sector reform/SSR) Indonesia dari kalangan sipil dan militer. Bungkus sharing pengalaman untuk resolusi konflik ini akan bisa diterima junta Myanmar jika dilakukan melalui gelar diplomasi satu setengah.
Langkah ini dilakukan dengan pendekatan yang positif, tetapi tegas, dengan lebih dominan upaya Indonesia untuk memperjuangkannya. Mengikuti mekanisme konsensus ASEAN tidak mungkin terpenuhi sebab pendukung junta militer di kawasan cukup kuat.
Mendorong reformasi
Pendekatan historis akan membantu untuk memahami situasi di Myanmar saat ini dan terutama terkait sikap junta yang berubah brutal terhadap kaum sipil. Sebelum kudeta militer 2021, selama periode 2010-2017, junta Myanmar sebenarnya sudah berinteraksi dengan negara-negara Barat, khususnya, Amerika Serikat, kampiun demokrasi dunia.
Namun, dalam periode transisi demokratis yang cukup lama itu ada kesempatan berharga yang hilang. Amerika Serikat, dan juga ASEAN, tidak mendorong reformasi politik di Myanmar melalui agenda amendemen konstitusi dan SSR, yang dapat membuat junta militer percaya kepada pembagian kekuasaan yang berimbang dan cukup adil.
Selama ini, Myanmar tidak pernah dibantu dalam mengamendemen konstitusi dan membuat UU tentang militer, yang menyediakan exit strategy bagi militer untuk menjadi profesional. Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023, yang bisa mendorong kembalinya militer ke barak lewat SSR tanpa resistensi hebat, belum pernah berbagi pengalaman ini. Padahal, melalui diplomasi pintu belakang, SSR bisa ditawarkan kepada junta militer untuk memberi jalan keluar yang terhormat dari keterlibatan dalam politik sehari-hari sekaligus memberi solusi damai bagi Myanmar.
Selama ini, Myanmar tidak pernah dibantu dalam mengamendemen konstitusi dan membuat UU tentang militer, yang menyediakan exit strategy bagi militer untuk menjadi profesional.
Menyediakan semacam Pasal 7 UU TNI bagi junta Myanmar akan membuka jalan bagi pembagian kekuasaan kekuatan sipil-militer yang bisa diterima sebelum bisa diwujudkannya konsolidasi demokratis untuk bisa ditegakkannya supremasi sipil. Keberadaan pasal semacam ini menyediakan jalan transisi, yang menyisakan posisi strategis tertentu yang masih boleh untuk junta.
Kebijakan ini bisa diamendemen lagi di masa depan jika tahap konsolidasi demokratis sudah bisa diwujudkan. Pasal ini bersifat sementara agar junta militer tidak kehilangan seluruh peran strategisnya sebelum mereka ditarik seluruhnya dari parlemen.
Namun, kebijakan AS di era transisi demokratis dahulu tidak mendorong reformasi politik Myanmar, tetapi justru segera menjatuhkan sanksi kepada pimpinan militer atas pembantaian Rohingya pada Oktober 2017. Lebih dahsyat lagi, pada 2019, AS membekukan aset Jenderal Min Aung Hlaing, sekarang pemimpin junta, yang dianggap bertanggung jawab atas genosida itu.
Jadi, respons Pemerintah AS telah berkembang menjadi masalah pribadi dengan junta Myanmar. Reformasi di dalam tubuh militer tidak pernah diintroduksi melalui kerja sama institusional kedua negara, lewat berbagai macam program pelatihan dan pendidikan, demi menyosialisasikan demokrasi dan menguatkan supremasi sipil.
Sementara, dengan anggota ASEAN lain, AS begitu gencar dan rutin menggelar kerja sama militer untuk mendorong profesionalisme mereka dan menguatkan supremasi sipil. Kebijakan Presiden AS Donald Trump saat itu, yang menarik diri dari kawasan dan abai mendorong amandemen konstitusi dan SSR di Myanmar, membuat hubungan bilateral AS-Myanmar kian rapuh. Logis, junta merapat ke China yang tengah mengembangkan ruang pengaruh dan hegemoninya di kawasan.
Jika saja Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023 bisa mendekati junta militer dan menyiapkan exit strategy yang bagus, secara optimis, masalah Myanmar bisa diselesaikan. Juga, walaupun keketuaan Indonesia hanya setahun, pasca-2023, resolusi konflik Myanmar bisa dilanjutkan dan dikawal Indonesia sebagai big brother dalam ASEAN.
Baca juga: Gebrakan Indonesia untuk Presidensi ASEAN 2023
Di sisi lain, kelompok sipil Myanmar perlu diingatkan agar tidak terlalu bernafsu dalam memangkas drastis bisnis militer. Sementara koperasi-koperasi kecil yang menanggung beban kesejahteraan prajurit perlu dilindungi sampai negara bisa memenuhi secara optimal kebutuhan mereka.
Jabatan strategis untuk pimpinan junta, sebagai penasehat Presiden dan institusi semacam Dewan Keamanan Nasional, yang bertanggung jawab dalam merumuskan persepsi ancaman keamanan dan responsnya, tidak perlu dilikuidasi. Biarkan juga peran penting mereka dalam mengatasi gerakan separatisme dan pemberontakan bersenjata, pembajakan, perompakan dan mengamankan wilayah perbatasan negara.
Sebaliknya, jangan terlalu bernafsu untuk menuntut selekasnya personel militer dan institusinya dalam keterlibatan mereka di kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Semakin dalam keterlibatan militer dalam bisnis dan pelanggaran HAM berat akan semakin tinggi resistensi junta militer atas SSR. Kasus-kasus di Amerika Latin dan Indonesia telah memberikan pelajaran berharga.
Selanjutnya, Indonesia bisa membantu junta militer dalam mengadopsi sistem negara kesatuan dengan kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah. Sebaliknya, jangan merekomendasikan sistem federalisme yang tidak disuka militer karena mereka kuatir pada ancaman disintegrasi nasional.
Banyaknya kelompok etnis yang kecil-kecil bukan jawaban yang tepat untuk mengadopsi sistem itu. Jika junta sudah nyaman dengan pilihan sistem politik bukan banyak partai dan bentuk negara (kesatuan) yang menjamin integrasi nasional dan pembagian kekuasaan, sikap kooperatif, penghentian represi junta militer dan janji gelar pemilu, seperti direkomendasikan Lima Butir Konsensus ASEAN, bisa diimplementasikan.
Sekali lagi, Indonesia bisa berbagi pengalaman dalam memilih secara bijak bentuk negara dan sistem politik yang relevan dengan kebutuhan dan perjalanan historis negara, serta tahan terhadap ancaman disintegrasi akibat beragamnya penduduk dan kepentingan. Sekalipun semuanya masih hipotetis, tetapi, jika junta militer tidak merasa terancam posisinya dalam zero sum game yang terjadi, kemenangan Liga Nasional Demokrasi (NLD) dan Aung San Suu Kyi lewat pemilu yang terbuka akan bisa diterima.
Kepemimpinan tegas
Solusi multilateral melibatkan China akan semakin kompleks dan sulit karena akan dikaitkan dengan kepentingannya di Laut China Selatan. Menyadarkan junta militer Myanmar untuk menyelesaikan masalah mereka akan lebih baik daripada memperluas penyelesaiannya dengan melibatkan negara besar dan anggota ASEAN yang tidak mendukung. Tawaran solusi unilateral ala Indonesia akan logis bisa diterima junta militer, karena sudah ada bukti empiris keberhasilannya.
Baca juga: Krisis Myanmar, Tantangan RI di ASEAN
Karena sikap pragmatisme ingin menjadikan ASEAN sebagai episentrum pertumbuhan, pengenaan sanksi embargo dan mengabaikan keanggotaan Myanmar bukan pendekatan yang disukai anggota ASEAN. Mereka takut berdampak pada berkurang dan melambatnya pertumbuhan ekonomi di kawasan.
Padahal, harus diketahui, tanpa Myanmar pun, ASEAN telah lama menjadi episentrum pertumbuhan, yang mampu menarik pragmatisme kepentingan negara-negara besar, terutama AS dan Uni Eropa, yang terus mengampanyekan demokrasi dan HAM. Karena itu, didukung atau tidak, Indonesia sebagai Ketua ASEAN harus dapat memperlihatkan sikap tegasnya pada junta militer Myanmar untuk kooperatif dengan tawaran formula SSR dan reformasi politik yang kompromistik.
Dengan ultimatum Indonesia, dengan ancaman sanksi ditinggalkan ASEAN, junta militer Myanmar akan tidak bergeming. Dengan demikian, junta militer Myanmar mau mengikuti Lima Butir Konsensus ASEAN, yang telah ditunggu realisasinya sejak dikeluarkan, April 2022. Ini akan tercatat sebagai warisan sejarah yang berharga dari kepemimpinan Indonesia di ASEAN tahun 2023.
Poltak Partogi Nainggolan, Peneliti Tata Kelola dan Konflik di BRIN