Krisis Myanmar, Tantangan RI di ASEAN
Kepemimpinan ASEAN kali ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia. Posisi Indonesia akan menguat jika sukses berperan selesaikan krisis Myanmar. Mampukah Indonesia?
Kepemimpinan ASEAN yang tahun ini mulai dipegang Indonesia akan menjadi tantangan tersendiri. Di satu sisi, posisi Indonesia akan menguat apabila bisa banyak berperan dalam upaya penyelesaian krisis Myanmar. Di sisi lain, makin berlarutnya krisis tersebut dapat menimbulkan pertanyaan soal pengaruh ASEAN di kawasan Asia Tenggara.
Setelah sebelumnya dijalankan oleh Kamboja selama setahun silam, tampuk kepemimpinan organisasi kawasan yang mewadahi kerja sama antarnegara di Asia Tenggara (ASEAN) kini diemban oleh Indonesia.
Dalam seremoni peralihan kepemimpinan, Presiden Joko Widodo menegaskan, keketuaan Indonesia akan berfokus pada pembangunan ekonomi regional. Hal ini pun selaras dengan arah kebijakan luar negeri Indonesia yang salah satunya tercermin dari suksesnya perhelatan G20 tahun lalu.
Namun, di luar agenda pembangunan ekonomi regional, masih terselip pula masalah krisis Myanmar yang juga menunggu untuk diselesaikan. Terlebih lagi, komunitas internasional memiliki ekspektasi yang tinggi terkait dengan peran ASEAN untuk segera menyelesaikan krisis tersebut.
Makin berlarutnya krisis Myanmar dapat menimbulkan pertanyaan soal pengaruh ASEAN di kawasan Asia Tenggara.
Namun, upaya ASEAN selama sekitar dua tahun ini belum menemukan titik penyelesaian yang maksimal. Memang, di satu sisi, ada sejumlah upaya ASEAN hingga menelurkan lima poin konsensus yang patut diapresiasi karena bisa menjadi landasan awal untuk membangun dialog dan negosiasi dengan junta militer Myanmar.
Secara singkat, Konsensus Lima Poin ASEAN ini meliputi penghentian penggunaan kekerasan, dialog antar semua pihak, penunjukan utusan khusus, masuknya bantuan kemanusiaan ASEAN, dan kunjungan utusan khusus ASEAN untuk bertemu dengan seluruh pihak yang terlibat konflik.
Namun, di sisi lain, implementasi dari konsensus ini tampak kurang maksimal dilakukan. Hingga kini, komitmen pemerintahan junta militer Myanmar cenderung minim untuk menjalankan tiap poin konsensus yang telah disepakati.
Justru, langkah terakhir dari pemerintahan militer ialah memilih untuk segera mengadakan pemilu. Langkah ini disinyalir memiliki agenda lain, yaitu untuk menyingkirkan para oposan yang masih tersisa.
Minimnya komitmen militer Myanmar (Tatmadaw) ini tecermin dari poin satu konsensus yang tidak ditepati. Hingga saat ini, kekerasan masih konsisten dilakukan oleh Tatmadaw kepada warga sipil Myanmar.
Data dari Asosiasi Asistensi Tahanan Politik (AAPP) Myanmar menunjukkan ada sekitar 2.000 rakyat sipil yang meninggal akibat kekerasan pemerintahan Myanmar. Bahkan, data dari pihak oposisi yaitu Pemerintahan Kesatuan Nasional (National Unity Government/NUG) menyebutkan ada 165 orang anak terbunuh akibat kekerasan junta militer selama 2022.
Baca juga: Analisis Litbang ”Kompas”: Mengakselerasi Perekonomian Negara-negara Anggota ASEAN
Implementasi konsensus
Di samping lemahnya komitmen dari pemerintahan junta, beberapa poin lain dalam konsensus juga nyatanya masih sulit untuk diimplementasikan. Kesulitan pertama ialah terkait dengan peran utusan khusus ASEAN yang masih belum maksimal bekerja.
Padahal, utusan ini memainkan peran penting sebagai jembatan harus bisa menghubungkan semua pihak terkait krisis baik yang ada di dalam maupun di luar Myanmar.
Salah satu hambatan besar dari utusan khusus ini ialah masa jabatannya yang hanya dibatasi selama satu tahun. Dengan masa jabatan yang pendek, sulit bagi utusan untuk bisa membangun komitmen nyata dengan junta militer yang cenderung penuh curiga.
Tentu, dengan minimnya komitmen yang terbentuk, proses dialog yang dibangun dengan Tatmadaw pun akan mudah dimentahkan kembali tiap pergantian utusan.
Selain pendeknya masa jabatan, utusan khusus ini tidak diberikan kewenangan yang lengkap. Sebagai contohnya, saat Tatmadaw tidak melaksakan hasil konsesus.
Tanpa wewenang yang memadai, utusan khusus ini tidak bisa berbuat banyak ketika hasil konsensus tak digubris oleh Tatmadaw. Respons yang diberikan hanya sebatas memberikan evaluasi dan teguran. Akhirnya, hasil evaluasi dan teguran yang diberikan oleh utusan khusus lebih bersifat normatif dan tidak memberikan efek jera pada pemerintahan junta.
Persoalan lain juga nampak pada poin bantuan kemanusiaan ASEAN. Hasil pengamatan Suvinda dan Bunly, peneliti senior Institut Kerja Sama dan Perdamaian Kamboja (CICP), dalam Journal of Greater Mekong Studies 2022 menunjukkan, bantuan kemanusiaan ini bisa jadi justru menguntungkan pihak junta militer.
Sebab, walau diberikan oleh ASEAN, bantuan tersebut didistribusi oleh pemerintahan junta. Hal ini membuat resiko bantuan lebih banyak dikendalikan oleh pihak junta. Proses penguasaan bantuan kemanusiaan ini berpotensi kurang maksimal sampai ke tangan warga Myanmar yang membutuhkan atau justru digunakan untuk kepentingan junta militer.
Baca juga: Saatnya ASEAN Gandeng Mitra Atasi Krisis Myanmar
Simalakama
Masih minimnya implementasi lima poin konsensus dan kian memburuknya situasi kemanusiaan membuat persoalan krisis Myanmar ini semakin urgen untuk segera diselesaikan. Namun, berkaca dari perjalanan selama dua tahun penanganan krisis ini menunjukkan bahwa langkah yang bisa diambil ASEAN tidaklah banyak untuk menyentuh akar permasalahan krisis Myanmar.
Tak hanya itu, ASEAN juga terbentur batas-batas etika diplomatik dan kedaulatan sebuah negara. Dalam hal ini, kesalahan dalam mengambil langkah diplomatik justru bisa membuat situasi di negara tersebut semakin runyam dan berdampak pada stabilitas keamanan regional. Bisa dibilang, ASEAN dan Indonesia sebagai ketuanya kini tengah dihadapkan dengan buah simalakama dalam menghadapi krisis Myanmar.
Jika dilihat dalam analogi wortel dan tongkat (carrot and stick), sebagian besar dari negara anggota ASEAN lebih cenderung memilih pendekatan tongkat atau pentungan dalam menghadapi junta militer. Dalam pendekatan ini, stick diartikan sebagai tongkat yang merujuk pada sanksi atau hukuman. Sementara wortel dimaknai sebagai reward atau insentif.
Pendekatan yang dipilih sebagian negara-negara ASEAN ini selaras dengan kebijakan Amerika Serikat. Hal ini tecermin dari dikucilkannya Tatmadaw di lingkungan ASEAN dan sanksi ekonomi yang diberikan oleh Amerika Serikat.
Di satu sisi, langkah ini tampak benar secara politik. Pendekatan tongkat atau pentungan ini dapat mengukuhkan posisi ASEAN. Namun, pendekatan ini juga memiliki resiko besar yang membuat Tatmadaw semakin tertutup untuk menjalin dialog, apalagi melakukan negosiasi dengan pihak luar.
Di luar pendekatan tongkat atau pentungan, ada pula pendekatan wortel (reward). Namun, pendekatan wortel juga tidak mudah dilaksanakan dalam menyelesaikan krisis ini.
Model pendekatan ini setidaknya pernah dicoba pada 2022 dan belum banyak memberikan hasil berarti. Kesimpulan ini bisa dilihat dari pilihan yang diambil oleh keketuaan Kamboja di 2022 yang cenderung lebih lunak dalam menghadapi Tatmadaw.
Jika dilihat dalam analogi wortel dan tongkat ( carrot and stick), sebagian besar dari negara anggota ASEAN lebih cenderung memilih pendekatan tongkat atau pentungan dalam menghadapi junta militer.
Patut diakui, langkah Kamboja dalam menghadapi krisis ini mampu mendorong dialog dengan pemerintahan junta secara lebih intensif. Tak dapat dimungkiri, terbangunnya dialog ini membuat harapan akan resolusi seakan nampak realistis untuk dicapai.
Namun, pendekatan wortel ini justru menciptakan friksi di dalam tubuh ASEAN itu sendiri. Negara anggota lain yang kukuh pada pendiriannya menganggap langkah Kamboja justru akan menguatkan legitimasi politik junta militer di mata internasional.
Baca juga: Krisis Myanmar Jadi Sorotan KTT ASEAN, Timor Leste Diterima Jadi Anggota Ke-11
Jalur ekonomi
Meskipun pelik, Indonesia masih memiliki peluang dengan menawarkan alternatif baru dalam upaya penyelesaian krisis Myanmar. Alternatif ini pun selaras dengan tema kepemimpinan Indonesia kali ini. Di tengah kebuntuan meja diplomasi, jalur ekonomi ini bisa jadi kunci awal penyelesaian krisis di Myanmar.
Laporan dari Dewan HAM PBB pada 2019 menunjukkan, kekuasaan dari Tatmadaw di Myanmar ini sangat erat dengan penguasaan ekonomi mereka di negara tersebut. Kuatnya pengaruh dari militer ini, meski dijalankan melalui holding perusahaan negara, tidak akan terwujud tanpa adanya investasi dari berbagai perusahaan multinasional.
Laporan Dewan HAM PBB menyebutkan, terdapat 16 perusahaan multinasional yang berbisnis dengan Tatmadaw. Keenambelas perusahaan ini berasal dari Hong Kong, Republik Seychelles, Korea Selatan, Jepang, China, Vietnam, dan Singapura.
Bahkan, di luar 16 perusahaan tersebut, masih ada 44 perusahaan lain yang memiliki kontrak komersial dengan Tatmadaw yang berasal dari sejumlah negara seperti Perancis, Swiss, Thailand, Belgia, Malaysia, Lebanon, dan India. Namun, secara umum, dari 60 perusahaan yang terafiliasi dengan Tatamdaw, sekitar separuhnya berasal dari China.
Temuan dari Dewan HAM PBB ini bisa menjadi landasan awal membangun strategi alternatif melalui diplomasi dengan mitra bisnis Tatamdaw. Strategi diplomasi baik melalui pendekatan carrot atau stick dapat diterapkan untuk mendorong Tatmadaw untuk mau menjalankan konsensus ASEAN dan mengakhiri krisis.
Langkah alternatif ini fisibel untuk dijalankan mengingat kesuksesan Presidensi Indonesia di G20 lalu yang masih menggema. Apabila hal ini bisa terwujud, ikhtiar diplomasi ekonomi yang digencarkan Presiden Jokowi semenjak menjabat tak hanya akan berbekas di mata masyarakat Indonesia saja, tetapi juga dalam lini masa politik regional dan global. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Solusi Alternatif Dunia untuk Myanmar