Daging Mahal Telah Mendarah Daging
Rendahnya konsumsi daging di Indonesia bukan semata karena rendahnya daya beli masyarakat, melainkan lebih karena masalah kesungguhan pemerintah dalam menata kelola swasembada daging.
Tajuk utama Kompas, 23 Maret 2023, yang berjudul ”Impor Daging Gagal Kendalikan Harga” sangat relevan disajikan di tengah harga-harga kebutuhan pangan yang merangkak naik saban bulan suci Ramadhan hingga jelang Lebaran nanti.
Selama beberapa tahun, harga daging (terutama sapi) di Indonesia memang selalu menunjukkan tren naik. Ini membuat masyarakat menengah bawah dengan daya beli rendah menjadi kian sulit mengonsumsi daging. Sungguh ironi, di negeri yang kaya akan aneka ragam kuliner berbahan baku daging, sebut saja rendang, dendeng, sate, dan aneka soto, masyarakatnya justru tidak sanggup membeli daging.
Ini jelas menunjukkan kegagalan pemerintah memutus mata rantai masalah niaga daging. Dan hal ini berpengaruh terhadap semakin menurunnya konsumsi daging di Indonesia. Dari data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) hingga 2019, rata-rata konsumsi daging masyarakat Indonesia hanya sekitar 11,4 kilogram (kg) per tahun per kapita. Angka ini jauh di bawah rata-rata konsumsi daging di negara jiran Malaysia yang sekitar 60,4 kg per kapita.
Baca juga : Impor Daging Gagal Mengendalikan Harga
Rendahnya konsumsi protein hewani jelas berpengaruh terhadap kesejahteraan hidup masyarakat, terutama anak-anak yang masih membutuhkan asupan gizi untuk tumbuh kembangnya. Meski mahalnya harga daging adalah fenomena aktual, masalah ini sebenarnya sudah mendarah daging dalam sejarah pangan Indonesia.
Riwayat konsumsi daging
Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris yang berkuasa di Jawa sejak 1811 hingga 1816, menyinggung dalam bukunya, The History of Java (1817), tentang kesadaran masyarakat di Jawa yang begitu rendah dalam memanfaatkan protein hewani dari hewan-hewan ternak peliharaan mereka. Padahal, pada masa itu, bibit sapi dari India berhasil dibudidayakan secara luas di Jawa. Raffles menyayangkan masyarakat pribumi yang tidak memanfaatkan kandungan protein dari hewan-hewan ternak, terutama daging dan susunya, untuk konsumsi harian mereka.
Sebenarnya Raffles tidak cermat dalam memahami perbedaan standar ideal konsumsi pangan di kalangan orang pribumi dengan orang Eropa (seperti dirinya). Sapi-sapi milik orang-orang pribumi pada masa itu umumnya hanya dimanfaatkan tenaganya untuk menggarap lahan pertanian. Sekalipun dikonsumsi dagingnya, itu pun hanya terjadi pada momen khusus, seperti selamatan dan hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Selain itu, hingga awal abad ke-19, pengetahuan masyarakat terkait gizi belum dikenal secara khusus baik di Hindia Belanda maupun di dunia.
Sapi-sapi milik orang-orang pribumi pada masa itu umumnya hanya dimanfaatkan tenaganya untuk menggarap lahan pertanian.
Barulah pada awal abad ke-20, perhatian terhadap persoalan gizi mulai muncul berkat peran ahli biokimia Amerika Serikat, Casimir Funk, yang pada 1912 memublikasikan temuan thiamine (vitamin B1) dan manfaatnya bagi kehidupan manusia. Temuan Funk terinspirasi dari penelitian beri-beri Eijkman dan Grijns di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 yang menunjukkan bahwa kurangnya nutrisi dalam konsumsi makanan orang-orang pribumi menjadi penyebab penyakit beri-beri.
Setelah Funk memperkenalkan istilah vitamin, perhatian terhadap gizi mulai berkembang luas di sejumlah negeri jajahan, termasuk Hindia Belanda. Berbagai program penyuluhan gizi disiarkan oleh para dokter. Masyarakat pribumi dianjurkan mengubah pola makannya dengan mengonsumsi sumber-sumber vitamin, termasuk daging dan protein hewani lainnya, sebagai salah satu bahan untuk meningkatkan kualitas gizi mereka.
Meski kampanye gizi gencar dilakukan, pengetahuan gizi terkait konsumsi protein hewani hanya menyentuh kalangan pribumi menengah atas. Terlebih pada masa-masa resesi ekonomi dekade 1930-an, masyarakat di desa-desa banyak yang kelaparan. Tak terhitung jumlah anak yang menderita kwashiorkor (busung lapar).
Hanya orang-orang pribumi elite dan berduit saja yang bisa makan bermenukan daging, susu, mentega, dan keju. Masyarakat pribumi menengah bawah menganggap sumber-sumber protein hewani itu adalah ”menunya orang kaya” atau ”menunya orang Belanda”.
Baca juga : Kelaparan Berulang di Papua dan Kegagalan Sistem Pangan Indonesia
Bukti dari rendahnya konsumsi daging terlacak dari penelitian Departement van Economische Zaken (Departemen Urusan Ekonomi) di beberapa wilayah Jawa sejak 1935 hingga 1937. Di Gresik, misalnya, dilaporkan rata-rata asupan masyarakat pribumi terhadap protein hewani, khususnya daging, tidak lebih dari 4 persen. Selebihnya adalah konsumsi beras, ikan, sayur-sayuran, dan kacang-kacangan.
Para ahli gizi menganjurkan agar penduduk dapat menakar kandungan gizi di tengah mahal dan langkanya produk-produk protein hewani. Hal itu mereka siasati dengan memanfaatkan sumber nabati yang memiliki nilai gizi tidak jauh berbeda dari sumber hewani. Di sini, kedelai dan olahannya, seperti tempe, tahu, dan susu, dianjurkan untuk dikonsumsi pada masa-masa sulit.
Rendahnya konsumsi daging juga tidak dapat dipisahkan dari kondisi peternakan yang kian memprihatinkan sejak masa pendudukan Jepang. Jumlah ternak sapi menurun drastis akibat aksi eksploitasi Jepang melakukan penyembelihan massal yang merugikan para peternak. Pada 1944, banyak peternak memutuskan menyembelih ternaknya daripada menjualnya ke tentara Jepang sebagai sikap perlawanan terhadap menurunnya nilai ternak mereka.
Penelitian veteriner yang sebelumnya giat dilakukan pada masa kolonial hampir sama sekali terhenti pada masa Jepang. Ini menjadi sebab lesunya kondisi peternakan di Indonesia yang terus bergulir pada masa setelah kemerdekaan.
Rendahnya konsumsi daging juga tidak dapat dipisahkan dari kondisi peternakan yang kian memprihatinkan sejak masa pendudukan Jepang.
Kondisi peternakan yang nelangsa memengaruhi rendahnya kualitas gizi masyarakat Indonesia. Ahli gizi Soekamto dalam bukunya, Ilmu Makanan (1951), mengungkapkan keprihatinannya melihat banyak anak yang hanya diberi asupan nasi dan kecap saja. Padahal, hidangan ideal keluarga Indonesia mencakup daging, di samping sayur-sayuran dan buah-buahan.
Alasan paling umum dilontarkan banyak orangtua saat itu adalah mitos bahwa daging dapat membuat anak cacingan serta daging dan sayuran tidak disukai anak-anak. Tidak heran jika banyak anak di desa dan kota menderita kwashiorkor, yang ditandai perut buncit, rambutnya seperti rambut jagung, dan terlihat tidak sehat.
Kondisi politik Indonesia yang tidak stabil pada masa Orde Lama turut berpengaruh terhadap terabaikannya sektor peternakan. Dan daging masih menjadi bahan makanan mewah untuk menu sehari-hari.
Daging dan tata kelola pangan
Upaya untuk meningkatkan produksi daging (dan susu) nasional mulai muncul pada 1974 ketika Presiden Soeharto membangun sentra peternakan sapi potong dan perah di Tapos, Kabupaten Bogor. Tujuannya untuk mencapai swasembada daging nasional dan masyarakat dapat memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-harinya sehingga dapat mengurangi volume impor—meski nyatanya impor tetap dilakukan karena kurangnya produksi daging untuk memenuhi kebutuhan konsumsi nasional.
Namun, proyek swasembada daging nasional pada masa Orde Baru dengan segala permasalahannya terhenti sejak akhir dekade 1990-an seiring dengan tumbangnya kekuasaan Soeharto. Dalam laporan FAO, ”World Agriculture Towards 2015/2030” (2003), disebutkan bahwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia turut berdampak pada penurunan konsumsi daging.
Baca juga : Tematik Daging Sapi
Untuk memenuhi kebutuhan daging nasional, maka kebijakan impor lebih dipilih daripada memanfaatkan potensi lahan untuk mengembangkan sektor peternakan. Tentu ada berbagai kepentingan di balik impor sekaligus juga celah praktik korupsi sebagaimana terbukti dari kasus penentuan kuota impor daging yang dilakukan oleh petinggi sebuah partai politik pada 2011.
Di balik sejarah masalah rendahnya konsumsi daging di Indonesia, ternyata ini bukan semata rendahnya daya beli masyarakat, melainkan lebih karena masalah kesungguhan pemerintah dalam menata kelola swasembada daging. Jadi, sungguh keterlaluan jika kita seolah kembali ke kondisi sulit pada masa lalu ketika daging dianggap sebagai makanan mewah dan tidak terbeli oleh masyarakat. Dan bahwa saat ini daging adalah makanan mahal seolah fakta yang telah mendarah daging dalam jejak sejarah pangan kita.
Fadly Rahman, Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran