Impor daging sapi sejak lebih dari setengah abad lalu masih belum diikuti dengan harga yang terkendali. Kelangkaan teratasi, tapi harga tetap tinggi. Ironisnya, rakyat kecil yang justru sering menerima imbasnya.
Oleh
Agustina Purwanti
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Sapi impor dari Australia dipindahkan ke dalam truk usai diturunkan dari kapal Devon Express di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta (22/9/2020). Menurut data Kementerian Pertanian, untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri hingga kini Indonesia masih mengimpor sapi.
Hingga saat ini, impor masih menjadi instrumen yang dipilih Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dan mengendalikan harga daging sapi dalam negeri. ”Fokus pemerintah adalah menjaga ketersediaan barang dan keterjangkauan harga daging,” ungkap Direktur Utama PT Berdikari (Persero) Harry Warganegara, Jumat (17/3/2023).
Terjaganya ketersediaan daging memang tak bisa diabaikan. Sebab, stok yang tidak mencukupi akan menimbulkan ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan. Akibatnya, harga sebagai interaksi antara dua indikator tersebut akan meningkat. Karena itu, pemerintah mengambil langkah impor guna menambal kekurangan daging sapi dalam negeri.
Berdasarkan catatan Outlook Komoditas Peternakan Daging Sapi yang dirilis Kementerian Pertanian tahun 2022, sejak 1969 Indonesia sudah melakukan impor daging sapi sebesar 2.100 ton. Pada periode yang sama, produksi daging sapi Tanah Air sebanyak 164.900 ton.
Data terakhir, impor daging sapi Indonesia tahun 2021 mencapai 276.761 ton atau sekitar 12 kali lipat dari setengah abad lalu. Pada tahun yang sama, Indonesia mampu memproduksi 487.802 ton daging sapi. Dengan total konsumsi nasional yang tercatat 670.799 ton, gabungan pasokan dari produksi dalam negeri dan impor sudah mampu memenuhi kebutuhan nasional, bahkan surplus sekitar 93.000 ton.
YOHANES MEGA HENDARTO
Daging kerbau impor beku asal India dijajakan dalam kemasan oleh pedagang di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur (13/3/2023). Harga daging kerbau impor ini kerap dijual di pasar tradisional dengan sebutan daging sapi impor dengan harga Rp 90.000 hingga Rp. 100.000 per kilogram.
Jika digunakan perhitungan konsumsi berdasarkan data Susenas Badan Pusat Statistik, surplus akan lebih besar. Dengan rata-rata konsumsi per kapita 0,43 kilogram per tahun, total konsumsi daging sapi seluruh penduduk hanya 117.253 ton. Surplus daging mencapai 647.309 ton jika produksi dalam negeri ditambah dengan impor. Tidak terdeteksi lagi adanya kelangkaan atau dapat dikatakan juga tujuan pemerintah untuk menjaga ketersediaan pasokan tercapai.
Idealnya, kondisi yang seimbang tersebut akan membuat harga relatif stabil dan terkendali. Namun, kondisi yang berbeda justru terjadi. Berdasarkan pengamatan data tahunan, harga daging sapi justru kian tinggi seiring dengan volume impor yang kian meningkat.
Berawal Rp 2.536 per kilogram pada 1983, harga daging sapi terus merangkak naik hingga menembus lebih dari Rp 100.000 per kilogram sejak 2015. Merujuk publikasi Kementan dan Bank Indonesia, kini harga rata-rata daging sapi sudah lebih dari Rp 130.000 per kilogram. Pantauan yang dilakukan di sejumlah pasar di Jakarta, seperti Pasar Induk Kramat Jati, Pasar Induk Senen, Pasar Palmeriam, dan Pasar Manggarai menunjukkan harga tersebut.
Tak dapat dimungkiri, inflasi akan membuat harga barang terus meningkat. Persoalannya, persentase perubahan harga daging sapi dari tahun ke tahun selalu lebih tinggi daripada tingkat inflasi. Jika dirata-rata, inflasi sepanjang tahun 1983-2022 sebesar 8,6 persen. Sementara, rata-rata perubahan harga daging sapi pada periode yang sama mencapai 11,5 persen.
YOHANES MEGA HENDARTO
Pedagang menyiapkan potongan daging sapi sejak subuh di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur (13/3/2023). Harga daging sebelum memasuki bulan puasa berada di Rp 130.000 hingga Rp 140.000 per kilogram untuk daging has dalam. Sementara untuk daging sapi impor dijual dengan harga mulai dari Rp 120.000 per kilogram.
Fakta itu seolah menafikan tujuan impor untuk mengendalikan harga. Tak hanya terkendalinya harga karena keseimbangan antara pasokan dan permintaan, pemerintah pun secara spesifik melakukan impor untuk menurunkan harga.
Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 disebutkan, jika harga daging sapi di bawah harga referensi, importasi akan ditunda. Saat itu harga referensi sebesar Rp 76.000 per kilogram. Sebaliknya, impor akan dilakukan jika harga daging sapi menembus harga referensi. Faktanya, sejak saat itu harga daging sapi justru terus meningkat.
Analisis korelasi antara impor daging sapi dan harga pun menemukan hasil yang senada. Nilai korelasi sebesar 0,89 pada tingkat kepercayaan 99 persen menunjukkan, kedua variabel itu memiliki hubungan yang signifikan. Artinya, kenaikan impor daging sapi akan diikuti oleh kenaikan harga dan sebaliknya.
Padahal, impor dilakukan karena diyakini harganya lebih murah daripada daging lokal. Idealnya, dengan masuknya daging impor yang lebih murah tersebut akan mampu menurunkan harga daging sapi dalam negeri. Apalagi, stok daging dalam negeri kian melimpah.
Asimetri informasi
Jika kelangkaan tidak terjadi tetapi harga tetap tinggi, boleh jadi ada hal lain yang memengaruhi. Profesor Tjeppy Daradjatun Sudjana, purnakarya peneliti utama Balitbang Kementan, mengatakan kemungkinan lain, yakni permainan stok.
”Kalau harga tinggi, artinya ada kelangkaan. Atau ada stok banyak, tetapi dikeluarkan sedikit-sedikit saja,” tegasnya. Hal tersebut bukan tidak mungkin dilakukan lantaran daging sapi tetap terjaga kualitasnya meski disimpan enam bulan dalam alat pendingin.
Mantan Direktur Jenderal Peternakan 2007-2010 itu juga mengatakan bahwa asimetri informasi juga dapat berdampak pada harga tinggi. Kendati harga daging impor lebih murah, tidak serta-merta menurunkan harga. Praktik pengoplosan daging masih marak di pasaran. Misalnya daging kerbau India yang harga impornya bisa setengah dari harga lokal dijual dengan harga setara daging sapi.
Dengan demikian, konsumen membayar lebih tinggi untuk kualitas daging yang tidak sesuai. Ironisnya, ketidakadilan harga itu justru sering menyasar kalangan menengah bawah karena praktik serupa lebih sering terjadi di pasar tradisional.
Berbeda dengan konsumen kalangan menengah atas yang justru mendapatkan harga yang lebih jujur. Sebab, mereka lebih sering belanja di pasar modern yang mencantumkan label harga sesuai dengan jenis daging.
Di lain sisi, alih-alih mendapatkan keuntungan dari harga yang kian tinggi, peternak lokal justru merugi. Mereka kalah bersaing dengan daging impor yang kini membanjiri pasar. Jika mereka berhenti berproduksi, daging impor akan mengalir lebih deras ke Tanah Air. Swasembada daging sapi tinggal ilusi dan stabilitas harga kian tak pasti. Di tengah tren meningkatnya permintaan daging menjelang Lebaran, ketidakpastian harga akan terus mengimpit konsumen. (LITBANG KOMPAS)