Anatomi Hukum Transaksi Mencurigakan
Persoalan transaksi mencurigakan menjadi persoalan hukum yang tak sederhana jika pelakunya belum diputus bersalah oleh pengadilan. Agar harta kekayaan dari kejahatan dapat dirampas, pelaku harus divonis terlebih dahulu.
Putusan pengadilan atas diri pelaku tindak pidana pencucian uang menjadi syarat bagi pembekuan dan perampasan harta kekayaan yang tidak wajar. Bukan sebaliknya, merampas hartanya, tetapi membiarkan pelaku tak tersentuh hukum.
Berita mengenai harta kekayaan pejabat Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo, sangat menarik perhatian masyarakat.
Bukan saja jumlah harta kekayaan yang dilaporkannya melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sangat fantastis, temuan adanya uang dalam safe box deposit yang mencapai puluhan miliar rupiah juga sangat mencengangkan. Ketidakwajaran harta kekayaan itu menjadi sorotan karena tak sesuai dengan profilnya sebagai aparatur sipil negara (ASN).
Opini publik sudah terbentuk bahwa yang bersangkutan dianggap melakukan pencucian uang. Meski demikian, kita belum mengetahui tindak pidana apa yang ia lakukan selain hanya patut menduga sementara bahwa perolehan harta kekayaan itu terkait dengan tindak pidana korupsi karena yang bersangkutan adalah pejabat negara di Kemenkeu.
Selain itu, patut diduga harta kekayaan yang tidak wajar itu berasal dari tindak pidana (proceed of crime) karena mustahil ia memperoleh kekayaan sebesar itu jika hanya bersumber dari gaji dan pendapatan yang sah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, menyebut Rafael menerima gratifikasi dari sejumlah wajib pajak sejak 2011.
Menjadi pertanyaan, dapatkah harta kekayaan tersebut disita dan dirampas, sementara pelakunya belum dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana?
Baca juga : RUU Perampasan Aset, antara Urgensi dan ”Alergi”
Baca juga : Penyerahan Surpres RUU Perampasan Aset Berkejaran dengan Masa Reses DPR
Transaksi mencurigakan
Kekayaan pejabat yang tidak wajar secara normatif ada hubungannya dengan transaksi mencurigakan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Apa yang dimaksud dengan transaksi mencurigakan (suspicious transaction)?
Merujuk pada Penjelasan Pasal 23 UU TPPU, transaksi mencurigakan adalah transaksi yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan profil serta transaksi perbankan yang melebihi Rp 500 juta secara kumulatif dalam satu hari.
Transaksi mencurigakan tergolong transaksi yang tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas, menggunakan uang tunai secara eksesif di luar kewajaran dan berulang-ulang, serta aktivitas transaksi di luar kewajaran.
Transaksi mencurigakan harus dilaporkan lembaga keuangan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). PPATK nantinya akan melakukan analisis: apakah ketidakwajaran harta kekayaan itu terkait dengan tindak pidana atau bukan.
Jika diduga ada indikasi pidana, PPATK dapat meneruskannya kepada aparat penegak hukum untuk penyelidikan. Hasil analisis PPATK yang diserahkan kepada aparat penegak hukum setidaknya menjadi bukti permulaan terjadinya suatu peristiwa pidana.
Persoalan transaksi mencurigakan menjadi persoalan hukum yang tidak sederhana manakala pelakunya belum diputus bersalah oleh pengadilan. Sebab, pencucian uang tergolong tindak pidana lanjutan (subsequent offense), bukan tindak pidana yang berdiri sendiri (independent crime), sehingga pencucian uang sangat tergantung pada tindak pidana induknya.
Sebagai tindak pidana lanjutan, yang berorientasi pada perbuatan untuk menyembunyikan dan menyamarkan hasil kejahatan, ia tidak dapat dilepaskan dari tindak pidana pokok/asal (predicate offense) sebagai sumber perolehan harta kekayaan. Oleh karena itu, tidak mungkin harta kekayaan yang diduga hasil kejahatan dapat dirampas tanpa terlebih dahulu pelakunya diputus bersalah secara inkracht oleh pengadilan.
Dengan kata lain, pelaku harus terlebih dahulu divonis melakukan tindak pidana pokok (primary crime), agar harta kekayaan yang berasal dari kejahatan secara hukum dapat dirampas atas dasar pencucian uang (secondary crime).
Hubungan TPPU dan tindak pidana pokok
Mengapa tindak pidana pokok penting dibuktikan terlebih dahulu sebelum perampasan terhadap harta kekayaan yang tidak wajar dilakukan. Hal ini penting untuk menentukan sebab (kausal) guna memastikan adanya pencucian sebagai akibat. Ujungnya nanti dicari ”hubungan” (relationship of crime) antara pidana pokok dan pidana lanjutan, karena dalam pencucian selalu ada hubungan sebab-akibat (cause and effect). Jika kausal atau sebabnya ilegal, akibatnya juga ilegal. Sebaliknya, jika kausalnya legal, mustahil akibatnya ilegal.
Bagaimana jika akibatnya ilegal, apakah sudah pasti sebabnya ilegal pula? Untuk yang terakhir ini, perlu dibuktikan apakah seseorang yang menguasai harta kekayaan yang ilegal tersebut memiliki pengetahuan atau kesadaran akan asal-muasal harta dimaksud? Jika tidak, tentu ia tidak bisa dipersalahkan karena dalam hukum pidana ada asas ”tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.
Di sisi lain, ketentuan Pasal 69 UU TPPU menyatakan bahwa tindak pidana pokok/asal tak wajib dibuktikan terlebih dahulu. Pasal ini terkesan bahwa jika sudah cukup bukti terjadinya pencucian uang, tindak pidana asal tidak perlu dibuktikan (terlebih dahulu).
Mengapa tindak pidana pokok penting dibuktikan terlebih dahulu sebelum perampasan terhadap harta kekayaan yang tidak wajar dilakukan.
Jika merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 77/PUU-XII/ 2014 terkait Pasal 69 yang menganggap bahwa adalah tidak adil jika TPPU sudah nyata, tetapi tidak diproses pidana hanya karena tindak pidana pokok tidak dibuktikan terlebih dahulu, maka dari pertimbangan MK ini terkesan bahwa pencucian uang seakan tergolong tindak pidana yang berdiri sendiri yang tidak tergantung pada pidana pokok.
Padahal, jika dicermati, baik regulasi maupun pertimbangan MK pada hakikatnya tidak bermaksud mengesampingkan dibuktikannya tindak pidana asal, selain hanya menyangkut perlu tidaknya tindak pidana pokok dan pencucian uang disidik/dituntut secara terpisah atau bersamaan.
Oleh karena itu, untuk memahami tafsir ini perlulah didudukkan pada perspektif pragmatis, mengingat pencucian uang tergolong kejahatan luar biasa, yakni bahwa jika penyidikan atau penuntutan terhadap pencucian uang dilakukan secara terpisah dengan tindak pidana pokok, dikhawatirkan harta kekayaan hasil kejahatan/pencucian uang akan sulit dilacak atau disita sehingga perlu pendekatan yang lebih progresif dengan menggabungkan penyidikan dan penuntutan secara bersamaan. Pendekatan ini lebih masuk akal. Artinya, tak perlu menunggu dilakukannya pembuktian terhadap tindak pidana pokok terlebih dahulu. Hal itu dimaksudkan untuk memudahkan asset recovery.
Dengan begitu, sepanjang menyangkut ”penyitaan” atas harta kekayaan terkait pencucian uang dapat dibenarkan sesuai Pasal 39 Ayat (1) KUHAP. Bahkan, PPATK sendiri berwenang meminta penyedia jasa keuangan menghentikan sementara transaksi yang mencurigakan.
Keabsahan perampasan hasil TPPU
Meski demikian, ”perampasan” terhadap harta kekayaan terkait pencucian uang tanpa membuktikan tindak pidana pokok tergolong harassment terhadap kepastian hukum, karena kesalahan terdakwa atas tindak pidana pokok merupakan prasyarat bagi perampasan harta kekayaan. Tanpa putusan pengadilan dimaksud, keabsahan perampasan harta kekayaan yang tidak wajar tidak legitimate.
Hal itu tecermin dari amar vonis pengadilan yang setelah terdakwa dinyatakan bersalah, harta kekayaan hasil kejahatan dapat dirampas atau dikembalikan kepada yang berhak.
Persoalan pencucian uang, khususnya menyangkut transaksi mencurigakan, adalah persoalan hukum yang sarat dengan norma dan hukum pembuktian. Tidaklah cukup hanya karena harta kekayaan seorang pejabat tidak wajar dan tak sesuai profil, serta-merta ia dianggap telah melakukan pencucian uang.
Perlu pembuktian mengenai perolehan harta kekayaan dimaksud oleh jaksa, termasuk melalui mekanisme pembuktian terbalik sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UU TPPU. Dalam hal ini, putusan pengadilan atas diri pelaku menjadi syarat bagi pembekuan dan perampasan harta kekayaan yang tidak wajar. Bukan sebaliknya, merampas hartanya, tetapi membiarkan pelaku tidak tersentuh hukum.
Efendi Lod Simanjuntak,Praktisi Hukum dan Dosen Universitas Prasetiya Mulya