Menjemput Kematian yang Agung
Kami berpikir dan mengada karena leluhur yang berpikir dan mengada. Engkau berpikir dan kemudian mengada, karena aku berpikir dan mengada.
Malam tiba-tiba seperti mati. Lampu-lampu dipadamkan. Seluruh keluarga bersiap melepas kepergian Ni Ketut Kalih (81), bibi kami yang meninggal sebelum hari raya Nyepi. Jenazahnya sempat dititipkan di peti pendingin Rumah Sakit Umum Daerah Jembrana. Bibi meninggal karena komplikasi berbagai penyakit di dalam tubuhnya. Ia mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Malam itu, kami semua keluarga sedang melakukan ritual pralina, sebuah ritus melepaskan kepergian si mati untuk berpindah dunia. Bibi akan hidup di dunia para roh dan menyandang sebutan baru sebagai pitra, menjalani silsilah sebagai leluhur.
Di sela-sela gelap malam Ratu Peranda (pendeta) melantunkan tembang pelepasan roh:
Mamuit narendraatmaja tapowana
Manganjali yagraning indra parwata
Tan wismreti sangkan ikang hayun teka
Swabawa Sang Sadjana rakwa mangkana
(Pamitlah Sang Arjuna dari tengah hutan tempatnya berguru
Ia menghaturkan sembah ke puncak Gunung Indrakila
Tak lupa dari mana kebahagiaan itu berasal
Begitulah senantiasa prilaku sebagai manusia yang mulia)
Sebenarnya tembang ini dipetik dari Bharatayuda dalam wirama girisa, yang menyayat-nyayat hati. Sering kali bahkan ada anggota keluarga yang melihat roh si mati perlahan-lahan terangkat dari jasadnya yang terbaring. Setelah beberapa saat mulai terdengar suara genta dari pendeta. Setiap ketukan adalah lompatan langkah menuju alam sunya, alam roh yang diimajinasikan sebagai alam keheningan yang agung. Di situ kesucian bertakhta di dalam diri para leluhur.
”Kita telah melepas si mati dengan ikhlas. Esok hari jasadnya sudah siap diberangkatkan ke kuburan untuk kemudian dilebur oleh api,” kata Pendeta. Kami semua tiba-tiba merasa sangat plong, seolah kesedihan hanya jejak masa lalu. Jika air mata kami masih mengalir, itu pun karena kami berbahagia bahwa Me Tut Kalih, begitu kami memanggilnya, sudah ”berhasil” kami antarkan sebagai bagian dari dunia para leluhur.
Esok harinya, Minggu (26/3/2023) dengan langkah ”gagah dan tabah” kami mengusung jenazah Me Tut Kalih menuju setra Desa Lelateng. Ini adalah kuburan desa kami yang mungkin sudah ada sejak ratusan tahun silam. Dulu di setra ini terdapat dua pohon kepah kembar dan hampir seluruh upacara ngaben dilakukan di bawahnya. Kini pohon kepah kembar itu sudah tiada dan berganti pohon beringin besar di sudut setra. Meski hampir sudah tidak ada lagi gundukan makam, kuburan tua itu tetap terasa angker. Saat melangkah ke garis depan setra, bulu kudukku selalu berdesir dan leher di bagian belakang seperti menebal.
Me Tut Kalih akhirnya dikremasi dalam satu ritus pengembalian jasad manusia kepada asal mula ia berasal. Hal yang menarik dan unik, meski sudah menjadi penghuni alam leluhur, eksistensinya sebagai ”manusia” tidak pernah sirna. Kami kemudian men-stana-kannya di pura keluarga sebagai leluhur, yang sehari-hari kami sebut sebagai Sanggah Kemulan (tempat suci asal-mula). Oleh sebab itu, kematian bukan akhir dari segalanya. Roh hanya berpisah dari badan, tetapi tetap memiliki ketersambungan dalam relasi ”kekeluargaan”. Bedanya, jika roh menghuni alam leluhur atau niskala, manusia menjadi penghuni alam skala.
Baca juga: Dan Kematian (Pun) Makin Akrab
Entah kebetulan atau sesuatu yang telah terhubung secara kosmik, sehari sebelum kremasi Me Tutu Kalih, kami yang memiliki pertalian darah Tionghoa melakukan sembahyang Cheng Beng. Aku dan pihak keluarga istriku melakukan ziarah secara meriah ke makam engkong kami, Tjeng Tik So, yang lahir di daerah Hokkian, Tiongkok Selatan, 5 Maret dan wafat di Negara, 8 Maret 1983. Engkong wafat pada usia 88 tahun setelah sangat kelelahan menghadapi penyakit liver yang menderanya.
Tradisi Cheng Beng, yang konon berkembang sejak Dinasti Tang pada tahun 732 M itu, mengantarkan seluruh keluarga berkumpul di makam para leluhur. Kami semua menghias makam Engkong dengan bunga aneka warna, membawa uang kertas, serta makanan terenak yang bisa kami sajikan. Upacara pemujaan kepada nenek moyang ini memperlakukan leluhur seperti orang yang masih hidup. Engkong seolah-olah masih bisa duduk bareng dan makan bersama kami. Sering kali kami bahkan menyiapkan makanan seperti samseng, yakni dari tiga jenis hewan, seperti ayam, ikan, dan babi, serta kue-kue terenak yang menjadi kesukaan leluhur.
Kami juga mengirim banyak uang perak dan emas kepada Engkong dengan cara membakarnya. Kami membayangkan, Engkong akan cukup punya bekal selama ”hidup” di dunia arwah, yang dalam terminologi Bali disebut sebagai niskala dan kepada kami di dunia skala diberikan kebahagiaan dan kemakmuran.
Secara substansial ziarah ke makam saat Cheng Beng bermakna menyambungkan tali ”kekeluargaan”, yang selama ini telah terjalin dengan para leluhur. Selain itu, terdapat pula semacam inisiasi ke dalam diri (keluarga), bahwa eksistensi manusia di masa kini tak pernah terlepas begitu saja dari keberadaan para leluhur. Kami berpikir dan mengada karena leluhur yang berpikir dan mengada. Engkau berpikir dan kemudian mengada, karena aku berpikir dan mengada. Begitulah bahasa simbolik yang menyertai keberadaan ritus Cheng Beng.
Di situ kita menemukan makna yang bersisian antara ngaben atau kremasi dengan Cheng Beng. Keduanya menjadi ritus pengagungan terhadap kematian. Bahwa kematian adalah sesuatu yang niscaya dan oleh sebab itu, manusia yang hidup dan yang mati, perlu saling ”mempersiapkan” diri untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
Sesungguhnya itulah pengejawantahan dari ajaran Karma secara lebih spesifik. Hidup dan mati, tidak bisa diputus oleh takdir. Manusia akan selalu berusaha ”menolak” takdir kematian dengan cara melakukan ritus kubur, yang begitu banyak terjadi dalam praktik kebudayaan di dunia. Entah di mana sesatnya kemudian, kubur atau kuburan menjadi identik dengan sesuatu yang menyeramkan. Bahkan hampir identik pula dengan dunia perhantuan.
Coba saja simak kembali betapa banyak film horor yang mengisahkan tentang roh gentayangan di alam kubur. Sering pula dilukiskan roh yang gentayangan itu kemudian menuntut balas dendam dengan mengejar-ngejar manusia yang hidup.
Sementara itu dalam banyak ajaran dan kepercayaan, kuburan atau alam kubur justru menjadi tali penyambung ”keterputusan” dunia nyata (skala) dengan dunia maya (niskala). Barangkali pula lantaran percaya kepada ajaran Karma, sampai tahun 1903 di Bali masih terdapat upacara mesatya.Mesatya tak lain disebut sebagai upacara pengorbanan diri sebagai simbol rasa bhakti terhadap seorang suami atau junjungan yang sangat dihormati.
Laporan Pierre Dubois, pengawai pemerintah kolonial Belanda, tahun 1829 secara khusus hadir ke Bali untuk membuat laporan tentang upacara mesatya dari istri I Gusti Ngurah Pemecutan, seorang raja dari Kerajaan Badung. Sebagaimana dimuat dalam jurnal Kandu Supatra, Dubois melukiskan penglihatannya saat menyaksikan upacara mesatya. Ia menulis seperti ini:
”Sekarang terlihatlah seorang dari bela (baca: orang yang masatya) berjalan ke ujung jembatan… Semua penonton menggumamkan kidung pemakaman… Bela itu melonggarkan ikatan rambutnya, membiarkannya jatuh terburai di pundaknya… Dia menjinjingkan kain sarungnya setinggi lututnya… menari seperti orang kesurupan……Ayahnya memberikan sebilah keris kepadanya. Dia melukai lengan dan bahunya dengan keris itu… Darah mengucur dari lukanya dan dia memerahkan dahinya dengan darahnya. Perbuatan itu bertujuan menunjukkan kepada keluarganya,---yang selalu mendorong-dorongnya untuk ikut mesatya dan memberani-beranikan dirinya---, bahwa dia tidak takut pada kematian…”.
Mesatya memang terlihat sebagai dramatisasi terhadap kematian, ketika seorang perempuan menunjukkan kesetiaannya dengan melompat ke dalam bara api. Dalam sekejap ia berkubang kematian di pangkuan Sang Hyang Brahma, sebagai penguasa api. Tetapi sesungguhnya, mesatya menempatkan kematian sebagai keagungan, sesuatu yang dipercaya membawa manusia ke dalam kesunyataan abadi. Kesunyian yang menempatkan roh ke alam kedamaian. Sebab bukankah kedamaian itu yang menjadi ”incaran” manusia sejak masih hidup sampai kemudian ia mati?
Baca: Intuisi untuk Mati
Lantaran dicap sebagai tindakan barbar, terutama karena laporan Dubois, pemerintah kolonial Belanda kemudian melarang mesatya sejak tahun 1903. Tindakan ini juga dianggap mencederai rasa kemanusiaan, terutama karena merendahkan derajat perempuan. Jika lelaki yang mati, mengapa harus perempuan yang berkorban?
Pertanyaan ini dijawab dengan cara simbolik oleh kitab Ramayana. Ketika Rama meragukan kesucian Sinta, ia meminta istrinya terjun ke dalam api yang sedang membara untuk membuktikan kesetiaannya. Dengan langkah mantap tanpa sedikit pun rasa ragu, Sinta menatap ketinggian balkon kerajaan Ayodya. Ia tak ragu pula bahwa selama berada dalam penyekapan oleh Rahwana, tak sedikit pun kulit tergores oleh kebrutalan penculiknya. Ketika akhirnya Sinta benar-benar tidak terbakar oleh api, Rama kemudian menerimanya kembali sebagai permaisuri.
Di situ, kematian bukan jawaban atas kesetiaan, melainkan kesetiaan tak bakalan lenyap karena jilatan amarah api. Seharusnya Rama menanggung rasa malu dan rasa bersalah yang begitu dalam karena meragukan kesetiaan istrinya. Dan bukanlah lelaki senantiasa mengelak, jika perempuan menuntutnya untuk melakukan pembuktian yang sama atas kesetiaannya?
Ups, kisah kita jadi berkembang terlalu jauh. Coba kembali merunut jalan tentang kematian. Ketika jasad Me Tut Kalih benar-benar luluh menjadi abu, asap cuma partikel kecil dari gugusan awan di atasnya. Ia kemudian berdesir seperti angin dan meresap ke dalam rasa seperti ether. Diam-diam aku merasakan ia menyatu ke alam makrokosmos yang membentuk tatanan semesta raya. Begitulah kematian sesungguhnya ”hanya” memindahkan energi yang menyusun struktur makhluk hidup dari mikrokosmos menuju sesuatu yang lebih bebas dan besar, di mana ia berasal mula: alam semesta.
Baca juga: Pertemuan Terakhir dengan Riantiarno dalam Percakapan yang Tak Selesai