Pertemuan Terakhir dengan Riantiarno dalam Percakapan yang Tak Selesai
Di dinding poster-poster sejak mula Teater Koma berpentas menjadi saksi betapa banyak yang telah kau kerjakan.
Aku sama sekali tak menduga kalau hari Selasa (17/1/2023) pukul 12.20 menjadi pertemuan terakhir kita yang menyesakkan. Sehari sebelumnya kau baru pulang setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit. Lewat anakmu, Rangga, aku tahu katanya kau terus bertanya tentang rumah. Katanya juga kau merasa bosan dirundung kesepian di bilik rumah sakit. Bertemu dokter dan perawat dengan pakaian yang serupa, udara mampat dan bercampur bau obat, serta selang-selang tali infus telah membuatmu merasa seperti seseorang yang tak berdaya. Situasi itu telah membuatmu mudah merasa terintimidasi. Oleh sebab itu, pulang ke rumah adalah jalan terbaik untuk tak terlibat percekcokan yang terlalu dalam dengan kondisi sebuah rumah sakit. Sebagus-bagusnya rumah sakit, tetap saja ia tidak diperuntukkan bagi mereka yang sehat.
Baca juga: Teater Koma Menolak Tunduk Hadapi ”Pageblug”
Meski belum boleh dibesuk ke rumah, aku bersama istriku memaksa. Sebab, bukankah kita pernah berjanji untuk bertemu di bulan Desember lalu? Pagi-pagi kami memasak menu Bali kesukaanmu: ayam betutu dan sate lilit. Lalu siang hari, tepat pukul 12.00, kami sudah berdiri di pintu gerbang depan rumahmu. Walau sudah berkali-kali menekan bel, tak ada seorang pun yang membuka pintu. Entah mengapa, markas Teater Koma yang kau ampu siang itu sangat sepi. Lantaran kehabisan akal, kami akhirnya menelepon Mbak Ratna (Ratna Riantiarno). Di seberang telepon, Mbak Ratna minta maaf telah ingkar janji. Katanya, Mas Nano (N Riantiarno) ditelepon rumah sakit karena mendapatkan giliran kontrol kesehatan.
”Kami harus berangkat agak pagian karena harus antre BPJS, lama sekali…,” kata Mbak Ratna. ”Dan telepon dari rumah sakit ini datang tiba-tiba. Lalu lupa kalau punya janji dengan kalian,” tambahnya.
”Oh ya ampun, semoga kontrol kesehatan Mas Nano berjalan baik. Kami titipkan saja makanannya ya,” kata istriku. Seseorang tiba-tiba muncul dari dalam rumahmu. Mungkin ia penjaga yang tadi sibuk di kamar mandi sehingga tidak mendengar bel rumah berdering.
Rangga juga bilang dalam pertemuan keluarga dengan dokter, akhirnya diputuskan bahwa kau boleh pulang dengan syarat tetap didampingi perawat. Sewaktu aku menengokmu memang sudah ada perawat yang setiap saat siap mengontrolmu. Bahkan, siang itu, ia sedang sibuk meracik obat yang nanti akan diberikan kepadamu.
Baca juga: Evolusi di Balik Panggung Pertunjukan
Kau tiba-tiba menjadi pendiam. Cuma berbaring dengan sesekali membuka matamu. Aku tahu, kau sedang melawan sesak napasmu yang makin menjadi-jadi. Kanker itu, seperti kata doktermu, telah menjalar sampai ke paru-paru. Padahal, kira-kira beberapa bulan lalu, ia cuma bertumbuh di sepanjang kaki bagian kirimu. Dan itu pun sudah dioperasi dengan sukses. Kau bahkan menunjukkan luka bekas operasi yang memanjang hampir sejauh satu meteran. Kulitmu sudah pulih kembali walau meninggalkan bekas luka yang sayat yang vertikal.
”Nanti Joan dan Can akan ajak kita kulineran ke Bali, tapi sembuh dulu,” kata Mbak Ratna untuk memecah kebuntuan dialog kami.
”Ya kita kulineran siobak yuk…,” timpal Joan, istriku.
Lalu kami diam sejenak. Matamu terpejam. Mungkin sedang berimajinasi tentang beragam kuliner Nusantara yang pernah kita buru bersama di sejumlah kota. Dari bibirmu yang seolah membeku, hanya keluar suara desis:
”Siobak itu apa?”
Kita memang belum pernah menyantap menu ini bersama. Joan menerangkan bahwa siobak adalah masakan khas dari Kota Singaraja yang mendapat pengaruh masakan China. Bahan dasarnya dari daging babi yang dipanggang sampai renyah dan dihidangkan dengan saus tauco berwarna coklat matang. Sangat lezat jika disantap dengan sedikit nasi putih. Yum… dijamin kau yang doyan makanan enak tak akan berhenti menyantapnya. Aku jamin itu.
”Kalau sembuh kita Bali ya…,” ajak Mbak Ratna.
Kau hanya tersenyum kecil. Aku memegang tanganmu. Terasa hangat walau tampak pucat. Coba aku urut-urut bagian punggungnya. Kau sama sekali tidak memberi reaksi. Sempat pula aku memijat bagian kakimu. Masih sangat segar. Ada janji aliran kehidupan yang akan berjalan lama. Begitu yang kurasakan.
Tiba-tiba kau minta agar tempat tidurmu ditinggikan. Rangga berusaha menekan beberapa tombol di remote control untuk mengatur sandaran tidurmu. Tak lama setelah itu, kau sedikit meringis. Katamu, punggungmu terasa pegal. Mungkin karena terlalu lama berbaring. Oh ya, soal itu Rangga juga cerita kalau punggungmu terluka karena kapalan. Mbak Ratna ambil inisiatif untuk sedikit memijat bagian bahu dan punggungmu. Setelah sedikit merasa nyaman, kau mulai memejamkan mata. Kami perlahan-lahan mau minta diri. Kami ingin memberimu lebih banyak waktu untuk istirahat.
Ketika berpamitan, kau tiba-tiba terbangun dan berkata lirih.
”Terima kasih, terima kasih…,” katamu. Pelan-pelan kuletakkan kembali tanganmu. Dan kami pun pamit dengan memegang janji akan mengajakmu makan siobak suatu hari kelak.
Kupikir percakapan kita jauh dari selesai. Kau yang biasanya menggebu-gebu ketika kita bercakap-cakap tentang apa pun, tiba-tiba lebih banyak diam. Hanya napasmu yang coba kau tarik dalam-dalam untuk menghela rasa sesak di dada. Aku lihat kau sangat tersiksa. Sampai kemudian kami benar-benar permisi, aku memendam banyak kekhawatiran tentang dirimu. Bahkan diam-diam, kami ingin membesukmu lagi dalam waktu dekat.
Ketika Jumat (20/1/2023) pagi aku menghidupkan telepon, tiba-tiba sebuah pesan melenting. Bisa jadi itu kabar duka, pikirku. Benar saja, Mbak Ratna memberi kabar bahwa kau berpulang pukul 06.58 di saat seseorang seharusnya terbangun dari tidurnya. Tetapi kau memilih menutup matamu. Bukan untuk tidur, melainkan pulang ke rumah Tuhan untuk selama-lamanya.
Baca juga: Pendiri Teater Koma, Nano Riantiarno, Telah Pergi
Perasaan dukaku yang dalam tak bisa kutuliskan lewat epilog ini. Ada harapan dan janji yang tiba-tiba dihempas ke tanah. Lalu angin bertiup dan membentur-benturkannya ke dinding bebatuan. Ada rasa sakit yang berkeping-keping lalu menjalar ke sekujur tubuhku. Spontan kami berdua berkemas. Bahkan, anak sulungku, Angel, yang mengenalmu dengan baik sejak kecil, turut pula berkemas. Kami seolah tak mau kehilangan kesempatan menjadi yang pertama-tama melayat ke rumahmu.
Gerbang markas Teater Koma di Jalan Cempaka Raya, Bintaro, Jakarta Selatan, itu sudah sejak pagi terbuka. Hari ini tidak ada latihan, tetapi beberapa orang sudah berkemas di selasar belakang di mana biasanya para aktor berlatih. Kursi-kursi ditata berderet menghadap ke balai-balai di mana nanti kau dibaringkan. Di dinding poster-poster sejak mula Teater Koma berpentas menjadi saksi betapa banyak yang telah kau kerjakan. Tidak sekadar latihan menghafal dialog untuk kemudian pentas, tetapi semuanya berbicara tentang pahit getirmu menegakkan dunia yang doyong karena abai pada nilai kebenaran. Saat Orde Baru berkuasa, pementasan Opera Kecoa (1990) dilarang pentas. Lakon yang sedianya dibawa keliling Jepang itu pun urung dilakukan karena larangan pemerintah Indonesia.
Baca juga: Nano Riantiarno Mencapai Titik Akhir
Kau bercerita, saat itu bolak-balik dipanggil polisi, ditanya hal-hal yang sama selama beberapa jam. Meski sudah diinterograsi selama berjam-jam dan kau mengaku sangat lelah, izin pementasan Opera Kecoa tak kunjung keluar. Sebagai jurnalis muda yang suatu waktu mendengar kisah itu langsung darimu, aku tak percaya. Sungguh tak masuk akal bagiku. Bagaimana mungkin lakon yang berkisah tentang orang-orang kecil, yang hidupnya seperti kecoa, melata di lorong-lorong di sekitar gedung-gedung tinggi, dicap berbau politis. Bahkan dituduh merongrong pemerintah Soeharto. Bagaimana menurutmu jika membaca ulang tentang pelarangan itu?
Baca juga: Fenomena Koma
Sekali lagi tak masuk akal, bukan? Setiap pementasan teater, termasuk pembacaan puisi di kampus-kampus harus mendapat izin dari instansi pemerintah seperti polisi dan bahkan militer, terutama Kodim (Komando Distrik Militer). Aku jadi ingat, sewaktu seorang mahasiswa seniorku ingin membaca puisi ”Sajak Anak Muda” karya WS Rendra di kampusku. Sajak itu harus diserahkan terlebih dahulu kepada instansi militer sebelum dibacakan di kampus.
Kesimpulannya, bait terakhir sajak Rendra yang berbunyi://…Kita adalah angkatan gagap/Yang diperanakkan oleh angkatan kurang ajar/Daya hidup telah diganti oleh nafsu/Pencerahan telah diganti oleh pembatasan/Kita adalah angkatan yang berbahaya//, dianggap menyerang pemerintah. Oleh sebab itu, pembacaan sajak itu dilarang keras. Pelarangan itu dibarengi intimidasi kepada mahasiswa di kampusku. Para intel berseliweran hadir dalam acara internal, yang hanya merayakan ulang tahun kampus kami tanggal 29 September.
Sajak itu harus diserahkan terlebih dahulu kepada instansi militer sebelum dibacakan di kampus.
Jadi kau dianggap sebagai angkatan berbahaya. Seni dicurigai sebagai agen yang bisa memobilisasi demonstrasi. Meski lembaga semacam Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang dibentuk paska-tragedi 1965 oleh Pemerintah Soeharto, telah dibubarkan pada 5 September 1988, masih ada Bakorstanas (Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional), yang kira-kira perilakunya serupa dengan Kopkamtib. Dia menjadi lembaga yang punya kewenangan untuk menangkap politisi, membubarkan aksi mahasiswa, dan menutup media massa.
Baca juga: N Riantiarno, Tokoh Teater Realis yang Detail
Seingatku, setidaknya empat kali lakon yang kau tulis dan dipentaskan bersama para aktor Teater Koma dilarang oleh pemerintah. Tentu yang paling mengenaskan, saat pementasan Suksesi tahun 1990 dihentikan polisi pada hari ke-11. Akibat pencabutan izin itu, Mbak Ratna yang kelimpungan mengurus pengembalian uang tiket. Sementara kau tampak santai saja, tidak memberi reaksi berlebihan. ”Beginilah kalau kita berhadapan dengan rezim paranoid,” katamu datar.
Rezim Orde Baru harus kuakui memang rezim paling paranoid. Atas nama menegakkan aturan, yang sudah pasti dibikin untuk mempertahankan kekuasaan, mereka bisa secara semena-mena membreidel media, seperti pernah terjadi terhadap media besar bernama Tempo, Editor, dan Detik tahun 1994. Tak ada jalan negosiasi, dan bahkan jalan pengadilan pun diabaikan. Hehe, sekadar kau tahu, aku termasuk salah satu jurnalis korban pembreidelan itu. Setelah berpindah media, aku juga menjadi salah satu jurnalis yang beberapa kali meliput tentang keberanian Majalah Tempo melawan Orde Baru di pengadilan.
Teater Koma belum genap berusia 50 tahun, tetapi sampai pada Oktober 2022, kau telah memproduksi 225 pementasan! Ini sebuah prestasi yang bahkan tak mungkin dilewati oleh kelompok opera terkenal di masa kolonial seperti Miss Riboet dan Dardanella. Apalagi, dalam perjalanan menuju 50 tahun itu, begitu banyak gelombang dan badai yang harus kau tempuh. Itu yang membuatku selalu ingin berlama-lama bercakap-cakap denganmu. Kau pasti juga menyadarinya, mengapa sebelum pentas aku selalu menyusup ke belakang panggung. Aku ingin menggali banyak hal tentang teater, tentang perjuangan sebuah nilai, dan tentang siasat menjinakkan badai, seperti yang telah kau lakukan selama ini.
Hari di mana kau pergi, aktor andalanmu, Mas Budi Ros, sebenarnya sedang mempersiapkan sebuah buku, di mana aku diminta ikut menulis. Buku itu sedianya untuk memberi kehormatan kepada perjalananmu bersama Mbak Ratna dalam mengelola dan membesarkan Teater Koma. Menurut rencana juga, momentum anniversary ke-45 kalian, yang jatuh pada 29 Juli, akan dirayakan sebagai hari kebangkitan seni teater memasuki era industri.
Aku setuju. Pasangan Nano dan Ratnalah yang sampai saat ini menjadi satu-satunya pasangan yang berhasil mendekatkan dunia panggung teater dengan publik. Penonton ditempatkan sebagai salah satu elemen penting dalam pertunjukan teater. Oleh sebab itu, kau dan Mbak Ratna, merawat penonton sampai tiga generasi. Penonton Teater Koma terdiri dari lapis-lapis keluarga dari kakek-nenek, bapak-ibu, sampai anak-cucu. ”Seenggaknya sudah tiga generasi yang jadi penonton Koma. Bahkan sudah sampai pada cucu…,” ujar Mbak Ratna.
Penonton ditempatkan sebagai salah satu elemen penting dalam pertunjukan teater.
Nanti aku kabarkan kepadamu, jika buku yang dirancang Mas Budi Ros dan kawan-kawan penulis lainnya telah selesai ditulis dan diterbitkan. Sementara ini, kau boleh beristirahat di duniamu yang baru. Kami akan terus melanjutkan cita-cita teatermu. Walau aku merasa percakapan kita belum selesai, tetapi aku harus merelakanmu untuk melanjutkan perjalananmu menuju keabadian. Hati-hati di jalan Mas Nano….