Belum kering air mata dari tragedi Kanjuruhan, insan sepak bola Indonesia lagi-lagi tak kuasa menitikkan air mata akibat batalnya negara kita menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20.
Oleh
ADI PRINANTYO
·4 menit baca
Meraih kepercayaan itu tak mudah, apalagi dari Federasi Asosiasi Sepak Bola Dunia atau FIFA, sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Indonesia mengalahkan Brasil dan Peru, saat negara kandidat tersisa tiga. Dalam proses sebelumnya, trio Indonesia, Brasil dan Peru menyisihkan pesaing-pesaing seperti Myanmar/Thailand, dan Arab Saudi/Bahrain/Uni Emirat Arab, yang mengajukan diri sebagai tuan rumah bersama.
Seiring lolosnya Indonesia sebagai tuan rumah itu, yang diputuskan pada 24 Oktober 2019, kita bersiap. Baik itu persiapan infrastruktur berupa stadion-stadion, maupun persiapan tim “Merah Putih” yang akan berlaga, sejalan dengan posisi sebagai tuan rumah. Praktis, beragam persiapan itu berlangsung sejak akhir 2019, melalui tahun-tahun berat pandemi Covid-19 pada 2020, 2021, juga 2022.
Enam stadion disiapkan, yakni Stadion Gelora Sriwijaya di Palembang, Stadion Si Jalak Harupat (Bandung), Stadion Manahan (Solo), Stadion Gelora Bung Tomo (Surabaya), dan Stadion Kapten I Wayan Dipta (Gianyar). Sesuai laporan Kompas, hingga hari-hari terakhir jelang pengundian (drawing) tim, yang direncanakan berlangsung Jumat (31/3/2023), berbagai kesiapan infrastruktur diproses.
Tim Indonesia U-20 juga bersiap diri. Berbagai laga uji coba digelar, tak ketinggalan aksi “Garuda Muda” di Piala Asia U-20. Tim “Merah Putih” U-20, sesuai laporan Kompas pada awal Maret 2023, mencatat perkembangan signifikan dalam sejumlah laga, meski gagal melaju ke perempat final. Salah satunya saat berhasil menahan imbang tim Uzbekistan.
Keseriusan persiapan tim “Merah Putih”, salah satunya tecermin dari kepercayaan PSSI terhadap pelatih Shin Tae-yong. Pamor Shin mencuat saat menangani tim negaranya, Korea Selatan di Piala Dunia Rusia 2018. Korsel di bawah asuhan Shin menang atas Jerman, dan menyingkirkan tim “Panser” di fase grup.
Menuju dua kesuksesan
Berbagai persiapan itu bermuara pada keyakinan Indonesia untuk menuju dua kesuksesan: sukses sebagai peserta, meski bakal sulit jadi juara, dan sukses sebagai penyelenggara. RI pernah menorehkan sejarah sebagai tuan rumah yang baik pada Asian Games Jakarta-Palembang 2018. Perhelatan Piala Dunia U-20 ini bisa menjadi pembuktian berikut akan kesuksesan Indonesia.
Penolakan tim Israel muncul hanya beberapa pekan sebelum rencana acara pengundian ( drawing), yang batal digelar di Bali. Nuansa politis tercium kental.
Apa daya, badai menerjang hanya beberapa hari sebelum pergelaran. Pernyataan penolakan tim Israel berlaga di Indonesia bagai petir di siang bolong. Betapa tidak? Nama-nama 24 kontestan Piala Dunia U-20 termasuk Israel, sudah diketahui sejak pertengahan 2022.
Penolakan tim Israel muncul hanya beberapa pekan sebelum rencana acara pengundian (drawing), yang batal digelar di Bali akhir pekan ini. Nuansa politis tercium kental. Benar saja fenomena yang sudah diprediksi banyak pengamat: tahun politik 2024 datang lebih awal.
Gejala ini direspons FIFA dengan pembatalan pengundian di Bali, dan lebih menyakitkan lagi: pencoretan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. FIFA menyebut ”situasi terkini” sebagai alasan keputusan itu. FIFA juga menegaskan bahwa mereka masih berkomitmen membantu PSSI, dengan kerja sama dan dukungan Presiden Joko Widodo, dalam transformasi sepak bola Indonesia pasca-tragedi Oktober 2022.
Gejala ini direspons FIFA dengan pembatalan pengundian di Bali, dan lebih menyakitkan lagi: pencoretan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.
Masih belum terhapus dari ingatan, Tragedi Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, yang merenggut 135 nyawa, pada 1 Oktober lalu. Musibah memilukan itu potret buram Liga Indonesia, dan terekspos luas ke berbagai belahan dunia.
Upaya kita menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20, menjadi satu bagian kecil dari perbaikan wajah persepakbolaan kita di mata dunia. Sangat disayangkan, Indonesia nyata-nyata belum siap menjadi tuan rumah kejuaraan level dunia.
Bahwa Indonesia pernah dua kali menolak berinteraksi dengan Israel di event olahraga, itu benar. Namun, konteks kekinian dunia olahraga tentu sangat layak juga menjadi pertimbangan. Bukan cuma layak, tetapi harus.
Komite Olimpiade Internasional atau IOC, juga FIFA sebagai induk organisasi sepak bola dunia dan induk-induk cabang lainnya, sudah sering mengampanyekan kesetaraan, anti-diskriminasi, fair play, dan saling hormat antar insan olahraga.
Di sepak bola, ada banyak contoh. Terhadap suporter yang merundung pemain di lapangan, --pesepak bola ras Afro-Amerika kerap jadi korban--, sanksi dijatuhkan terhadap manajemen klub bersangkutan. Mengingat, pembinaan suporter menjadi tanggung jawab klub.
Pelanggaran terhadap sportivitas, sebut saja kasus doping, berkonsekuensi hukuman. Gara-gara doping, pebalap sepeda Lance Armstrong harus rela tujuh gelar juaranya di Tour de France dicabut. Rusia juga tampil di event atletik dunia tanpa bisa mengibarkan bendera. Kala tim beregu putra bulu tangkis Indonesia menjadi juara Piala Thomas 2020, Anthony Ginting dan kawan-kawan juga tampil di podium tanpa “Merah Putih”.
Kampanye “respect” sudah bertahun-tahun berjalan. Dalam kampanye ini pemain wajib tunduk pada putusan wasit, betapapun pahitnya. Pemain dan pelatih beda tim juga wajib saling hormat. Adapun gerakan “fair play” mengimbau pemain membuang bola ke luar lapangan, jika ada pemain lawan yang cedera.
Singkat kata, menjadi tuan rumah ajang olahraga dunia berkonsekuensi mesti siap menerima siapa pun yang akan tampil.
Tim Israel? Mereka telah lolos kualifikasi. Penghargaan terhadap mereka yang lolos kualifikasi, tentunya tampil di putaran final. Ini perwujudan kesetaraan. Andai Israel melanggar sportivitas, tentu ada mekanisme tersendiri dari FIFA yang akan dijalani.
Pencoretan ini berkonsekuensi tim Indonesia U-20 kehilangan panggung besar yang dinanti-nantikan. “Kami kecewa karena sudah mempersiapkan diri selama dua tahun,” ucap Kadek Arel Priyatna, bek tengah tim U-20 Indonesia, sesaat setelah pencoretan Indonesia sebagai tuan rumah.
Nasi sudah menjadi bubur, dan Indonesia ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Belum kering air mata dari tragedi Kanjuruhan, insan sepak bola Indonesia lagi-lagi tak kuasa menitikkan air mata akibat batalnya negara kita menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20.